DULU, promosi UMKM itu identik dengan brosur, spanduk bekas pilkada, dan lomba senam poco-poco di lapangan desa, tapi sekarang, zaman sudah berubah. Menteri UMKM Maman Abdurrahman tiba-tiba datang bagaikan disc jockey kampung dengan semangat membakar semprong, beliau luncurkan program KOPLING – Koplo Keliling. Isinya? UMKM dan musik koplo bersatu dalam panggung hiburan ekonomi rakyat. Ini bukan sembarang kolaborasi, karena kolaborasi rasa sambal terasi dan lalapan, sederhana, nendang, dan bikin nagih!.
Lho kok bisa? Ya bisa dong, karena, kata pepatah Jawa yang dirombak, “Sak irama koplo, sak goyang ekonomi bisa nyambung modal”. Artinya, sambil joget, bisa jualan, sambil ambyar, omzet bisa mekar. Bahkan, kalau dagangan sepi, tinggal joget dikit, siapa tahu pembeli datang gara-gara penasaran penjualnya bisa nge-twerk di atas lapak.
Menteri Maman menyadari satu hal penting kita ini bangsa yang gampang goyang, bukan goyang prinsip, tapi goyang pinggul. Musik koplo, yang dulunya dianggap kampungan, kini naik pangkat jadi kendaraan strategis promosi UMKM, kayak ngeliat mie instan jadi menu utama di hotel bintang lima kesederhanaan yang diberi panggung megah.
Data membuktikan, 71% Gen Z doyan musik koplo. Artinya, kalau mau jualan ke anak muda, jangan ajak mereka seminar “Wirausaha Berbasis Syariah dalam Era Digitalisasi Menuju Masa Depan Berkelanjutan”. Cukup pasang speaker, putar “Pamer Bojo”, dan jualan bakso aci sambil nyender di booth KUR, selesai urusan.
Program KOPLING ini ibarat pesta hajatan yang tidak hanya ngundang tetangga, tapi juga ngundang harapan. Di Jakarta dan Bogor, 300-500 UMKM akan mejeng sambil goyang, dan diprediksi menyedot 25 ribu warga. Ini lebih rame dari konser boyband Korea, dan lebih bermanfaat karena pulangnya bawa sambel terasi, bukan merch mahal.
Tagline-nya “Goyang Ambyar, UMKM Bersinar” ini jenius, pasalnya terkadang hidup memang harus ambyar dulu, baru bisa bersinar. UMKM sempat megap-megap selama pandemi, kini diberi ruang manggung bukan hanya di pameran elite, tapi di tengah panggung rakyat, semacam teori dari sosiolog dangdut “Kalau negara tidak bisa menghibur rakyatnya, biar koplo yang turun tangan”.
Namun, tentu kita perlu masukan, jangan sampai program ini hanya sekadar ajang selfie para pejabat dengan latar booth UMKM dan panggung biduan, kita tidak butuh pemimpin yang hanya bisa ikut joget, lalu hilang ketika UMKM butuh pembinaan. Yang kita perlukan adalah kesinambungan, jangan setelah panggung dibongkar, pelaku UMKM juga dibongkar harapannya.
Seperti kata ekonom India, Amartya Sen, “Pembangunan itu bukan soal pertumbuhan ekonomi saja, tapi memperluas kebebasan masyarakat untuk hidup bermartabat”. Jadi jangan hanya martabatnya di atas panggung, tapi juga saat sepi orderan di akhir bulan.
Negara seperti Korea Selatan misalnya, meskipun terkenal dengan K-Pop, juga mendongkrak produk lokal lewat budaya populer. Mereka ekspor makanan, kosmetik, bahkan gaya rambut lewat gelombang hallyu. Masa kita kalah? Padahal kita punya koplo, yang lebih bergoyang dan lebih menggoyahkan hati mantan.
Program KOPLING ini bisa jadi oase di tengah gersangnya inovasi promosi UMKM. Tapi seperti pepatah ekonomi koplo, “Goyang boleh, tapi tetap hitung modal”, jangan sampai hanya jadi pesta sesaat. Yang harus dibangun adalah ekosistemnya, pembinaan UMKM-nya, pemasaran digitalnya, pelatihan manajemennya, bahkan bukan hanya panggung jogetnya.
Karena UMKM bukan sekadar pedagang cilok, mereka adalah pahlawan ekonomi, pemegang nyawa dapur rakyat, dan garda terdepan kemandirian bangsa.
Sambut KOPLING, bukan sekadar dengan tepuk tangan, namun dengan tangan yang siap membeli produk lokal, karena seperti kata motivator kopi sachet, “Kalau bukan kita yang bangga, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, ya nanti keburu tutup”. Ayo goyang, ayo beli lokal. Karena UMKM tak hanya butuh perhatian, tapi juga penghasilan.[***]