Sumselterkini.co.id, – Di tanah Sumatera Selatan, kabar baik datang bak durian runtuh 100% desa sudah gelar Musyawarah Desa (Musdes), dan koperasi desa pun bertumbuhan bak cendawan di musim hujan. Tak ayal, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, pun menjura sambil melempar pujian setinggi langit.
Katanya, “Sumsel luar biasa!” dan kita pun ikut senyum-senyum, tapi, tunggu dulu. Mari kita buka jendela, angkat tirai, dan lihat apakah koperasi ini benar-benar hidup atau hanya ‘koperasi-koperasian’ yang cantik di kertas, tapi megap-megap di lapangan?
Sejatinya, program koperasi desa adalah gagasan mulia. Apalagi disokong penuh visi besar Presiden Prabowo Subianto mengentaskan kemiskinan dari desa, memastikan tak ada anak putus sekolah, dan mewujudkan pemerataan ekonomi dari bawah. Tapi seperti kata pepatah, “Kalau tak pandai-pandai mengaduk santan, bisa pecah minyak di dalam kuali”.
Begitu pula koperasi desa, jika tak dikawal dengan baik, alih-alih jadi motor penggerak ekonomi, ia bisa berubah jadi sekadar tempat beli gula dan sabun, lalu gulung tikar, karena hutangnya malah lebih banyak dari anggotanya.
Lihat Swiss misalnya. Negara yang terkenal dengan cokelat dan jam tangan itu, punya lebih dari 9.000 koperasi aktif (Sumber: Swiss Federal Statistical Office, 2022). Mereka tidak cuma modal musyawarah, tapi juga transparansi dan digitalisasi. Di Uganda, koperasi pertanian jadi penyelamat ekonomi pasca krisis moneter, karena hasil panen bisa langsung dijual kolektif ke pasar ekspor.
Di Jepang, koperasi pertanian JA (Japan Agricultural Cooperative) bahkan bisa mengekspor melon dan semangka seharga motor bebek. Dan itu bukan karena semangkanya bisa nyala di malam hari, tapi karena sistem koperasinya rapi dari hulu ke hilir. JA Group, yang tidak hanya menyediakan pupuk dan alat pertanian, tapi juga menjadi jaringan distribusi hasil panen hingga ekspor. Di Denmark, koperasi susu seperti Arla Foods mampu menjadikan petani sapi perah lokal menjadi eksportir ke Eropa dan Timur Tengah.
Dan begitu pula di Finlandia, koperasi S-Group malah punya supermarket, hotel, bahkan bank sendiri. Nah, kita di sini? Jangan sampai koperasinya hanya jadi tempat foto seremonial rombongan berdiri di depan spanduk sambil pegang berkas, lalu masuk koran lokal dua kolom. Sumsel juga, harus bisa seperti itu, jangan sampai koperasi hanya jadi “papan nama dan nota kosong” seperti perumpamaan “perahu sudah dibuat, tapi layar tak kunjung dikembangkan.”
Gubernur Herman Deru sudah memaparkan angka yang indah 91% desa sudah gelar Musdes khusus, 89% sudah punya koperasi, dan 4% bahkan sudah berbadan hukum. Tapi jangan lupa, badan hukum tidak otomatis berarti badan sehat. Koperasi-koperasi ini butuh suntikan kapasitas, bukan cuma modal dan SK pengesahan. “Koperasi adalah soko guru ekonomi Indonesia,” kata Bung Hatta. Tapi di tangan yang salah, soko guru bisa berubah jadi soko gurun kering, sepi, tak berbuah.
Kita angkat topi untuk Sumsel, dari 3.258 desa/kelurahan, 91% sudah menggelar Musdes, dan 89% sudah mendirikan koperasi desa. Wah, nyaris perfect, tapi seperti orang yang sudah janjian nikah, belum tentu resepsi lancar kalau vendor katering-nya belum datang.
Pertanyaannya sekarang, apa kabar isinya?. Apakah koperasi itu sudah berjalan? Atau masih setengah hidup setengah selfie? Jangan sampai koperasi hanya jadi ‘penjaga gawang’ tanpa bola yang ditendang. Kita takutnya nanti koperasi cuma jadi tempat parkir papan nama dan proposal.
Kita perlu kritis, apakah koperasi desa itu berbasis kebutuhan warga, atau justru hasil “copy-paste” dari pusat lalu dipaksa cocok dengan desa yang masih mikirin irigasi rusak dan jalan tanah becek?. Apakah benar rakyat diundang musyawarah atau hanya disodori daftar hadir dan segelas teh?. Jangan-jangan selama ini rapat Musdes lebih banyak diisi oleh suara pemilik sound system dibanding suara rakyat.
Skema cerdas
Menko Zulkifli Hasan sudah benar ketika berkata, “Sebelum bicara uang, tanya dulu usahanya apa”. Ini pengingat keras bagi para pemimpin lokal, jangan buru-buru bangun koperasi kalau belum tahu apa yang ingin dihidupkan. Jangan sampai koperasi desa isinya sembako yang bisa dibeli lebih murah di toko sebelah. Bangun dari kebutuhan, bukan dari SPJ.
Coba contohkan satu skema cerdas koperasi desa di Lahat bisa khusus melayani pengeringan dan penjualan kopi robusta petani lokal. Di OKU Selatan, koperasi bisa fokus jadi agregator hasil perikanan darat. Di Musi Rawas, koperasi jadi motor pengolahan sawit skala mikro. Kata Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia “Koperasi bukan hanya urusan ekonomi, tapi jiwa gotong royong dan kebersamaan,” (Sumber: “Bung Hatta: Bapak Bangsa dan Pemikirannya”, Pustaka Sinar Harapan, 1995).
Kalau koperasi malah jadi tempat rebutan kursi dan celengan bantuan, itu bukan koperasi, itu arisan RT yang kebanyakan rapat tapi minim setoran. Pemerintah Provinsi dan Satgas perlu fasilitasi pelatihan manajemen koperasi, bukan cuma untuk ketua, tapi juga bendahara dan anggota. Jangan sampai koperasinya sehat, tapi bendaharanya pingsan menghitung utang piutang. Kembangkan sistem digital koperasi sudah 2025, masa catat simpan-pinjam masih pakai buku Tulis Kiky dan buat koperasi spesifik berbasis potensi desa hindari mental “toko kelontong serba ada” yang akhirnya malah rugi semua.
Dan terakhir, jangan biarkan koperasi desa ini layu sebelum berkembang. Seperti kata BJ Habibie, “Kalau bukan kita yang bangun bangsa ini, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”. Mari kita kawal koperasi desa bukan sebagai formalitas proyek, tapi sebagai denyut nadi ekonomi rakyat. Jangan biarkan koperasi ini hanya jadi bunga di vas yang cantik dipajang, tapi tidak disiram. Sebab desa adalah akar. Kalau akar sehat, batang dan daun negara ini ikut segar.
Program koperasi desa di Sumatera Selatan adalah tonggak penting. Tapi ia bukan akhir dari perjalanan, melainkan pintu masuk. Musyawarah desa jangan hanya jadi musyawarah segelintir orang di aula, tapi forum aktif rakyat kecil.
Koperasi jangan cuma dibentuk untuk kejar angka, tapi dibina agar tumbuh dan berkembang. Pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi menjaga roh dari koperasi gotong royong, kemandirian, dan kesejahteraan bersama. Sumsel sudah selangkah lebih maju. Tapi jangan puas. Mari rawat capaian ini dengan kerja nyata, bukan hanya kerja kamera. Jangan sampai koperasi desa kita cuma jadi balon gas indah di awal, tapi cepat hilang ditelan angin politik.
“The future of every community lies in capturing the passion, imagination, and resources of its people” – Ernesto Sirolli, pakar pembangunan komunitas, maksudnya “Masa depan setiap komunitas terletak pada kemampuan untuk merangkul semangat, imajinasi, dan sumber daya dari masyarakatnya”. Lebih dalam lagi, ia menekankan kekuatan utama sebuah komunitas bukan hanya pada infrastruktur, dana, atau kebijakan dari luar, tapi pada potensi internal, yakni semangat, ide kreatif, dan sumber daya manusia yang ada di dalamnya sendiri. Jika potensi itu bisa digali dan dikelola dengan baik, maka masa depan komunitas tersebut akan cerah.
Perumpamaannya, jika desa itu ladang, maka warganya adalah benih, air, dan pupuknya, masa depan panen tergantung bukan dari traktor mewah, tapi dari bagaimana ladang itu dirawat dan dikelola bareng-bareng.
Nah, rakyat desa kita punya imajinasi, semangat, dan sumber daya. Tinggal bagaimana pemimpin dan kebijakan bisa jadi pupuk dan sinar matahari, bukan malah jadi angin ribut yang bikin bunga jatuh sebelum mekar. Koperasi jangan cuma kayak hubungan LDR, ada nama, ada komitmen, tapi isinya kosong dan sering bikin sakit hati. Mari kita koperasi yang bukan hanya hidup, tapi juga menghidupi.
Karena, ooperasi desa bukan tempat jualan mimpi, ia harus jadi mesin ekonomi yang nyata, bukan sekadar etalase program pemerintah. Sumsel sudah di depan start, tapi jangan lupa masih ada finish. Kalau koperasi jalan, ekonomi desa akan ikut jalan. Kalau koperasi mati gaya, jangan salahkan anak-anak desa kembali hijrah ke kota demi jadi pengantar paket.
Musyawarah dan koperasi memang dua senjata pamungkas. Tapi ingat, senjata pun kalau tidak diasah, lama-lama berkarat. Jangan sampai koperasi jadi ‘kereta kosong’ yang dibunyikan belnya setiap kali pejabat datang, tapi tidak pernah jalan karena rel-nya belum dipasang.
Kita semua ingin seperti pepatah “Sekali merdeka, tetap mandiri, dari desa membangun negeri,” Tapi kalau masih suka rapat-rapat tapi tak ada dagangan di etalase koperasi, itu artinya kita belum benar-benar merdeka dari budaya asal lapor saja. Jadi, Sumsel boleh bangga. Tapi ingat, jangan sampai 100% Musdes dan 100% koperasi itu hanya 100% formalitas. Semoga sukses.[***]