Industri Kreatif & UKM

Kisah 2 Tokoh Imut Bernama Krea & Fafa Selamatkan PDB Bahkan Buka Pintu Surga

ekraf

ANAK-anak diajari baca buku, kali ini buku yang ngajari anak-anak buat melek iman, akhlak, dan imajinasi. Namanya juga Kreatifafa, bukan Kreatif biasa-biasa saja. Di tengah zaman di mana konten viral lebih sering ngajarin “halu” ketimbang akhlak, tiba-tiba dari sudut Sleman yang adem itu, lahir duo karakter menggemaskan yakni Krea dan Fafa yang nggak cuma ngajak main, tapi juga ngajak mikir.

Kehadiran Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, di peresmian kantor baru Kreatifafa, bukan cuma sekadar pemotongan pita dan potong tumpeng. Ini semacam deklarasi diam-diam bahwa ekonomi kreatif Indonesia sedang ganti baju dari batik ke hoodie, dari sketsa jadi cetakan, dari “cuma” gambar jadi potensi cuan nasional.

“Kreatifafa ini kayak rendang minang, lokal rasanya, tapi bisa go internasional. Edukatif iya, Islami iya, lucu iya, laris manis pun iya” ujar seorang emak-emak penggemar Krea dan Fafa sambil menyelipkan bookmark di jilid terakhir buku pop-up.

Lho, masa dari buku anak bisa jadi andalan negara? Eh, jangan salah. Kalau dulu buku anak cuma sekadar berisi “Budi pergi ke pasar” atau “Ibu memasak sayur”, sekarang isinya bisa ngajarin rukun Islam, makna salat, bahkan akhlak terhadap kucing tetangga. Ditambah format pop-up, buku-buku ini bikin anak-anak lebih semangat buka buku daripada buka Youtube.

Pepatah lama bilang, “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu”. Nah, Kreatifafa ini kayak pahatnya. Bedanya, pahat ini imut, warna-warni, dan bisa dilipat.

Kalau dulu kita pikir ekonomi kreatif itu harus dari kota besar, dari kafe-kafe yang pinter bikin kopi sambil jualan tote bag Rp300 ribu, sekarang Sleman menyodorkan sesuatu yang lebih membumi. Buku pop-up anak dengan nilai Islam dan edukasi. Dan ini bukan cuma nangkring di rak toko buku lokal. Arab Saudi dan Jerman aja udah angkat alis dan angkat kontrak.

Coba bayangin, dari Sleman ke Riyadh, buku anak bisa jadi jembatan diplomasi budaya, keren, kan? Udah kayak K-pop, tapi versi khusyuk.

Yang bikin geli-geli haru, Kreatifafa nggak berhenti di buku doang, mereka cerdas menelurkan anak cucu ekonominya lewat karakter. Ada boneka Krea dan Fafa, tote bag lucu, gantungan kunci syar’i, sampai coaster gelas (yang kayaknya khusus buat bapak-bapak salih pencinta kopi robusta).

Pendekatan ini kayak pepatah Jawa “Siji dadi loro, loro dadi telu, telu dadi berkah”. Satu ide buku anak beranak-pinak jadi banyak produk dan semua punya nilai tambah edukatif, lucu, dan… bisa dijual di e-commerce tanpa harus promo pakai joget TikTok.

Kehadiran Wamen Ekraf bukan sekadar acara formal. Tapi lebih mirip simbol kalau pemerintah mulai ngelirik serius bahwa masa depan itu bisa lahir dari halaman-halaman buku anak.

Bahkan ketika karakter Krea dan Fafa masih lucu-lucu, kita udah bisa bayangin potensi mereka jadi ikon global: masuk Netflix, dibikin animasi, lalu jadi alasan kenapa anak-anak kita mau tidur jam 8 malam lagi.

Achmad Faturrohman Rustandi, sang pendiri, juga punya cita-cita mulia menjadikan ekraf sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia. Cita-cita ini jelas lebih sehat ketimbang tulang punggung bangsa ditekuk demi jadi buzzer politik.

Kalau dulu masa depan dibentuk lewat ruang kelas dan PR menumpuk, kini masa depan bisa mulai dari pop-up book berisi nilai-nilai baik. Kreatifafa membuktikan bahwa kreativitas lokal bisa jadi global, bahwa cerita anak bisa jadi jalan masuk ekonomi makro, dan bahwa pendidikan bisa dibungkus dalam bentuk lucu dan menarik tanpa kehilangan esensinya.

Kita bisa bilang, ini bukan sekadar buku, ini semacam nasihat nenek dalam format pop-up. Nendang tapi nggemesin. Kayak diceramahin ustaz, tapi versinya Hello Kitty.

Maka jangan heran kalau nanti ekonomi kreatif Indonesia justru dilambungkan bukan oleh film box office atau game online, tapi oleh Krea dan Fafa yang ngajarin anak-anak tentang wudu, jujur, dan gak nyampah sembarangan.

Kita tunggu aja edisi selanjutnya “Krea dan Fafa Belajar Demokrasi”  biar anak-anak ngerti, bahwa mencoblos bukan sekadar colok-colok lubang, tapi soal memilih masa depan dengan bijak.

Dan kepada semua pelaku ekraf dari daerah, pesan saya cuma satu jangan remehkan ide kecil yang berani tampil beda, karena siapa tahu, dari buku pop-up anak itu, nanti lahir juga peta pop-up ekonomi Indonesia yang makin berdikari dan gak gampang tumbang cuma karena TikTok diblokir.[***]

Terpopuler

To Top