RANCANGAN regulasi hak penerbit (publisher right) diharapkan bisa diterbitkan sebagai regulasi pada tahun ini, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Presiden (Perpres) supaya penerbit punya kekuatan hukum.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen IKP Kominfo), Usman Kansong, menjelaskan saat ini rancangan aturan tersebut sudah memasuki tahap kedua, setelah Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G Plate, menerima naskah akademik tersebut dari Dewan Pers.
“Kita berharap tahun ini (rancangan aturan hal penerbit), baik dalam bentuk PP maupun Perpres bisa diterbitkan sebagai regulasi,” ujar Dirjen IKP usai mendampingi Menkominfo menerima naskah akademik rancangan aturan Hak Penerbit di kantor Kementerian Kominfo, Jakarta pada Rabu (13/4/2022).
Lebih lanjut Usman menjelaskan, rancangan aturan itu masih berupa draft pada Oktober 2021 lalu dan sekarang sudah pada level naskah akademik, yang merupkaan revisi draft tersebut.
Setelah menerima naskah akademik tersebut, Menkominfo akan mengirimnya secara tersurat ke Sekretariat Negara (Setneg) untuk diproses lebih lanjut ke tahap berikut dan menentukan jenis regulasi yang tepat, apakah berupa PP atau Prepres.
“Kita sampaikan kepada publik, itu strategi komunikasinya juga, supaya publik tahu ada satu rancangan peraturan yang sedang diajukan secara bersama-sama Dewan Pers dan Kementerian komunikasi dan Informatika,” katanya.
Menurut Usman, ada perbedaan dalam prosedur dalam penetapan model regulasi, yang menentukan lamanya waktu penerbitannya.
Jika regulasinya berbentuk PP, maka akan lebih banyak melibatkan publik dan yang menjadi inisiator adalah Kementerian Kominfo atau leading sektornya.
Sedangkan jika regulasinya dalam bentuk Perpres, maka kewenangan penerbitannya sepenuhnya berada pada Setneg, termasuk dalam penyusunan, harmonisasi, sinkronisasi, dan seterusnya sesuai prosedur.
“Kan itu (menghindari) ada gugatan formal judisial review atau di PTUN (pengadilan Tata Usaha Negara) dan seterusnya. Nah itu perlu kita komunikasikan kepada publik agar mereka paham ada prosedur tertentu untuk PP, Perpres, Undang-Undang dan lain-lain,” jelasnya.
Dia menambahkan, yang paling penting dan menjadi isu dalam regulasi ini adalah adanya negosiasi antara platform nasional di Indonesia dengan platform global seperti Google dan Facebook.
Apabila Google mau mengadopsi atau mengambil konten dari platform nasional, seteah regulasi itu terbit, akan ada negosiasi untuk menentukan kompensasi atau biaya yang harus dibayarkan.
“Itu salah satu unsur yang dibahas di dalam Rancangan peraturan, tujuannya untuk mencapai jurnalisme berkualitas atau good journalism,” tuturnya.
Negosiasi itu akan dilakukan oleh suatu lembaga atau institusi yang ditunjuk, misalnya dibawah Dewan Pers atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga itu tidak dibutuhkan jika aturannya dalam bentuk Perpres.
Selain itu, akan diatur Lembaga yang menjadi mediatornya jika tidak terjadi kesepakatan dengan platform global.
“Kalau ada platform global, katakanlah yang tidak setuju, dia bisa menyampaikan kesini. Kira-kira wasitnya di badan ini yang sifatnya perdata dan dibanyak negara patuh (dengan mediatornya),” katanya.
Usman mencontohkan negara yang telah menerapkan aturan hak penerbit adalah Australia dengan bargaining code.
Setelah menerapkan aturan itu, katanya, ada peningkatan penerimaan (revenue) penghasilan media di Australia sekitar 30 persen, karena platform global bertanggung jawab Ketika mengambil konten lokal.
“Nanti judul regulasinya itu Tanggung Jawab Platform Global Untuk Menciptakan Jurnalisme Berkualitas. Tanggung jawabnya dua, yaitu secara ekonomi mau menghargai hak cipta media nasional dan membentuk jurnalisme berkualitas,” pungkasnya.InfoPublik (***)