Majelis Hakim yang diketuai Erma Suharti SH menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Bupati Muara Enim non aktif, Ahmad Yani, dengan hukuman penjara lima tahun dan denda Rp200 juta subsider enam bulan, atau lebih ringan dua tahun dari tuntutan Jaksa KPK dua pekan sebelumnya dengan tujuh tahun penjara.
Ahmad Yani terbukti bersalah berdasarkan Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan pasal 55 ayat 1 junto pasal 64 ayat 1.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Ahmad Yani secara sah dan meyakinkan menyalahi aturan dengan melakukan tindak pidana korupsi. Terdakwa divonis dengan pidana penjara 5 tahun, dan subsider enam bulan,” tutur Erma Surharti dalam sidang secara virtual, Selasa (5/5).
Tidak hanya vonis yang dijatuhkan majelis hakim lebih ringan, pembayaran kerugian negara akibat bagi-bagi fee proyek pengerjaan jalan pun diberikan kepada Yani lebih ringan dari yang dituntutkan. Dalam tuntutan jaksa juga disebutkan bahwa Ahmad Yani dicabut hak politiknya untuk kembali dipilih atau maju sebagai anggota legislatif ataupun eksekutif namun, hakim tidak menyinggung sama sekali tuntutan itu.
“Menghukum terdakwa mengganti Rp2,1 Miliar kerugian negara dan apa bila tidak membayar maka jaksa berhak melelang dan mengambil harta benda terdakwa untuk mengganti juta rupiah apabila tidak membayar, maka harta benda dilelang untuk mengganti. Jika tidak mencukupi maka, hukuman pidana bertambah delapan bulan,” ujar Erma.
Ahmad Yani menurut Erma terbukti bersekongkol dalam memuluskan pengerjaan proyek jalan yang dilakukan oleh dinas PUPR Muara Enim. Dalam memberikan restu pemberian fee, Yani meminta 15 persen yang nantinya akan dibagi-bagikan di lingkungan Pemkab dan DPRD Muara Enim. 15 persen itu juga dibebankan terhadap sang kontraktor PT Enra Sari, Robi Okta Fahlevi.
“Pengerjaan proyek itu berasal dari dana aspirasi DPRD Kabupaten Muara Enim yang berasal dari APBD tahun 2019. Yani telah menerima uang Rp3,1 miliar yang diterimanya atas fee dan menerima tanah di Muara Enim seharga Rp1, 250 miliar dan dua mobil yakni, SUV Lexus berwarna hitam dan pick up Tata Xenon HD jenis single cabin warna putih,” terangnya.
Ahmad Yani juga terbukti bersalah memerintahkan Elfin Mz Muchtar selaku PPK proyek untuk memintakan uang tambahan ke Robi Okta Fahlevi sebesar USD35.000, yang rencananya akan diberikan ke Kapolda Sumsel saat itu, Firli Bahuri.
“Uang pecahan dollar tersebut sebagaimana kesaksian terdakwa Elfin Mz Muchtar sebanyak 35000 dollar itu sebagai uang persahabatan dengan kapolda Sumsel saat itu, Firli Bahuri yang direstui oleh Ahmad Yani, ” tegas dia.
Sedangkan Kuasa Hukum terdakwa, Maqdir Ismail merasa kecewa dengan putusan yang diberikan majelis hakim dalam sidang vonis ini. Dirinya berkeyakinan kliennya tidak bersalah, dan persidangan dan kesaksian yang ada telah diarahkan untuk memperberat dan meletakkan seluruh kesalahan di Ahmad Yani.
“Jujur kami kecewa dengan pertimbangan majelis hakim mengenai mobil itu bukan untuk pribadi melainkan terdaftar di Pemda dengan catatan sebagai pinjaman,” jelas dia.
Maqdir menegaskan, soal uang dalam pecahan dollar yang menjadi barang bukti OTT seharusnya menghadirkan saksi kunci yakni Asisten Bupati dan Asisten Kapolda Sumsel untuk memberikan kesaksian. Namun, hingga sidang ini mencapai kata vonis, dua saksi itu tidak dipanggil.
“Kami juga tidak ingin memperpanjang, namun apa yang terdakwa Elfin Mz Muchtar katakan menjadi seolah-olah sebuah kebenaran. Kami tidak mengatakan itu sebagai hadis nabi namun tidak ada yang membantah sedikit pun kesaksian,” sesal Maqdir.
Sedangkan itu, Jaksa KPK, Roy Riyadi menjelaskan, dari hasil sidang vonis ini pihaknya masih akan melakukan pikir-pikir sampai batas ketentuan yang ada. “Terhadap putusan ini kami pikir-pikir dulu,” tandas dia. [***]