Haji & Umroh

Kampung Haji, Bukan Kampungan

kemanag

ARAB Saudi punya Ka’bah, Indonesia punya “niat baik”, oleh sebab itu tak salah, kalau Menag Nasaruddin Umar ikut bertolak ke Jeddah, mendampingi Presiden Prabowo. Kunjungan ini bukan untuk umrah diam-diam atau sekadar nyicip kurma Ajwa langsung dari ladangnya, tapi buat ngobrol serius, kayak lamaran soal perkampungan haji di Makkah.

Iya, betul, Indonesia bukan mau buka cabang perumahan subsidi di Tanah Suci, tapi pengin bikin markas besar ala “Kampung Haji Indonesia”.

Luar biasa, niat baik itu, kita sambut dengan apresiasi,  karena ratusan ribu jemaah tiap tahunnya datang dari kampung-kampung Indonesia, mulai dari yang naik perahu ke Batam, sampai yang nyicil kerudung baru dari tiga bulan sebelum berangkat.

Nah, pas udah sampai di Makkah, kadang mereka nyari sambel, nyari tempe, atau bahkan nyari sinyal buat video call cucu. Di sinilah pentingnya kampung haji tadi, bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga tempat bernaung hati dan perut.

Membangun perkampungan haji di Makkah ini ibarat ngasih sandal buat yang mau masuk masjid kecil, tapi krusial. Seperti kata pepatah Arab yang belum sempat diterjemahkan ke bahasa Betawi.

“Man zara’a hasadan yahsud, man hajja kampungnya kudu enteng hudud”.  Artinya? Ya kira-kira siapa yang menanam kebaikan, jangan bikin tetangga repot, apalagi di Tanah Haram.

Menag kita tercinta juga dengan bangga menyebut jemaah Indonesia tuh yang paling tertib. Kalau ada lomba baris-berbaris di padang Arafah, jemaah kita bisa jadi juara umum. Bahkan menurut Wakil Menteri Urusan Haji Saudi, Indonesia ini sudah kayak menantu idaman rapi, mandiri, dan bawa rendang.

Namun begitu, pemerintah sadar, haji itu bukan hanya soal ibadah, tapi juga soal logistik, akomodasi, dan sesekali urusan perut.  Oleh karena itu, kampung haji ini diimpikan bisa jadi solusi jangka panjang, bukan tambal sulam kayak tambal ban bocor di pinggir jalan Ring Road.

Kita bicara soal 1,5 juta orang umrah tiap tahun. Itu sama aja kayak semua warga kota Surabaya jalan-jalan ke Makkah dalam setahun, lengkap dengan rombongan marawis dan tenda posko. Dan ini belum termasuk yang bawa koper lebih besar dari harapan mantan.

Pembangunan kampung haji ini bukan sekadar gagasan besar, tapi juga strategi diplomasi halal dan ramah lingkungan. Ibarat main catur, ini bukan langkah kuda, tapi langkah “rajin” rajin lobi, rajin ngopi, dan rajin bangun fondasi.

Selama ini jemaah haji Indonesia cuma numpang lewat di hotel-hotel Makkah dan kadang sekamar berempat serasa indekos, dengan adanya perkampungan haji Indonesia, kita nggak cuma punya tempat singgah, tapi juga punya identitas.

Sebuah kampung yang jadi bukti bahwa Indonesia serius mengabdi, bukan cuma selfie. Sebuah tempat yang bukan sekadar titik temu jemaah, tapi juga titik temu martabat bangsa. Sebab seperti kata pepatah “Kalau belum bisa bangun negara, minimal bangun kampung sendiri dulu”.

Masyaraka harus optimis, bahwa semua yang baik itu dimulai dari niat baik, dan tiket pesawat. Saat kampung haji itu nanti benar-benar berdiri, jangan lupa kasih nama jalan utamanya “Jalan Ayam Penyet”, masjidnya “Masjid Musafir Soto Lamongan”, dan taman-tamannya berhiaskan patung onta bertuliskan “Lur, Ayo Haji Bareng!”

Kalau dulu kita pergi ke Makkah sebagai tamu, kini kita siap jadi tuan rumah  di rumah orang. Tapi tenang, bukan ngusir, cuma numpang ngasih warna. Kampung haji, bukan kampungan.[***]

Terpopuler

To Top