Features

TAWA TAPI TAHU : Telenan Galau, Disayat Pisau, Dicakar Bawang hingga Ditinggal Cabai

ist

PERKENALKAN saya adalah dampar, alias telenan dapur, pekerjaan saya sederhana, jadi alas segala iris-iris. Tapi jangan kira hidup saya gampang, lho, tiap hari tubuh saya ditusuk pisau, dicakar-cakar bawang, ditumpahi air cabai, bahkan kadang diludahi kuah sisa tumisan, kalau saya punya hati, mungkin sudah remuk jadi sambal ulek.

Hidup saya ini persis FTV sore hari penuh luka, banyak tangisan, tapi tetap tayang setiap hari, pisau datang silih berganti, bawang nangis nggak putus-putus, cabai bikin drama pedas level 99. Saya cuma bisa diam. Kalau pepatah bilang “diam itu emas”, buat saya diam itu malah bikin badan makin bolong-bolong kayak jalan rusak di kampung.

Jujur, saya paling sering jadi panggung tangisan bawang merah. Setiap kali pisau turun, bawang langsung nangis lebay. Air matanya tumpah, manusia ikut nangis, padahal yang luka siapa? Saya! Badan saya bolong-bolong kayak kertas ujian yang kena penghapus bolpoin. Ironisnya, bawang yang nangis, manusia yang mewek, saya yang jadi korban. Kalau ada Piala Citra untuk pemeran pendukung tangisan, harusnya saya yang menang.

Belum habis derita, datanglah cabai rawit. Kecil-kecil, tapi galaknya ngalahin preman terminal. Sekali dipotong, manusia langsung panik, keringat deras, mata perih. Mereka sibuk nyalahin cabai, padahal yang jadi ring tinju siapa? Saya ini! Kalau saya bisa ngomong, pasti saya nyeletuk, “Hei, salah siapa iris cabai tanpa mikir? Saya cuma alas, bro, bukan biang kerok!”

Pernah suatu hari, manusia ngiris cabai sambil ngantuk. Tiba-tiba jarinya sendiri yang kena pisau. Darah netes di atas badan saya. Saya cuma bisa bengong “Loh, ini bumbu tambahan atau kecelakaan kerja?”

Tragedi paling pedih buat saya adalah kalau dipakai ngiris daging beku. Pisau mentok, tangan manusia makin nekan, badan saya yang retak. Rasanya kayak jadi papan uji coba gergaji mesin. Saya pengen protes, “Hei, masak es batu aja nggak dipotong di telenan, kok daging beku dipaksa?” Tapi ya, saya dampar, bukan juru bicara.

Selain bumbu masak, saya juga sering jadi saksi bisu pertengkaran rumah tangga. Istri ngiris bawang sambil manyun, suami pura-pura sibuk baca koran. Pisau turun makin cepat, bawang makin halus, suasana makin panas. Saya yang diam di bawah cuma mikir, “Waduh, kalau ini terus berlanjut, bisa-bisa bawang habis duluan sebelum masalah selesai.”

Kadang malah dapurnya berubah jadi ajang curhat. “Mas, kamu pulang malam terus!” teriak sang istri sambil ngiris cabai. Pisau menari di atas badan saya, lebih cepat dari kondektur ngejar setoran. Suaminya diem aja. Saya? Jadi saksi sejarah. Kalau saya bisa bicara, mungkin saya udah laris jadi konsultan pernikahan.

Yang bikin miris, setelah semua jasanya, saya sering dilupakan. Habis dipakai, nggak dicuci bersih, cuma dilap asal-asalan. Sisa bawang nempel, cabai kering masih ada, bahkan kadang ditumpukin piring kotor. Saya ini bukan gudang logistik, tapi sering diperlakukan kayak meja serbaguna.

Ada juga momen tragis ketika saya dibiarkan lembap. Lama-lama badan saya berjamur, kayak peta dunia versi dapur. Kalau bisa protes, pengen saya bilang “Hei, saya bukan akuarium lumut, tolong keringin saya dong!”

Hidup saya sebagai telenan alias dampar mengajarkan banyak hal. Bahwa jadi kuat itu bukan berarti nggak pernah luka, tapi tetap berguna meski penuh goresan. Luka saya memang banyak, tapi berkat saya, masakan bisa tersaji, keluarga bisa kenyang, bahkan drama rumah tangga bisa reda.

Ingat pepatah baru dari saya “Jadilah seperti dampar, meski disayat tiap hari, tetap melahirkan rasa bahagia di meja makan”.[****]

Terpopuler

To Top