Features

BUKU DIARI PAGI : “Suara Kodok Subuh, Renungan Filosofis dari Perum Pesona Harapan Jaya Tahap Satu”

ist

Ketika Kodok Lebih Bijak dari Grup WA RT 

PAGI – pagi buta usai sholat subuh, langit masih item legam kayak dompet akhir bulan, udara dingin menusuk sampai tulang ekor, dan suasana hening kayak grup WhatsApp alumni yang cuma aktif pas nyebar undangan nikahan anak.

Tak ada suara manusia. Tak ada bunyi emak-emak ngaduk kopi di dapur atau suara sandal swallow nyeret ke warung. Perumahan Pesona Harapan Jaya Tahap Satu RT50, Kalidoni, Palembang, mendadak kayak planet Mars yang belum ada colokan listriknya. Kendaraan? Jangankan Avanza, motor beat aja belum berani lewat, semua beku.

Tapi di tengah sunyi dan sisa hujan yang semalam turun kaya kegalauan mantan di status Facebook, satu-satunya yang hidup… adalah suara kodok.

Dari belakang rumah “Ktok… ktoktok… krkkkkkk…

Dari depan pagar “Kotok… krotok… krik krik…

Entah mereka ngadain rapat koordinasi atau sedang syukuran pindahan rumah lumpur, yang jelas pagi itu mereka adalah satu-satunya komunitas yang hidup dan aktif, meski belum diverifikasi KTP dan NPWP-nya.

Orang bijak bilang, “Kalau tak bisa jadi elang di angkasa, jadilah kodok di lumpur yang tetap bersuara”
Dan pagi itu, kodok-kodok dari RT50 Blok C ini ngajarin saya satu hal penting kehidupan harus tetap bersuara, walau kadang kita hidup di tempat paling becek dan gelap.

Kodok hidup di kubangan, di got air, parit, di rawa.. di dalam hutan, dihalaman rumah penuh rumput /gulma, tapi apa mereka ngeluh?
Enggak…
Mereka bersuara, bersautan, nyanyi bareng, kayak boyband tanpa audisi.
Mereka gak nunggu langit cerah buat nyanyi, mereka justru jadi orkestra di tengah kabut dan kedinginan.

Itulah hidup, kawan. Jangan nunggu semuanya sempurna buat mulai bersuara. Kalau hidup cuma nunggu matahari, kodok pasti punah sejak zaman VOC.

Coba renungkan kalau kodok bisa bikin status “Kubangan boleh keruh, asal suara tetap jernih”

Atau “Lebih baik bersuara di lumpur, daripada diam di atas panggung tanpa isi”

Jleb….itu bukan cuma cocok buat kodok, namun juga buat kita manusia yang kadang baru bisa nyanyi kalau udah viral, baru bisa ngomong kalau udah banyak yang nonton.

Suara kodok subuh itu mungkin gak ada artinya buat sebagian orang. Tapi pagi ini, saya belajar keheningan bukan alasan untuk berhenti bicara, kubangan hidup bukan halangan untuk nyanyi, dan kebahagiaan gak nunggu musim semi, cukup suara sahabat dari lumpur.

Jadi, kalau kamu merasa hidupmu kayak dikubangan, ingatlah kodok-kodok pagi itu. Mereka gak nunggu tepuk tangan, gak peduli dishoot CCTV, tapi tetap rajin bunyi ktok… ktrrkkk… ktoktok…  menghibur dunia tanpa diminta.

Ya..yang jelas diari pagi ini lebih ramai dari Grup WA Takziah, sebab mungkin kita butuh lebih banyak “suara kodok” dalam hidup yang sederhana, jujur, dan konsisten. Gak nyari pujian, gak nunggu trending, tapi tetap bersuara dalam dingin dan gelapnya dunia.

Dan pagi itu, di Perum Pesona Harapan Jaya Tahap Satu, saya menulis di buku diari pagi saya “Allah SWT, terima kasih. Hari ini saya gak sendirian. Ada kodok-kodok kecil yang ngajarin saya cara bertahan hidup sambil tetap bernyanyi di kubangan lumpur kehidupan”.[***]

Terpopuler

To Top