Sumselterkini.co.id, – LANGIT Kalidoni seperti ikut berduka. Angin yang biasanya lewat pelan, kini berdesir lambat, seolah menahan tangis. Di sudut kecil Blok C Tahap I, RT 50, Pesona Harapan Jaya, Kalidoni, Palembang, rumah mungil berpagar rendah itu tak lagi seperti biasanya. Ramai, tapi bukan tawa. Penuh orang, tapi bukan pesta.
Sejak malam Rabu hingga siang keesokannya, satu per satu saudara, tetangga, kerabat, sahabat guru, dan orang-orang yang dulu hanya sekadar berpapasan, kini berkumpul. Membawa doa, kenangan, dan air mata. Mereka datang, bukan karena panggilan protokoler. Tapi karena panggilan hati.
Di depan rumah itu, di bawah terik matahari, papan-papan ucapan duka cita bersandar di pinggir jalan. Bunga-bunga itu diam, tapi seakan bicara. Mereka menyampaikan rasa kehilangan yang tak sempat diungkapkan banyak hati. Bu Santi telah pergi. Sosok yang selama hampir sepuluh tahun menjadi jantung dari denyut kecil kampung ini, kini hanya tersisa jejaknya.
Ia bukan artis layar kaca. Bukan tokoh viral di media sosial. Tapi di antara kami, Bu Santi adalah pilar. Penyangga yang membuat banyak dari kami tetap bisa berdiri, tetap bisa tersenyum, tetap bisa bernapas di tengah kerasnya hidup. Ia guru, ia ibu, ia kakak, ia sahabat, ia teman cerita, dan juga telinga yang mendengar tanpa menghakimi.
Kami percaya padanya. Kami serahkan banyak hal padanya. Dari urusan balita di posyandu, kegiatan ibu-ibu PKK, hingga urusan akhir hayat lewat PAKEM (Persatuan Amal Kematian) Ibu-Ibu Tahap I. Ia mengurus semuanya dengan telaten, membimbing, mengarahkan dan menerima masukan para anggota. Buku kas yang lebih dari angka ia tetap serahkan kepada bendahara, tak menganggap berkuasa tak memegang sidikit pun uang kumpulan anggota, Kelu kesah, peluh, dan gagasan ia rangkum dengan hatinya sendiri.
Kalau hujan, jalan kami seperti kolam lumpur. Air sumur pun kadang berbau karat. Ia tak mengeluh, ia tidak pernah absen memberi semangat. Ia juga menjahit robekan kebersamaan, seperti benang tua di tangan ibu-ibu yang masih rajin menambal. Ia pemersatu, bahkan di tengah retaknya waktu dan perbedaan suara.
Sakit telah lama berdiam dalam tubuhnya. Tapi ia tetap sabar. Ia tetap diam, tak pernah menyalahkan takdir. Sakti. Ya, ia sakti. Menahan sakit bukan dengan kekuatan fisik, tapi dengan keteguhan hati. Selama bisa berdiri, ia akan hadir. Entah itu mengurus imunisasi, menyusun proposal kegiatan, atau sekadar tertawa bersama ibu-ibu saat lomba 17-an.
Masih terekam dalam ingatan kami, suatu hari saat ada hajatan pernikahan warga, Bu Santi datang dengan senyum. Ia berjoget sopan bersama ibu-ibu lain di bawah lampu hias dan musik dangdut kampung. Gerakannya pelan, tapi hatinya ikut bergoyang. Bukan karena ingin jadi pusat perhatian, tapi karena ingin membaur, menghibur, dan membuat orang lain bahagia.
Di hari peringatan kemerdekaan, ia pun hadir, tertawa lepas ketika melihat anak-anak jatuh saat lomba balap karung. Ia bukan panitia, tapi ia bagian dari sukacita.
Kadang ia marah. Suaranya meninggi. Tapi bukan karena benci. Justru karena cinta. Karena tanggung jawab. Dan kami tak pernah membalas dengan amarah. Karena kami tahu, marahnya adalah pelita. Ia ingin keteraturan, ingin kebersamaan dijaga. Dan dari situ kami belajar, bahwa kepemimpinan tidak harus keras, cukup dengan kejujuran dan ketulusan.
Kini, rumah itu kembali senyap. Tapi hatinya ramai. Ramai oleh kenangan dari banyak orang. ibu-ibu tetap menganggapnya pelita hati, Ia tak punya pangkat, tapi kami hormati. Ia tak punya jabatan tinggi, tapi kami cintai apalagi ia pendidik sekaligus pernah mengajar ngaji anak tanpa pamrih.
Kematian adalah misteri yang hanya bisa dijawab dengan keikhlasan. Ia datang seperti hujan tiba-tiba. Tapi seperti hujan, kepergian Bu Santi menyuburkan banyak hal. Ia membuat kami kembali saling peluk. Ia mengajarkan kami bahwa keikhlasan tidak butuh panggung, dan cinta tidak harus bersuara keras.
Selamat jalan, Bu Santi. Terima kasih telah menjadi cahaya dalam gelap kami. Terima kasih telah menjadi embun saat kami hampir layu. Semoga segala amal baikmu, kerja ikhlasmu, dan cinta yang kau tabur menjadi ladang pahala yang terus mengalir di sisi Allah SWT.
Untuk suami, anak-anak, dan cucu-cucumu kalian bukan ditinggalkan, kalian hanya ditunjukkan bahwa cinta bisa abadi, bahkan setelah nafas terakhir terhembus.
Dan sebagai tanda kasih terakhir, kami dari Ibu-Ibu PAKEM RT 50 Tahap I, Posyandu RT 50, serta PKK RT 50, mempersembahkan sebuah puisi untukmu, Ibu.[***]
Selamat Jalan, Bu Santi…
Tak ada lagi langkah ringan di pagi,
yang biasa singgah ke rumah-rumah,
menanyakan balita siapa belum timbang,
menawarkan pelukan lewat senyum ramah.
Tak terdengar lagi suara pelanmu,
yang lebih sering mendengar daripada bicara.
Tak tampak lagi sosokmu duduk ngobrol ditengah-tengah kami.
mendengarkan keluh,
menyimpan semua rahasia kami
tanpa pernah menghakimi.
Bu Santi,
engkau tak pernah memimpin dengan suara,
tapi dengan teladan sederhana.
Tak pakai selempang atau panggung,
tapi hatimu cukup jadi tanda
bahwa hidup itu bukan soal besar atau kecil,
tapi seberapa dalam kita hadir di hidup orang lain.
Kau tahan sakit seperti menahan tangis diam,
kau tetap hadir meski tubuhmu ingin rebah,
menyiram bunga depan posyandu,
mendata ibu hamil, anak stunting.
memantau, padahal tanganmu sendiri sedang gemetar.
Satu-satu kami datangi rumahmu hari ini,
membawa doa yang lebih berat dari bunga,
karena kepergianmu tak hanya duka,
tapi juga kehilangan arah sejenak
seperti lampu yang padam saat hujan deras tiba.
Namun kami tahu,
kau tidak benar-benar pergi.
Engkau tinggal di antara catatan rapat
yang masih kami simpan.
Di antara nama-nama yang pernah kau bantu.
Dan di hati kami yang pernah kau sentuh
tanpa syarat, tanpa pamrih.
Selamat jalan, Bu Santi.
Semoga semua amal dan kebaikanmu
diterima Allah SWT dengan penuh kasih sayang.
Semoga surga menyambutmu
seperti kami dulu menyambutmu setiap pagi
dengan harap dan senyum
Puisi ini kami persembahkan dengan cinta dan air mata,
dari kami yang masih berdiri di pelataran rumah kecil itu
Ibu-Ibu PAKEM RT 50 Tahap I,
Ibu-Ibu Posyandu RT 50,
dan Ibu-Ibu PKK RT 50.
Kami kehilanganmu,
tapi kami juga bersyukur pernah mengenalmu..**