“Naik gunung itu bukan cuma perkara kaki yang kuat, tapi juga hati yang siap, karena kadang, alam bukan sedang marah, kita saja yang terlalu gegabah”.
BEGITULAH, kisah duka menyayat datang dari atap Lombok, Gunung Rinjani, yang katanya jadi tempat paling romantis buat menikmati sunrise, tapi juga diam-diam menyimpan tebing curam dan sunyi yang mematikan.
Korbanya adalah JDSP (27), pemuda asal Brasil yang mungkin datang ke Indonesia dengan semangat petualangan, asanya spiritual, atau sekadar ingin menjajal jalur pendakian eksotis yang viral di TikTok. Namun takdir berkata lain, dia terjatuh ke jurang sedalam 600 meter lebih dalam dari utang negara, dan tentu saja lebih menyakitkan.
Peristiwa ini bukan kisah tentang orang yang ceroboh, tetapi tentang bagaimana alam bisa menjadi peluk hangat sekaligus pelajaran pahit bagi kita yang sering merasa tak terkalahkan.
Kadang, manusia terlalu percaya bahwa semua bisa diatasi dengan aplikasi dan kamera aksi. Padahal, medan Rinjani tak bisa dikompromi dengan lensa wide atau filter Instagram.
Bayangkan jenazah JDSP harus dievakuasi dari dasar jurang oleh tim SAR gabungan, dengan upaya penuh drama yang bahkan sinetron kolosal pun akan minder.
Ada tebing, ada badai, dan ada harapan tipis yang dipaksakan untuk tetap hidup. Tapi pada akhirnya, mereka berhasil membawa jasad sang pendaki ke Pelawangan, tempat aman di jalur pendakian, sebelum dibawa turun ke Sembalun.
Satyawan Pudyatmoko, Dirjen KSDAE, menyampaikan duka cita dari Kementerian Kehutanan, kita hargai itu. Tapi dalam hati, kita juga bertanya kenapa tiap tahun ada saja yang jatuh? Apa yang salah, gunungnya, pendakinya, atau sistem perizinannya?
Gunung bukan tempat bermain dadu. Tapi sayangnya, banyak pendaki yang datang cuma modal nekat dan playlist Spotify. Bawa kemeja flanel dan sandal gunung, tapi lupa bahwa di atas sana tak ada warung kopi dan sinyal WhatsApp. Kalau kata pepatah “Air tenang menghanyutkan, gunung tenang bisa menjatuhkan”.
Kementerian bilang akan memperbaiki sarana prasarana. Bagus, tapi semoga bukan cuma tambal-tambal jalur dan pasang plang peringatan dengan font Comic Sans.
Edukasi keselamatan harus dimasifkan, simulasi evakuasi harus dibuat rutin, dan para pendaki pemula harus bisa membedakan antara naik gunung dan jalan-jalan ke mal.
Ini bukan perkara nasionalisme, ini perkara nyawa. Gunung memang tempat yang indah, dan indah itu bukan berarti aman. Cinta pun bisa beracun kalau berlebihan, apalagi cinta pada puncak gunung.
Kita semua suka menantang batas diri, tapi jangan sampai malah menantang batas hidup. Gunung boleh tinggi, tapi jangan sampai ego kita lebih tinggi dari itu.
Dan buat para pendaki, baik yang baru coba-coba maupun yang sudah punya jaket gunung berpulu -puluh, ingatlah bahwa di atas sana tak ada tombol undo. Kaki boleh gagah, tapi keputusan konyol tak bisa dicuci bersih oleh likes dan views.
Terakhir, untuk JDSP, kami tidak mengenalmu secara pribadi, tapi kami bisa merasakan hangatnya semangatmu dari jauh. Perjalananmu berakhir di Rinjani, tapi mungkin jiwamu kini berjalan tenang, di tempat yang lebih damai dari segala puncak, karena dalam setiap pendakian, tujuan utamanya bukan puncak… tapi pulang, dan tidak semua yang jatuh, sempat kembali.
Dan untuk kita yang masih bisa rebahan di kasur empuk sambil baca berita ini, mari kita jujur terkadang kita terlalu percaya diri, merasa bahwa ransel mahal dan sepatu kekinian bisa menaklukkan alam.
Padahal, gunung tak pernah janji akan ramah pada siapa pun. Oleh karena itu, sebelum berangkat mendaki, siapkan bukan cuma fisik dan logistik, tapi juga kesadaran bahwa pulang ke rumah jauh lebih penting daripada sekadar pamer selfie di Pelawangan, sebab ujung-ujungnya, yang ditunggu keluarga itu bukan fotomu di atas awan, tapi dirimu yang masih bisa bilang, “Aku sampai rumah, Ma”.[***]