PELATARAN Benteng Kuto Besak [BKB] belum lama ini mendadak menjadi seperti tanah suci sementara, bukan karena ada unta atau batu hitam, melainkan karena ribuan warga Palembang berkumpul, bershalawat, dan mendengarkan ceramah dari Ustaz Abdul Somad.
Aroma minyak kayu putih bercampur sandal jepit baru terasa di udara, dan suara salawat menggema lebih syahdu dari panggilan diskon di pusat perbelanjaan.
Di tengah lautan umat, Wali Kota Ratu Dewa dan Wakilnya Prima Salam duduk manis seperti mempelai. Seragam muslim mereka matching, hijau sage warna yang cocok untuk acara tabligh maupun photoshoot kalender pemerintah. Tapi bukan soal fashion yang jadi fokus malam itu. Yang lebih penting, malam itu adalah perayaan Tahun Baru Islam 1447 H sekaligus laporan tak resmi 100 hari kerja duet RDPS.
Coba bayangin, anak-anak muda zaman now diajak pawai obor. Mungkin awalnya mereka mikir, “Ngapain sih ini? Gak ada WiFi-nya?”. Tapi lama-lama, setelah jalan kaki sambil salawatan, mereka bisa nyadar bahwa yang bikin tenang itu bukan sinyal 5G, tapi zikirmu yang kontinyu.
Kita ini udah terlalu lama disuguhi hiburan yang ramai tapi hampa. Festival musik? Ada. Parade cosplay? Banyak. Tapi parade iman? Wah…., udah jarang. Makanya waktu Ustaz Abdul Somad buka ceramah dengan logat Melayu yang khas, orang-orang langsung melek. Bukan karena ngantuk ilang, tapi karena hatinya dicubit. Pelan-pelan. Tapi kena.
Wali Kota Ratu Dewa malam itu tampil tenang. Wakilnya, Prima Salam, juga adem. Baju mereka matching. Kalau orang pacaran pake baju couple itu niat pamer, kalau kepala daerah pake baju serasi itu artinya kompak (atau minimal takut dimarahi istri kalau gak rapi).
Tapi yang lebih penting dari penampilan adalah penegasan visi. Mereka gak sekadar hadir dan ngangguk sambil manggut-manggut denger ceramah. Ratu Dewa bilang, 75% janji kampanye udah jalan. Nah, sisanya 25% ke mana?
Mungkin masih diangetin di oven APBD. Tapi ya sudah, yang penting ada progress.
Wong kadang kita aja udah janji diet tiap Senin, tapi Senin terus lewat tanpa aksi nyata. Apalagi kepala daerah yang ngurusin ribuan masalah kota.
Yang menarik, Ratu Dewa dan Prima Salam gak cuma mau dikenal lewat poster dan baliho. Mereka ingin dikenal lewat program yang masuk akal, menyentuh moral, dan mungkin juga bisa buat viral (kalau isinya kebaikan). Misalnya, menghidupkan pawai obor bukan sekadar nostalgia, tapi upaya membangun karakter warga lewat tradisi. Ini langkah yang cukup langka, mengingat banyak pejabat sekarang lebih doyan bangun rest area daripada ruang zikir.
Program pawai obor di tiap kelurahan dan RT ini gagasan yang menarik, bahkan bisa jadi agenda tahunan kota. Tapi ya jangan lupa, kalau mau bikin pawai jalan kaki keliling kampung, jalan kampungnya jangan berlubang. Masa baru lima langkah salawatan, tiba-tiba jamaah terpeleset masuk lubang got? Kan, bisa salah fokus, dari zikir jadi zikir-zikir sakit pinggang.
Makanya, iman dan infrastruktur itu harus jalan bareng. Gak bisa iman doang tanpa jembatan, atau jembatan doang tanpa jembatan hati. Kita butuh keduanya jalan mulus dan jalan hidup, sama pentingnya.
Di akhir sambutannya, Ratu Dewa ngajak warga agar memperbanyak generasi muda yang cinta Al-Qur’an. Ini penting banget. Soalnya, sekarang lebih banyak anak muda hafal joget TikTok daripada surat pendek. Bukan salah mereka, sih. Mungkin karena belum ada challenge “30 juz in 30 days with hadiah sepeda listrik”.
Nah, kalau Pemkot serius membina anak muda cinta Qur’an, bisa dimulai dengan Majelis ngaji tiap kelurahan. Lomba adzan dan hafalan Al-Qur’an tingkat RT. Video dakwah pendek buat platform digital atau, bikin “Ngaji on The Street” biar tren dan iman bisa jalan bareng.
Intinya, iman bukan harus diam di masjid, tapi juga harus jalan-jalan ke media sosial, supaya anak muda gak cuma viral, tapi juga berakhlak digital.
Kota ini udah terang. Tapi apakah cukup terang sampai sudut-sudut hati warganya? Belum tentu. Maka dari itu, obor bukan sekadar batang api, tapi simbol, namun simbol bahwa kita ingin kembali ke nilai. Kembali ke iman. Kembali ke salawat dan Qur’an, karena kota yang hebat itu bukan yang banyak mall-nya, tapi yang banyak doanya.
Ribuan warga malam itu berkumpul di bawah langit Palembang, mengamini doa-doa, mengucap salawat, sambil mendengar UAS bicara tentang hidup yang lurus. Semoga itu jadi awal bukan hanya 100 hari kerja pemerintah, tapi juga 1000 hari perubahan cara berpikir warga kota.
Dan kalau nanti kita lihat anak-anak kecil bawa obor keliling gang sambil salawatan, percayalah, itu bukan nostalgia. Itulah masa depan.
Hajat batin warga
Acara di BKB malam itu bukan cuma hajat Pemkot, tapi juga hajat batin warga. Kalau biasanya hajatan itu ngundang biduan, kali ini hajatan spiritual ngundang ustaz dan yang hadir bukan cuma tetangga dekat, tapi ribuan jamaah lintas RT, kelurahan, sampai lintas perasaan.
Tapi ingat, hajat semacam ini jangan hanya jadi kalender tahunan yang dibungkus spanduk dan ucapan manis. Karena rakyat sekarang sudah pinter. Mereka bisa bedakan mana acara penuh makna, mana yang sekadar settingan kamera drone. Mereka tahu, yang mereka cari bukan cuma tempat kumpul, tapi juga tempat bertumbuh.
Coba tanya emak-emak yang duduk lesehan, mereka datang bukan buat selfie sama ustaz, tapi karena ingin tahu “Apakah pemimpin kami ini masih ingat kami di lorong-lorong sempit? Atau hanya ingat ketika kampanye dan kamera menyala?”
Kalau cuma nyalain obor sekali setahun, lalu padam lagi selama 364 hari berikutnya, ya percuma. Ibarat orang diet yang cuma kuat tahan gorengan pas hari Senin, habis itu kembali ke mi instan dan krupuk 3 lapis.
Obor spiritual warga Palembang harus dijaga nyalanya. Gimana caranya? Ajak anak-anak ngaji gak cuma Ramadan doang, bikin ruang dialog di kelurahan, bukan cuma ruang karaoke. Hadirkan ustaz bukan cuma saat event besar, tapi juga saat warga galau dan butuh pencerahan. Dan tentu saja, pawai obor jangan cuma buat konten YouTube dinas.
Karena obor sejati adalah yang bisa menyalakan kesadaran kolektif bahwa iman itu bukan sekadar simbol, tapi kompas hidup. Kalau boleh kita bilang lebih baik nyalain satu obor kecil tiap malam, daripada ngarep lampu sorot di acara tahunan.
Sebagus apapun program, kalau hanya jadi berita tanpa bukti, maka rakyat bakal cepat bosan. Karena rakyat sudah kenyang janji, apalagi janji yang dikemas dalam bahasa indah tapi gak pernah turun sampai ke lorong-lorong.
Wali kota dan wakilnya mungkin udah capek mutar kota naik mobil dinas, tapi rakyat juga capek mutar pikiran cari solusi hidup tiap hari. Makanya, butuh kolaborasi yang nyata, bukan cuma kata-kata.
Kalau rakyat diajak cinta Qur’an, maka pemimpinnya juga harus terlihat cinta Qur’an. Kalau rakyat diajak jaga moral, maka pejabatnya juga jangan suka marah-marah pas rapat terus terekam CCTV.
Palembang bukan kota sembarangan. Ia adalah kota tua yang pernah jadi pusat peradaban, kota sungai, kota sejarah, dan sekarang, semoga juga jadi kota yang disirami iman.
Kalau benar nanti tiap kelurahan bikin pawai obor, dan tiap RT kompak shalawatan, maka bukan cuma listrik yang nyala… tapi juga nurani kita.
Karena kota yang baik itu bukan kota yang hanya terang karena lampu jalan, tapi terang karena hati warganya menyala. “Mari nyalakan obor bukan hanya di tangan, tapi juga di rumah, di hati, dan di kantor-kantor pelayanan publik supaya Palembang bukan cuma bersinar di peta, tapi juga di surga”. [***]
Aamiin.