HALO manusia modern!
Perkenalkan, aku si lumpang batu, jangan salah kira, aku bukan nama panggung dangdut atau merek obat kuat, aku ini cuma batu gede yang sejak ribuan tahun lalu nongkrong manis di dapur. Tapi meski bentukku gitu-gitu aja, fungsiku jangan diremehkan, kalau diibaratkan, aku ini semacam blender tradisional edisi limited, yang tak lekang oleh zaman.
Dulu, sebelum kalian kenal listrik, sebelum mesin canggih bernama blender tercipta, aku lah bintangnya. Mau bikin sambal? Aku jagonya. Mau ngeracik jamu? Aku spesialisnya. Bahkan kalau ada tetangga nyebelin, bisa tuh ditumbuk rasa kesalnya lewat cabai jadi energi negatif tersalurkan, energi pedas tercipta.
Aku ini tak pernah sendirian, aku punya pasangan hidup bernama alu, kalau aku ibarat mangkuk batu, alu itu tongkat kayu panjang yang selalu menemaniku, kami serasi, kayak kopi dan gula, kayak sandal jepit, kalau hilang satu, pincanglah hidup.
Setiap hari alu datang “gedor-gedor” aku, kalau aku manusia, mungkin aku sudah lapor KDRT. Tapi karena aku batu, ya sudah lah, aku pasrah. Justru di situlah letak cinta sejati rela dipukul, asal bisa melahirkan sambal nikmat yang bikin orang bahagia.
Zaman sekarang kalian lebih suka yang instan, ada cabai, masuk blender, brrrtttt! keluar sambal. Cepat sih, tapi rasa? Hmm… kalau kata pepatah, “Yang cepat belum tentu mantap, yang instan belum tentu berkesan”
Kalau cabai ditumbuk pakai aku, teksturnya kasar halus berbaur, rasanya mantap, beda jauh dengan blender yang bikin sambal terlalu halus, kayak bubur bayi, sambal itu harus ada “gajluk-gajluknya” biar lidah bergoyang.
-
Latihan Otot Gratis
Siapa butuh fitness mahal? Numbuk cabe pakai aku sudah cukup. Lenganmu kencang, otot terbentuk, emosi tersalurkan. Orang-orang kampung dulu sehat bukan karena susu impor, tapi karena tiap hari olahraga “numbuk sambal”. -
Terapi Stress
Emak-emak kampung suka curhat sambil numbuk: “Suamiku pulang larut lagi… duk duk duk!” Aku ini saksi bisu gosip, air mata, bahkan tawa. Kalau aku bisa nulis status, mungkin sudah viral sejak zaman Majapahit. -
Anti Listrik Padam
Blender hebat kalau listriknya hidup. Begitu mati lampu, wassalam. Aku? Tenang aja, tak butuh colokan, tak perlu charger. Aku ini alat dapur anti-letoy, selalu siap kapan saja.
Aku memang cuma batu, tapi aku sering jadi guru kehidupan, proses menumbuk itu mengajarkan banyak hal.
-
Kesabaran: Cabai keras sekalipun bisa halus kalau sabar ditumbuk. Begitu pula masalah hidup, sebesar apapun bisa selesai kalau sabar dihadapi.
-
Kerja Sama: Aku tak ada gunanya tanpa alu. Alu pun tak berguna tanpa aku. Hidup itu soal kolaborasi, bukan saling menjatuhkan. Ingat pepatah kampung “Lumpang tak pernah sombong meski di atas, alu tak pernah minder meski di bawah”
-
Ketekunan: Makin lama ditumbuk, makin enak rasanya, begitu pula hidup yang ulet pasti dapat hasil mantap.
Kadang aku geli sendiri, bayangin, tiap hari aku ditumbuk, kalau aku bisa ketawa, mungkin sudah ngakak sejak zaman nenek buyutmu. Ada anak kecil iseng, malah masukin kelereng ke dalamku. Ada kucing lewat, jatuh kepalanya nyemplung di sambal. Drama dapur, aku selalu jadi saksinya.
Dan yang paling seru, setiap lebaran aku berubah jadi rebutan, bukan buat sambal lagi, tapi buat ngulek bumbu opor ayam. Rasanya, tanpa aku, lebaran kurang greget.
Nah, ini pertanyaan penting, kenapa sih aku masih dipakai sampai sekarang, padahal blender ada? Jawabannya simpel yakni rasa dan jiwa.
Blender memang cepat, tapi sambalnya hambar, terlalu halus, kehilangan “ruh pedas”, sementara aku memberi ruang bagi cabai, bawang, terasi untuk berbaur alami, bukan sekadar campur, tapi “nikah rasa”.
Blender itu ibarat pacaran instan via dating app cepat ketemu, tapi kurang kenal, sambal tumbuk di aku ibarat cinta kampung prosesnya lama, tapi hasilnya bikin nagih.
Hei manusia modern, jangan terlalu suka instan, hidup itu kadang harus ditumbuk dulu biar keluar rasa terbaik, sama seperti cabai yang makin harum kalau diulek pelan-pelan.
Jangan minder jadi orang sederhana, aku ini cuma batu, tapi jasaku dikenang, ada pepatah cocok banget “Batu lumpang lebih mulia daripada emas yang tak berguna”
Ingatlah, keras kepala boleh, asal untuk kebaikan, keras hati juga boleh, asal bukan untuk menyakiti, aku keras, tapi manfaatku lembut terasa di lidah semua orang.
Jadi, jangan remehkan aku si lumpang batu, aku bukan sekadar benda kuno di sudut dapur, aku saksi sejarah kuliner, aku alat olahraga gratis, aku tempat curhat emak-emak, aku guru filosofi.
Kalau kalian mampir ke rumah nenek, jangan lupa sapa aku, sentuh aku, lalu rasakan energi ribuan tahun. Cobalah bikin sambal dengan aku, lalu bandingkan dengan blender. Niscaya kalian akan berkata “Betul, sambal tumbuk memang lebih mantap!”
Karena hidup ini, kawan, persis seperti sambal di lumpang makin ditumbuk, makin terasa nikmatnya.[***]