Features

“Pelabuhan Sepi, TKBM Menepi, Jangan Biarkan 1.300 Perut Ditepuk Angin!”

ist

Sumselterkini.co.id, – Pernah dengar pepatah “pelabuhan adalah jantung kota maritim”?. Nah, kalau pelabuhan Boom Baru Palembang sekarang dicek detaknya, hasilnya mungkin denyut lemah, tekanan rendah, dan ekonomi lokal nyaris kolaps. Bukan karena tak ada air laut, tapi karena makin sedikit kapal yang bersandar, dan makin sedikit kapal, makin sepi pula hidup 1.300 buruh bongkar muat yang menggantungkan nasib dari pelabuhan ini.

Kalau buruh bisa mengeluh sambil pegang toa, mungkin suaranya sudah lebih lantang dari klakson kapal tanker. Tapi kenyataannya, para buruh hanya bisa menatap dermaga sambil menimbang besok masih kerja atau tidak?

Mereka adalah TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat), para pekerja keras yang sudah puluhan tahun jadi tulang punggung aktivitas pelabuhan. Bukan tukang angkut sembarangan, mereka adalah tenaga bersertifikasi, profesional, dan dijamin oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Tapi entah kenapa, makin ke sini nasib mereka mirip alat berat yang dibiarkan berkarat ada, tapi tak dipakai.“Ada 1.300 buruh di bawah Koperasi TKBM yang hidup dari pelabuhan ini, mayoritas kepala keluarga, dan kini makin jarang dipanggil kerja. Kalau kondisi ini berlarut, kami tak hanya kehilangan penghasilan, tapi bisa-bisa kehilangan harapan,” ujar  Ahyani, Ketua Koperasi TKBM Pelabuhan Palembang, sambil menunjukkan daftar nama yang makin lama makin jarang dipanggil giliran kerja, dalam keterangannya, Selasa [3/6/2025].

Lebih lanjut ia menjelaskan, dari total ribuan buruh itu, hanya sekitar 800 orang yang bergiliran kerja di Boom Baru, sisanya tersebar ke titik lain seperti TUKS (Terminal Untuk Kepentingan Sendiri), jeti-jeti, atau STS (ship to ship). Tapi masalahnya, banyak perusahaan sekarang malah bongkar muat sendiri, tanpa melibatkan buruh dari koperasi, padahal sudah ada aturan hukum yang mengatur bahwa kegiatan bongkar muat seharusnya dilakukan melalui koperasi TKBM yang legal.“Kami bukan buruh serabutan. Para TKBM sudah dilatih, bersertifikat, dan punya legalitas. Tapi kenapa malah dikesampingkan? Apa gunanya aturan kalau tak ditegakkan di lapangan?” tambah Ahyani, dengan nada yang lebih getir daripada suara burung camar saat tak ada kapal lewat.

Ini bukan sekadar cerita buruh ngeluh. Ini soal ketimpangan antara efisiensi ala korporasi dan keadilan sosial ala Pancasila, kalau perusahaan seenaknya pakai tenaga sendiri, lalu para TKBM dikemanakan? Disuruh jual es teh di pinggir dermaga? Atau disuruh ngamen sambil bawa dongkrak?

Pemerintah tak perlu jadi superhero pelabuhan, cukup jadi wasit yang adil. Tegakkan saja aturan main yang sudah dibuat sendiri. Dalam PP No. 7 Tahun 2021 tentang perlindungan koperasi dan UMKM, serta SKB 2 Dirjen 1 Deputi Tahun 2011, sudah jelas bahwa koperasi TKBM adalah entitas legal dalam kegiatan bongkar muat.

Oleh sebab itu, KSOP (Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan) perlu proaktif menegur dan menertibkan perusahaan yang ‘bongkar muat diam-diam’ tanpa melibatkan TKBM. Pemerintah Provinsi dan Kota harus membuka dialog terbuka agar peran koperasi TKBM bisa disinkronkan dengan kebutuhan industri logistik masa kini dan pemilik TUKS juga harus disadarkan bahwa keuntungan tak harus dibangun dari penghematan yang menyakiti pihak lain.

Karena kalau 1.300 orang kehilangan pekerjaan, maka bukan cuma pelabuhan yang sepi warung kopi di sekitar pun ikut bangkrut, tukang ojek nganggur, dan ekonomi mikro di pinggir dermaga bisa ikut tenggelam.

Negara tak boleh jadi penonton di pelabuhannya sendiri. Jangan tunggu 1.300 buruh itu berubah jadi patung dermaga demi menunjukkan betapa mereka “siap kerja tapi tak dipakai”. Kalau aturan tak ditegakkan, maka keadilan akan karam lebih cepat dari perahu bocor.

Saatnya semua pihak duduk semeja  bukan sekadar berbagi kopi, tapi berbagi tanggung jawab. Sebab kalau perut lapar terus didiamkan, nanti yang naik bukan cuma angka pengangguran, tapi juga amarah yang bisa membanjiri seperti pasang air sungai Musi di musim hujan.

Pemerintah pusat, KSOP, hingga pemilik TUKS perlu ingat bahwa pelabuhan bukan hanya tempat kapal bersandar, tapi juga tempat ribuan nasib digantungkan. Jangan biarkan yang profesional justru dimandulkan oleh praktik-praktik semaunya sendiri. Libatkan TKBM, hormati aturan, dan jagalah keseimbangan antara efisiensi industri dan martabat pekerja.

Karena sejatinya, pelabuhan itu hidup bukan karena kapal besar, tapi karena tangan-tangan kecil yang bekerja penuh peluh dan harap. Kalau 1.300 buruh saja kita abaikan, maka kapal-kapal besar yang datang pun hanya akan jadi simbol kekosongan megah di luar, tapi tak membawa berkat bagi orang dalam.

Mari kita kembalikan denyut nadi Pelabuhan Boom Baru, bukan dengan spanduk seremoni, tapi dengan keberpihakan nyata kepada buruh yang tiap hari mengandalkan keringat untuk mengisi piring di rumahnya.

Kita juga  bukan sedang bicara soal bongkar peti semangka di pasar malam. Ini soal bongkar muat di pelabuhan strategis, yang menyangkut mata pencaharian ribuan kepala keluarga. Kalau 1.300 TKBM terus dikesampingkan, maka yang karam bukan hanya kapal di lautan, tapi juga kapal rumah tangga di daratan. Anak-anak mereka bisa putus sekolah, dapur tak ngebul, dan cicilan motor bisa jadi monumen kenangan.

Sebagai negara yang bangga dengan Pancasila, kita tak boleh cuma sibuk bicara soal keadilan sosial di baliho dan pidato hari Senin. Ini waktunya keadilan sosial itu turun ke dermaga, menyapa para buruh, dan bilang “Tenang, kami tak akan biarkan kalian menganggur di tanah sendiri.”

Dan jangan lupa, ketika pelabuhan kembali hidup dan buruh bisa kerja layak, dampaknya bukan cuma ke koperasi, tapi juga ke ekonomi lokal warung nasi uduk ramai, tukang tambal ban dapat pelanggan, bahkan pedagang es tebu bisa tersenyum lebih manis. Semoga para pemangku kepentingan bisa mendengar suara-suara dari dermaga, yang meski tak sekeras klakson kapal, tapi memuat harapan yang tak kalah besar.[***].

Terpopuler

To Top