HALO, perkenalkan namaku sumpit, aku sepasang batang ramping yang biasanya nongkrong bareng sendok, garpu, dan kadang pisau di sebuah wadah cantik di meja makan. Bedanya, kalau sendok bentuknya bulat manis, garpu bergigi empat bak senyum palsu mantanmu, aku hanya sepasang kayu lurus ramping, sederhana, dan kadang bikin pemula frustrasi saat mau dipakai.
Tapi jangan salah, meskipun aku cuma sepasang batang lurus, aku punya sejarah panjang, manfaat banyak, dan kisah kocak yang siap kubagikan. Yuk, dengar curhatku sebentar.
Aku lahir ribuan tahun lalu di Tiongkok, sekitar 5.000 tahun silam, waktu itu manusia sedang pintar-pintarnya masak, tapi nggak mau tangannya panas gara-gara ngambil daging dari panci mendidih. Nah, muncullah aku, si sumpit, alat makan praktis yang bisa menjepit makanan tanpa harus nunggu dingin dulu.
Aku lalu jalan-jalan ke Jepang, Korea, Vietnam, bahkan sekarang sampai ke meja makan orang Indonesia, jadi, meski aku asli dari Asia Timur, kini aku sudah jadi warga dunia. Kalau pepatah bilang, “Di mana bumi dipijak, di situ sumpit dipakai”.
Banyak orang mikir aku cuma dipakai buat makan mie. Eh, jangan salah, aku bisa dipakai untuk menjepit sushi, dimsum, bakpao, sampai cilok pun bisa kalau nekat, mengaduk kopi panas biar lebih estetik (asal jangan disangka sedotan), jadi alat masak ringan, misalnya ngocok telur atau menggoreng tempe, bahkan kadang dijadikan tusuk rambut ala drama Korea multifungsi, bukan?
Aku ini ibarat teman serba bisa, kalau sendok spesialis kuah, garpu jago nusuk, pisau ahli motong, aku spesialis “ngejepit dengan elegan”.
Aku ini selalu lahir berpasangan, kalau sendiri, aku nggak bisa apa-apa, kayak pepatah Jawa, “Urip kuwi kudu rukun” (hidup itu harus rukun). Begitu juga aku, sumpit, kalau dipisahkan, aku hanya batang kayu sebatang kara. Tapi kalau berdua, aku bisa angkat mie panjang-panjang tanpa putus, bisa jepit bakso bulat tanpa jatuh.
Hidup juga begitu. Sendiri memang bisa, tapi kalau ada pasangan, sahabat, atau tim yang solid, semuanya jadi lebih gampang.
Biar kuceritakan keseharian kocakku. Aku suka iri sama sendok, dia sering dipuji karena bisa ambil nasi banyak sekaligus. Sementara aku? Ah, paling dapat sebutir nasi yang nakal nempel di ujungku. Tapi tenang, aku balas dendam saat ada mie goreng. Saat sendok bingung ngambil mie yang licin, aku dengan anggun menjepitnya.
Garpu pun sering nyinyir, katanya aku ribet. “Ngapain jepit-jepit, tinggal tusuk aja selesai!” katanya, aku hanya nyengir, karena aku tahu, kalau makan sushi atau tahu isi, ditusuk itu justru nggak sopan. Ingat pepatah, “Ada tempatnya masing-masing, ada caranya setiap hal.”
Kalau boleh kasih wejangan, aku ingin bilang hidup itu butuh keseimbangan, aku sepasang sumpit, panjangnya sama, bentuknya mirip. Kalau salah satu beda, pasti susah dipakai. Begitu juga hidup, butuh kesetaraan. Kesabaran itu penting, pemula yang belajar pakai aku pasti gemeteran, makanan jatuh melulu. Tapi dengan latihan, akhirnya lancar. Sama seperti hidup, semua butuh proses.
Jangan sombong dengan kelebihanmu, aku bisa jepit mie, tapi lemah di nasi. Sendok bisa kuah, tapi nggak bisa sushi. Semua ada kelebihan dan kekurangan.,jadi, saling melengkapi itu lebih baik.
Itulah kisahku, sumpit, dari Asia Timur aku merantau ke meja makan dunia, aku sederhana, cuma dua batang kayu lurus, tapi mengajarkan banyak hal kerja sama, keseimbangan, kesabaran, dan pentingnya kebersamaan.
Jadi lain kali kamu makan pakai aku, jangan cuma mikirin kenyang. Ingat juga pesan moral yang kubawa. Hidup itu kayak sumpit, kalau mau berhasil, harus ada pasangan, keseimbangan, dan niat yang kuat buat belajar.
Kalau kata pepatah dagelan “Jangan remehkan dua batang kayu, bisa bikin perutmu bahagia dan hatimu belajar bijaksana”
Salam hangat dari aku, sumpit, si dua batang ramping yang selalu setia menemanimu di meja makan.[***]