NGOMONGIN soal dapur, biasanya identik dengan aroma bawang goreng, panci gosong, atau emak-emak yang lagi heboh masak sambil ngomel, namun tidak untuk dapur di Sumatera Selatan, karena sangat istimewa dan punya makna lain, bahkan dapur ini, bukan sekadar untuk tempat masak sayur asem, lodeh dan sebagainya, tapi tempat untuk meracik kepedulian.
Dapur itu disebut dengan nama Dapur MBG, karya bareng KADIN Sumsel dan diresmikan langsung Gubernur Herman Deru di Transmart Palembang.
Siapa sangka lagi, organisasi yang biasanya identik sama jas rapi dan angka miliaran di neraca keuangan, tiba-tiba ngomongin urusan dapur rakyat. Biasanya mereka diskusi soal investasi, kali ini malah mikirin harga cabai, dunia memang berubah, bung.
Acara itu sebenarnya Rapimprov KADIN Sumsel, namanya aja udah bikin dahi berkerut yakni Rapat Pimpinan Provinsi. Kedengarannya kaku, penuh istilah ekonomi dan target pertumbuhan. Tapi kali ini, rapatnya punya aroma beda kayak sambal terasi di wajan panas. Soalnya diselipin peluncuran Gerakan Pangan Murah dan peresmian Dapur MBG.
Gubernur Herman Deru yang hadir tampak sumringah, sebutnya, KADIN Sumsel itu bukan cuma jago ngurus bisnis, tapi juga mulai jago “masak rasa sosial”. Kok bisa, ya bisa-lah sebab di zaman harga bahan pokok naik-turun kayak sinyal Wi-Fi, yang dibutuhkan rakyat itu bukan teori ekonomi makro, tapi nasi dan lauk yang masih bisa dijangkau dompet tipis.
Kata Deru, gerakan pangan murah ini penting buat jaga stabilitas harga dan bantu masyarakat dapat bahan pokok tanpa bikin jantung deg-degan di kasir. Nah, akur, ini baru namanya kolaborasi nggak cuma numpang tanda tangan MoU, tapi juga nyentuh dapur warga.
Biasanya kalau dengar kata KADIN, orang mikirnya “Ah, kumpulan pengusaha”. Tapi di sini beda, mereka lagi berusaha menepis stereotip itu. Lewat Dapur MBG, mereka seperti bilang “Hei, kita juga bisa peduli kok, bukan cuma cari untung”.
Inisiatif ini seperti nasi goreng tengah malam, sederhana, tapi bikin hangat, lantaran di dalamnya ada bumbu tanggung jawab sosial. Ini bukan proyek pencitraan, tapi bentuk nyata kalau dunia usaha juga punya hati, bukan sekadar kalkulator laba-rugi.
Ketua Umum KADIN Indonesia, Anindya Bakrie, malah sempat bilang, “Sumsel ini beda, kolaborasinya nyata”. Nah, ini pujian yang jarang keluar dari mulut pengusaha nasional.
Artinya, KADIN Sumsel berhasil bikin dunia usaha tampil dengan wajah manusiawi. Bukan lagi sosok elit yang cuma nongol di seminar ber-AC, tapi hadir di tengah rakyat, di bawah terik panas dan aroma minyak goreng.
Kalau dipikir-pikir, dapur itu memang simbol kehidupan, dari situ energi manusia lahir, dari situ pula rasa syukur diuji karena tak semua orang punya dapur yang berasap tiap hari. Maka dari itu, Dapur MBG bukan cuma bangunan dengan panci dan kompor, tapi simbol harapan.
Dari dapur pula lahir solidaritas, di sana, orang bisa belajar bahwa rezeki itu nggak harus selalu disimpan, tapi juga dibagi, seperti pepatah lama bilang, “Semakin sering kau menanak nasi untuk orang lain, makin kenyang juga hatimu sendiri”.
Dan ini yang sering kita lupa, apalagi di tengah hiruk-pikuk politik dan ekonomi, kadang yang dibutuhkan rakyat bukan janji manis di baliho, tapi nasi hangat di meja makan.
Kehadiran Dapur MBG dan Gerakan Pangan Murah ini seolah jadi bukti kalau pemerintah dan pengusaha bisa duduk satu meja tanpa harus berebut kursi. Satu masak, satu cicip, tapi hasilnya buat rakyat banyak.
Kalau kolaborasi ini terus dijaga, bisa jadi Sumsel bukan cuma dikenal sebagai lumbung energi, tapi juga lumbung empati.
Dan jujur aja, di zaman sekarang, empati itu barang langka. Kadang lebih susah dicari daripada minyak goreng waktu harga naik. Tapi kalau KADIN dan pemerintah bisa jadi contoh, barangkali dunia usaha lain bakal ikut-ikutan. Kan kata pepatah, “api kecil dari dapur bisa menyalakan obor besar di luar sana”.
Tapi, tentu semua ini nggak bisa berhenti di seremoni dan potong pita saja, karena dapur, sehebat apa pun alatnya, nggak bakal hidup tanpa api. Api itu semangat dan konsistensi, jangan sampai Dapur MBG ini cuma ramai waktu peresmian, lalu redup kayak bara yang kehabisan angin.
Kepedulian sosial itu harus dijaga, terus dikipasi, biar nggak padam. Karena rakyat nggak butuh program musiman, tapi solusi berkelanjutan, seperti kata pepatah lagi, “lebih baik nasi hangat tiap hari daripada tumpeng setahun sekali”.
Oleh sebab itu, dalam dunia yang makin sibuk mengejar target, kadang manusia lupa menanak rasa. Padahal, hidup ini bukan cuma soal siapa yang paling kaya, tapi siapa yang paling peduli. KADIN Sumsel dan Pemprov sudah mulai langkah kecil dengan Dapur MBG, tinggal kita, mau ikut masak atau cuma nonton dari jauh?
Karena pada akhirnya, urusan dapur bukan cuma soal makan, tapi soal nilai, dan kalau hati sudah ikut masak, yakinlah, yang kenyang bukan cuma perut, tapi juga nurani.
Jadi, Dapur MBG bukan sekadar program, tapi simbol bahwa dunia usaha juga bisa berempati bahwa tanggung jawab sosial itu bukan kewajiban, tapi panggilan hati. Selama kepedulian masih dijaga, Sumsel akan tetap hangat, bukan karena cuaca, tapi karena api solidaritasnya tak pernah padam, semoga tak meleset!.[***]