“Utang itu ibarat cabai rawit-kecil-kecil pedas juga. Kalau dipakai bijak, bisa bikin masakan lezat. Tapi kalau kelewatan, lambung bisa bolong, dompet bisa jebol”
SAUDARA-saudara sebangsa setanah air yang sedang galau cicilan rumah maupun kredit motor, mari kita duduk sejenak. Buka kopi sachet, cemil kripik tempe, karena kita akan membahas yang lebih berat dari mantan yang nikah duluan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia.
Ceritanya begini, pada bulan Mei 2025, ULN kita mencapai 435,6 miliar dolar AS. Tapi kabar baiknya, pertumbuhannya mulai melambat, dari 8,2% (yoy) di April jadi 6,8% di Mei. Artinya, kita mulai bisa ngerem, nggak ngebut kayak motor matic bonceng tiga lewat polisi tidur.
Tapi jangan keburu tepuk tangan pakai sendal, karena cerita ini belum selesai. ULN pemerintah memang masih naik, tapi mulai santai, dari 10,4% jadi 9,8% (yoy). Sedangkan ULN swasta malah ngeloyor turun, kontraksi sampai -0,9%. Mungkin karena bos-bos perusahaan udah mulai sadar, utang itu bukan kolam renang, jangan nyebur kalau nggak bisa berenang.
ULN itu kayak nasi padang. Enak, tapi harus tahu takaran. Jangan semua lauk diambil, nanti bon-nya bikin sesak napas. Kata pepatah, “Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan utang cicilan dan riwayat BI Checking” Jadi kalau kita ngutang, pastikan arahnya produktif, bukan konsumtif.
Nah, kabar baiknya, utang pemerintah dipakai untuk hal-hal positif seperti sektor kesehatan, pendidikan, konstruksi, dan transportasi, itu kayak minjem duit buat kuliah atau buka usaha, bukan buat beli iPhone cicilan 36 bulan tapi sinyalnya di kamar susah. Coba tengok negara lain, seperti di bawah ini.
1. Jepang
Jepang itu punya utang terbesar di dunia dibanding PDB lebih dari 260%, tapi karena sebagian besar utangnya dipinjam dari warga negaranya sendiri dan digunakan untuk membiayai proyek produktif, mereka masih aman terkendali. Kalau Jepang itu kayak orang tua minjem dari anaknya sendiri buat bangun rumah, bukan buat judi online.
2. Argentina
Nah, kalau ini contoh utang jadi drama. Argentina udah bolak-balik gagal bayar alias default, gara-gara utangnya dipakai buat subsidi jangka pendek dan tidak dibarengi reformasi. Ibaratnya, mereka ngutang buat kondangan tapi lupa beli beras.
3. Vietnam
Vietnam lebih kalem, rasio ULN-nya sekitar 38% dari PDB, tapi difokuskan untuk membangun infrastruktur dan sektor manufaktur. Mereka ngutang, tapi buat buka warung yang bisa balik modal, bukan buat nyewa influencer.
Bank Indonesia dan Kemenkeu tetap jaga kewaspadaan, 84,6% dari total ULN kita adalah jangka panjang, jadi nggak perlu panik tiap pagi buka Twitter lihat nilai tukar. Tapi inget! sekuat-kuatnya utang jangka panjang, kalau nggak bisa bayar tetap bisa bikin panjang urusan. Maka dari itu, yuk kita dukung pengelolaan ULN dengan bijak dan transparan.
“Utang itu alat, bukan tujuan. Kalau digunakan dengan cerdas, bisa jadi tangga. Tapi kalau asal comot, bisa jadi jebakan Batman ekonomi”
Kalau dikelola dengan amanah dan produktif, ULN bisa jadi bensin buat mesin pembangunan. Tapi kalau ceroboh, bisa bikin mesin overheat dan mogok di tanjakan. Maka itu, perlu koordinasi erat antar lembaga, pengawasan rakyat, dan kebijakan berorientasi masa depan.”Jangan takut utang, takutlah kalau kita nggak punya arah dan visi”.[***]