DULU orang tua kita bilang “seni itu buat menghaluskan budi”, sekarang pepatahnya harus di-upgrade “seni juga bisa menggemukkan dompet dan menambah devisa”. Jangan salah, pameran “Art for Peace and a Better Future” yang digelar SBY Art Community di ASHTA District 8 bukan sekadar ajang pamer lukisan yang bikin orang mangap-mangap sambil selfie. Ini semacam SPBU baru yang ngisi bahan bakar pertumbuhan ekonomi kreatif.
Bayangkan saja, seni rupa itu ibarat rendang, memang awalnya dimasak dengan penuh perasaan, tapi ketika matang, bisa dijual, diekspor, bahkan dijadikan oleh-oleh diplomasi. Nah, ekonomi kreatif kita sedang lapar mesin baru, dan seni rupa hadir bukan cuma sebagai lauk pauk, tapi jadi kompor induksi yang nyalain api pertumbuhan.
Pameran ini menghadirkan 31 karya lukis dengan tema perdamaian, keberlanjutan, dan harapan lintas generasi. Kalau dipikir-pikir, satu lukisan bisa punya nilai dua kali lipat. Pertama, nilai estetika yang bikin penonton terkesima. Kedua, nilai ekonomi yang bisa bikin saldo rekening ikut tersenyum.
Coba bandingkan, harga satu lukisan kadang setara satu unit motor matik, bahkan ada juga yang bisa nyalip harga rumah subsidi. Itu baru lukisan individu, belum lagi kalau bicara multiplier effect. Dari jasa pencetak katalog, sewa galeri, lighting, sampai jualan kopi sachet di pojok pameran semua dapat cuan. Jadi, kalau ada yang bilang seni cuma hobi mahal, ya salah besar. Ini hobi yang bisa jadi pabrik lapangan kerja.
Kemenekraf menyebut ekonomi kreatif sebagai the new engine of growth, dan pameran ini ibarat test drive mesin baru itu, seni rupa kini bukan hanya urusan kampus seni yang penuh aroma cat minyak, tapi sudah naik kelas jadi mesin pendorong ekonomi.
Ibarat pasar malam, pameran “Art for Peace and a Better Future” bukan sekadar tontonan, tapi juga tempat transaksi ide, karya, bahkan peluang bisnis. Bedanya, di sini tidak ada komidi putar, yang ada adalah lukisan raksasa kolaboratif ukuran 2,5 x 7 meter yang jadi magnet ekonomi. Lukisan ini ibarat billboard ekonomi kreatif, besar, terang, dan mengundang perhatian investor maupun kolektor.
Oleh sebab itu, kalau sawah dikelola baik, hasilnya bisa panen padi, jagung, sampai singkong. Nah, seni rupa itu sama kalau digarap serius, bisa panen uang, devisa, dan branding bangsa. Tapi kalau dianggap sekadar taman hias, ya paling cuma jadi tempat foto-foto.
SBY Art Community dengan melibatkan empat institusi seni plus pelukis profesional sudah kasih contoh gotong royong. Mahasiswa, dosen, pelukis, bahkan Presiden ke-6 turun bareng. Ini bukan sekadar pamer karya, tapi pamer ekosistem. Dari proses kreatif sampai hasil akhir, semua bisa jadi bahan bakar ekonomi kreatif.
Dampak paling nyata tentu ada di dompet seniman. Tapi jangan lupa efek domino-nya lapangan kerja, dari kurator, fotografer, penjaga galeri, sampai tukang parkir, semua kecipratan, branding kota, Jakarta dengan pameran ini jadi magnet wisata seni.
Turis asing bisa mampir, dompet daerah ikut montok, ekonomi digital, setiap karya diunggah ke media sosial, memicu interaksi, konten viral, bahkan peluang NFT dan Pendidikan publik, anak-anak muda belajar bahwa jadi pelukis itu bukan “nganggur artistik”, tapi bisa jadi profesi keren yang gajinya setara manajer bank.
Dengan kata lain, seni rupa bisa jadi “pupuk” yang menyuburkan ekonomi kreatif, bukan sekadar vas bunga di ruang tamu bangsa.
Ada yang bilang investasi paling aman itu emas, ada juga yang percaya saham, tapi jangan lupa, lukisan juga bisa jadi “emas cair”. Bedanya, kalau emas disimpan di brankas, lukisan bisa dipajang di ruang tamu, bikin tamu klepek-klepek. Jadi kalau ada yang nanya: “Kenapa beli lukisan, bukannya lebih baik nabung?” Jawab saja, “Ya biar duit saya bisa bikin orang senyum, bukan cuma bikin bank senyum.”
Kita sering meremehkan coretan. Padahal dari coretan di dinding gua ribuan tahun lalu, manusia belajar sejarah. Dari coretan kuas sekarang, kita bisa belajar ekonomi. Seni rupa bukan sekadar “lukisan bagus buat wallpaper Instagram”, tapi mesin yang bisa menggerakkan industri, menciptakan kerja, dan menyemai perdamaian.
Pameran “Art for Peace and a Better Future” bukan sekadar etalase lukisan, melainkan showcase bahwa seni rupa adalah mesin ganda, mesin damai sekaligus mesin ekonomi kreatif.
Seperti kata pepatah, “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”, sekali menggelar pameran, perdamaian digelorakan, ekonomi pun ikut berdenyut.
Oleh sebab itu, maka, sudah saatnya kita berhenti memandang seni sebagai pengeluaran, dan mulai melihatnya sebagai investasi, karena kalau kuas bisa menggores perdamaian, kenapa tidak bisa juga menggores pertumbuhan ekonomi?.[***]