PERNAH dengar pepatah “air beriak tanda tak dalam”?, begitu pula kabar tentang arus modal asing ke Indonesia, ramai, heboh, penuh angka, tapi begitu dikupas, ceritanya kadang nggak semulus headline.
Bank Indonesia dalam Laporan Posisi Investasi Internasional (PII) Triwulan II 2025 dilaman resmi bi.go.id belum lama ini mencatat, kewajiban neto Indonesia naik jadi 244,3 miliar dolar AS, lebih tinggi dibanding triwulan I 2025 sebesar 226,3 miliar dolar AS. Aset finansial luar negeri (AFLN) juga naik tipis ke 536,8 miliar dolar AS, sementara kewajiban finansial luar negeri (KFLN) melonjak lebih besar ke 781,1 miliar dolar AS.
Sekilas kelihatan manis, modal asing deras masuk, aset kita di luar juga tumbuh, rasio terhadap PDB masih 17,2% (kata BI “aman”). Tapi kalau dibaca pakai kacamata kritis plus sedikit humor, ada paradoks lucu bin ironis uang asing betah masuk, duit lokal malah kabur ke luar. Mari kita bedah bareng, santai ala warung kopi.
Menurut BI, kenaikan KFLN banyak dipicu oleh penarikan pinjaman luar negeri sektor swasta, ibarat anak kos doyan ngutang ke warung, bilangnya buat “modal usaha kecil-kecilan”, padahal seringnya buat jajan mi instan ekstra topping. Kalau utangnya dipakai ekspansi bisnis produktif, mantap. Tapi kalau buat gaya hidup, hati-hati bisa jadi bom waktu.
Masih dari laporan BI, AFLN naik 0,7%, karena orang Indonesia tambah rajin investasi di luar negeri saham, obligasi, deposito. Analogi gampang rumah sendiri bocor tapi malah sibuk beli apartemen di Singapura.
Katanya sih buat diversifikasi, tapi ada yang nyeletuk “jangan-jangan ini versi halus capital flight”, ironisnya, ketika kita ajak tamu asing invest di Indonesia, warga kita sendiri justru sibuk nitip duit di luar negeri.
BI juga mencatat kenaikan nilai aset dan kewajiban dipengaruhi oleh pelemahan dolar AS terhadap mata uang global, termasuk Rupiah. Efeknya? Nilai portofolio dalam dolar kelihatan naik.
Ini semacam ilusi optik ekonomi, ibarat gajian Rp 10 juta, lalu kurs dolar jeblok, pas dihitung dolar, seolah makin kaya. Padahal isi dompet nggak nambah sepeser pun.
Bank Indonesia bangga 92,2% kewajiban PII berjangka panjang, mayoritas investasi langsung, katanya bikin aman, karena investor asing nggak bisa cabut cepat.
Betul, tapi sisi lainnya, itu berarti nggak likuid, kalau ada krisis mendadak butuh dana segar, kita nggak bisa minta investor langsung cairkan modalnya. Pepatah Jawa bilang “Jer basuki mawa bea” – kemakmuran ada biayanya. Nah, biaya dari “aman tapi tidak cair” ini bisa bikin repot kalau badai datang.
BI menyebut rasio PII terhadap PDB pada triwulan II 2025 tetap terjaga di 17,2%, angka ini dipamer seperti nilai raport bagus. Tapi angka cantik belum tentu sehat.
Analogi orang obesitas bilang, “Lemakku cuma 17% kok,” padahal bobotnya segede gajah, tanpa perbandingan ke negara lain, rasio ini bisa menipu, jadi jangan terlalu cepat puas.
Kalau modal asing masuk lewat investasi langsung, pertanyaan berikutnya masuk ke sektor apa? Tambang nikel? Pabrik baterai? Properti?
Kalau mayoritas ke sektor ekstraktif, jangan kaget kalau keuntungan lebih banyak lari ke luar negeri, kita hanya kebagian remahan. Investasi asing itu mirip mertua, kalau sudah masuk rumah tangga, pasti ikut ngatur. Pertanyaannya ngaturnya bikin tambah makmur, atau justru bikin pusing?
Dan inilah punchline yang paling kocak, di saat asing betah menanam modal, warga kita sendiri malah giat naruh aset di luar negeri.
BI mencatat AFLN naik, sementara KFLN juga melonjak, ibarat pesta di rumah penuh tamu bawa kue, tapi tuan rumah kabur nongkrong di rumah tetangga. Ironis banget, orang asing justru lebih percaya sama Indonesia ketimbang orang Indonesia sendiri.
Data BI soal PII Triwulan II 2025 memberi cermin, bukan cuma soal angka, tapi soal mentalitas seperti swasta jangan kebablasan ngutang ke luar negeri, warga jangan lebih betah simpan duit di luar, pemerintah jangan terlalu cepat puas dengan angka manis.
Pepatah bilang “Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak”, kita sibuk pamer modal asing masuk, tapi lupa uang kita sendiri kabur.
Secara kasat mata, laporan Bank Indonesia menegaskan PII Indonesia masih aman kewajiban jangka panjang dominan, rasio terhadap PDB terjaga, dan investor asing percaya. Tapi paradoksnya jelas orang luar lebih optimistis, orang dalam justru hati-hati.
Kalau tren ini berlanjut, kita bisa jadi bangsa yang pestanya ramai karena tamu, sementara tuan rumah sendiri malah sembunyi. Pertanyaan sederhana tapi menohok, kapan orang Indonesia lebih percaya menaruh uang di negeri sendiri daripada di luar negeri?
Kalau belum, kita akan terus hidup dengan pepatah baru “Tamu lebih betah daripada tuan rumah”.[***]