Ekonomi

Kebun Plasma, Janji Manis & Realita Asam – Jalan Tengah Antara Kapital & Keadilan Sosial

ist

NGOMONGIN kebun plasma, orang desa udah kayak dengar lagu lama, nadanya itu-itu aja, liriknya manis di awal, tapi ujung-ujungnya nyesek di hati. Banyak perusahaan sawit yang janjinya “nanti kita kasih plasma, tenang bae…”, tapi sampai matahari pensiun pun, yang dikasih cuma plasma darah dari Puskesmas.

Nah, Kamis (16/10/2025) kemarin, Sekda Muba Dr. Apriyadi MSi kembali bikin rapat serius, namun  dengan topik yang juga sering bikin masyarakat garuk-garuk kepala, soal lahan plasma dari PT Sriwijaya Nusantara Sejahtera (SNS).

Beliau bilang tegas, “Kami minta agar PT SNS komitmen menyediakan lahan plasma. Ini juga diatur dalam Permentan Nomor 18 Tahun 2021”.

Kalimat itu kayak tamparan lembut tapi bergetar lantaran, memang udah terlalu sering masyarakat dijanjiin kebun plasma, tapi yang tumbuh malah kebun sabar.

Plasma ini sebenarnya bukan hadiah, sebab bagian dari konsep inclusive economy, alias ekonomi yang nggak cuma bikin pemilik modal kenyang, tapi juga rakyat sekitar bisa ikut makan bareng di meja pembangunan.

Coba bayangin, kalau plasma ini dijalankan bener, petani lokal bisa punya penghasilan tetap, anak-anak bisa sekolah tinggi, dan daerah bisa berkembang tanpa harus menunggu CSR yang datang setahun sekali kayak THR. Tapi kalau cuma formalitas, bisa jadi bom waktu sosial.

Kata orang bijak, “kalau janji tinggal janji, yang tumbuh bukan sawit tapi dendam”

Untuk itu, kalau kapitalisme itu kayak orang yang punya piring besar, selalu ambil nasi paling banyak di meja prasmanan ekonomi. Nah, plasma itu upaya biar piring rakyat kecil juga kebagian lauk, bukan cuma remah kerupuk.

Kepala Dinas Perkebunan, Akhmad Toyibir SSTP MSi, bahkan udah ngingetin, “Lahan plasma harus di luar IUP, dan ini kewajiban yang harus dipenuhi”.

Artinya, perusahaan nggak boleh cuma ngasih janji di presentasi PowerPoint, tapi bener-bener nyemplung ke tanah.

Zulkifli, Dirut PT SNS, dengan yakin bilang, “Kami sudah siapkan dan akan komitmen menyediakan lahan plasma”.  Mudah-mudahan komitmennya bukan cuma seumur jagung, karena jagung aja kalau ditanam bisa tumbuh, masa komitmen enggak?.

Biar adil, mari kita bandingkan sama daerah dan negara lain, seperti Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng, Pemerintah setempat bikin aturan tegas, kalau perusahaan sawit gak sediakan plasma, izinnya bisa dibekukan. Hasilnya?, banyak perusahaan akhirnya serius bikin kemitraan dengan petani. Pelajarannya ketegasan pemerintah itu bukan bikin takut investor, tapi bikin mereka disiplin.

Selain itu, di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, beberapa perusahaan malah bikin koperasi plasma digital, dimana petani bisa cek hasil panen lewat aplikasi, canggih bukan!, pelajarannya yaitu transparansi bikin semua pihak tenang, nggak ada yang merasa dikibuli di balik semak sawit.

Coba melihat contoh lebih jauh lagi, di Kenya, Afrika Timur, petani teh di sana punya sistem plasma version 2.0, mereka ikut saham di perusahaan pengolah teh, jadi, makin besar produksinya, makin banyak dividen yang mereka dapat, yang bisa dipelajari, yaitu kalau rakyat dilibatkan dalam struktur ekonomi, kemiskinan bisa ditebas bareng-bareng.

Coba pikirkan, jika seandainya petani plasma tiap bulan dapat hasil panen, anaknya bisa kuliah di Politeknik, istrinya buka warung kopi di pinggir kebun, dan tiap sore mereka bisa bercanda, “Untung ada plasma, kalau nggak, kita masih nanam harapan”.

Tapi kalau salah kelola, masyarakat bisa ngomel, “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin disuruh sabar”. Kayak pepatah lama “Ayam mati di lumbung padi”. Lahannya ada, tapi manfaatnya nggak sampai ke warga, ironi yang bikin geli tapi getir.

Bahkan dalam teori ekonomi pembangunan, plasma itu termasuk model redistribusi aset produktif, artinya, bukan sekadar bagi-bagi uang, tapi bagi akses untuk menghasilkan uang, hal ini beda jauh dari bantuan sosial yang habis dalam sekejap.

Oleh karena itu, jika daerah seperti Muba serius mengawal kebijakan plasma, tentu Muba bisa jadi contoh Nasional bagaimana kapital dan keadilan sosial bisa ngopi bareng di satu meja. Cuma ya itu tadi, komitmen harus dijaga, jangan sampai yang terjadi seperti meme klasik “Rapatnya serius, hasilnya misterius”.

Intinya, investasi tanpa keadilan itu kayak pohon sawit tanpa buah, tinggi, megah, tapi gak menghasilkan, keadilan sosial bukan cuma pasal di UUD, tapi harus hidup di ladang-ladang rakyat.

Untuk itu, Sekda Apriyadi udah ngasih contoh sikap, tegas tapi solutif, kalau ini bisa diikuti oleh semua pihak, misalnya pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, maka plasma gak lagi jadi kata gaib, tapi kenyataan yang bisa dipanen.

Seperti pernah ditegaskan Mohammad Hatta dalam bukunya “Demokrasi Kita” (1957), “Perekonomian tidak boleh jatuh ke tangan segelintir orang, karena tanah air ini milik semua”.

Nah, kalimat itu gak cuma indah di dengar, tapi harusnya jadi alarm moral bagi siapa pun yang main di sektor ekonomi rakyat, pasalnya  kalau Tanah Air ini milik semua, maka hasil bumi pun seharusnya bisa dirasakan bersama.

Jadi, setidaknya serius untuk menjaganya bersama, agar plasma bukan jadi legenda, tapi jadi ladang nyata, kata pepatah bilang. “Kalau kebun dikelola bersama, hasilnya bukan cuma buah, tapi juga bahagia”.

Ingatlah!, rakyat bukan minta bagian lebih,  cuma memang minta bagian yang semestinya, toh, kalau plasma tumbuh subur, yang makmur bukan cuma perusahaan, tapi juga Indonesia yang punya banyak “plasma harapan”. Apalagi plasma bukan belas kasih, tapi keadilan ekonomi yang tertunda, dan sudah waktunya dipanen, bukan ditunda lagi.[***]

Terpopuler

To Top