EKONOMI syariah itu seperti rebusan sayur, maka FESyar Jawa 2025 adalah panci besar yang sedang mendidih, ada bumbu, ada rempah, ada sayuran dari berbagai sumber, akademisi, pemerintah, bisnis, komunitas, hingga media, semuanya masuk, sambil sesekali diaduk supaya tidak gosong di dasar panci. Dari panci inilah, Indonesia sedang menyiapkan resep besar untuk menjadi pusat ekonomi halal dunia pada 2029.
Tapi jangan bayangkan jalannya mulus seperti jalan tol, jalannya penuh tikungan, kadang lubang, kadang polisi tidur yang bikin pengusaha tersandung. Namun, pepatah Jawa bilang “Alon-alon asal kelakon”, lambat tapi pasti, rantai nilai halal sedang dibangun dengan serius dan sistematis.
Salah satu bumbu utama adalah Zona KHAS (Kuliner Halal, Aman, dan Sehat), bayangkan mahasiswa Surabaya bisa makan bakso halal di kampus tanpa takut salah satu baksonya bukan teman syariah. Ini bukan sekadar soal kenyamanan perut, tapi menanamkan budaya halal sejak dini, sejak perut sampai akal. Perguruan tinggi pun ikut turun tangan sebagai penyelia halal, memastikan setiap RPH dan RPHU bersertifikasi halal, sehingga rantai makanan dari pemotongan sampai piring tetap syariah-compliant.
Lucunya, kadang pemilik RPH bertanya, “Kalau sapi ini nggak pakai jersey halal, bisa dicertifikasi nggak?”, tentu tidak! tapi di sinilah peran perguruan tinggi dan pemerintah hadir, seperti guru TK yang mengajari anak membaca ABC, hanya saja ini lebih rumit dan beraroma daging segar. Hasilnya? pasokan daging halal meningkat, UMKM halal makin lincah, dan masyarakat lebih percaya diri saat menyantap ayam geprek favoritnya.
FESyar Jawa 2025 juga membuktikan ekonomi halal bukan sekadar angka, penjualan Rp6,8 miliar dan komitmen pembiayaan Rp29,66 miliar bukan hanya simbol kemegahan, seperti pepatah lama “Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui”.
UMKM yang ikut pameran mendapatkan exposure, bisnis baru tercipta, dan literasi syariah merambah masyarakat luas, bahkan sampai ke layar HP karena banyak yang ikut secara online.
Digitalisasi menjadi bumbu rahasia, bayangkan nenek-nenek di Tulungagung ikut webinar halal sambil minum jamu, atau mahasiswa Surabaya melakukan business matching online sambil menunggu bakso matang. Ini bukan sekadar inovasi, tapi strategi inklusi ekonomi halal, memastikan semua orang bisa ikut di “pesta halal” tanpa antre di Masjid Al-Akbar.
Namun, perjalanan menuju 2029 bukan hanya soal kuliner dan digitalisasi. Ada misi besar menjadi pusat ekonomi halal dunia. Indonesia menyiapkan roadmap strategis, penguatan rantai nilai halal, literasi syariah, dan pembiayaan inklusif. Bisa dibilang, ini seperti membangun cand, tidak cukup menumpuk batu, tapi harus ada arsitektur kokoh, seni harmonis, dan doa tulus.
Oleh karena itu, inovasi halal tidak harus kaku, bisa sambil tertawa, sambil bercanda, tapi tetap serius membangun fondasi ekonomi. Dagelan dalam narasi ini bukan meremehkan, tapi mengingatkan bahwa kerja sama lintas sektor—akademisi, pemerintah, komunitas, bisnis, media memerlukan kreativitas, kesabaran, dan humor agar visi besar tidak membosankan.
Dari Surabaya ke dunia, strategi ekonomi halal Indonesia sedang diracik, zona KHAS memperkuat rantai makanan halal, perguruan tinggi menjadi penyelia, UMKM mendapat exposure, digitalisasi memperluas inklusi, dan roadmap 2029 menjadi peta menuju pusat ekonomi halal dunia, seperti pepatah bijak “Biar lambat asal selamat, biar kocak asal berkah”
Dengan bumbu sinergi pentahelix yang kuat, humor yang menyegarkan, dan strategi terukur, perjalanan menuju Indonesia sebagai pusat ekonomi halal dunia pada 2029 bukan mimpi semata. Ini nyata, penuh warna, dan mengundang senyum sekaligus inspirasi bagi semua yang ikut “memasak” ekonomi halal ini.[***]