PEPATAH lama yang sering kita dengar “Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga”. Nah, pepatah ini pas banget kalau kita tarik ke kondisi inflasi di Indonesia hari ini. Pemerintah pusat sudah jungkir balik bikin strategi, daerah juga nggak kalah heboh rapat koordinasi sana-sini, tapi tetap saja angka inflasi suka ngeyel kayak layangan putus talinya, kadang naik, kadang turun, kadang bikin kepala cenat-cenut.
Kemarin, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bersama rombongan super team (ada Menteri Dalam Negeri, Sekretaris Negara, Staf Presiden, BPS, sampai kementerian terkait) bikin rapat koordinasi nasional via virtual. Intinya ngomongin pengendalian inflasi dan isu sosial. Rapat ini ibarat hajatan akbar online, semua kepala daerah se-Indonesia ikut nimbrung, termasuk Wali Kota Palembang, Ratu Dewa.
Dalam laporannya, inflasi di Palembang tercatat 2,83 persen year-on-year dan 0,11 persen month-to-month. Kalau dilihat sekilas, ini stabil. Ibarat suhu badan, 36,9 derajat masih normal, tapi kalau dibiarkan bisa demam juga.
Nah, yang bikin agak ngelus dada, Ratu Dewa juga bilang ada daerah di Palembang yang inflasinya bisa tembus 5,13 persen. Itu sama kayak harga cabe rawit merah di pasar A Rp40 ribu, di pasar B bisa Rp65 ribu. Padahal sama-sama cabe, sama-sama bikin pedes, tapi harganya bisa bikin orang mikir dua kali sebelum beli.
Ratu Dewa dengan gaya khasnya menegaskan “Pengendalian inflasi tetap prioritas, bro. Kita butuh kerja sama lintas sektor dan lintas wilayah. Jangan sampai jalan sendiri-sendiri kayak anak kos rebutan jemuran”
Selain inflasi, rapat juga bahas isu sosial. Nah, ini agak tricky. Di Palembang, mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan buat nyampaikan aspirasi. Pemerintah mengapresiasi, karena aksi berlangsung tertib. Tapi ya namanya demo, ujung-ujungnya ada juga yang kebablasan. Tercatat 13 titik fasilitas umum rusak.
Bayangin, itu sama kayak kamu lagi syukuran rumah, tetangga datang makan rendang, eh pas pulang piring sama kursi plastik malah ada yang patah. Gimana nggak bikin tuan rumah tepok jidat?
Ratu Dewa bilang, pemerintah segera perbaiki fasilitas yang rusak. Tapi beliau juga kasih pesan moral “Aspirasi boleh, santun dan damai harus. Jangan anarkis, nanti yang rugi masyarakat sendiri”.
Pepatah Jawa ada bilang, “Menang tanpa ngasorake”. Artinya, kalau mau menyuarakan pendapat, nggak perlu sampai merusak. Toh kalau lampu jalan pecah, yang susah juga warga Palembang, bukan menteri di Jakarta.
Nah, biar suasana nggak tegang terus, ada kabar lumayan bikin adem. Pemerintah Kota Palembang mencatat ada 3.067 rumah yang akan diperbaiki lewat program bedah rumah. Dana datangnya campur-campur ada dari APBN, APBD, Baznas, sampai forum CSR.
Ibarat masak pindang Palembang, bahan bisa dari mana-mana ikan beli di pasar, bumbu dari kebun, minyak dari tetangga. Yang penting hasilnya bisa bikin kenyang bersama. Program ini diharapkan bikin masyarakat nggak cuma punya rumah layak, tapi juga merasa diperhatikan. Karena jujur saja, apa enaknya kalau inflasi turun tapi atap rumah masih bocor tiap hujan?
Kalau boleh kasih komentar, rapat virtual nasional ini bagus, serius, dan penuh strategi. Tapi kita semua tahu pepatah “Banyak bicara, sedikit bekerja, sama saja seperti menggenggam asap tak ada hasilnya.”
Sering kali rapat pusat-daerah ini kayak drama sinetron panjang episodenya, pemainnya ramai, konfliknya seru, tapi ending-nya bikin ngantuk. Padahal rakyat butuh hasil nyata, bukan sekadar pidato yang manisnya kayak es teh tapi dinginnya nggak tahan lama.
Contoh kecil, inflasi pangan. Setiap tahun yang dikeluhkan itu-itu saja, harga beras, cabe, minyak goreng. Pertanyaannya kenapa dari dulu masalahnya nggak tuntas? Jangan-jangan, kita lebih sibuk bikin spanduk dan seremonial ketimbang ngurus distribusi beras di pasar.
Tapi kalau ditarik ke sisi positif, Palembang punya potensi jadi contoh nasional. Kenapa? Karena meski inflasi ada yang nyenggol 5 persen, kota ini berani blak-blakan lapor ke pusat. Transparansi itu penting. Lebih baik jujur agak tinggi, daripada pura-pura stabil tapi ternyata di dapur harga minyak sudah bikin ibu-ibu migrain.
Selain itu, program bedah rumah juga keren. Ini bukti kalau Pemkot nggak cuma mikirin angka inflasi, tapi juga kondisi sosial masyarakat. Karena percuma inflasi rendah kalau warganya masih tinggal di rumah reyot.
Akhir kata, inflasi itu ibarat kompor di dapur. Kalau apinya kecil, masakan nggak matang-matang. Kalau apinya terlalu besar, bisa gosong. Jadi tugas pemerintah adalah jaga api tetap stabil, biar masakan, eh, maksudnya ekonomi tetap enak disantap.
Rapat virtual nasional ini semoga bukan cuma jadi rutinitas tahunan, tapi benar-benar menghasilkan kebijakan yang nyambung sampai ke pasar, dapur, dan rumah warga.
Palembang sudah kasih contoh dari inflasi, isu sosial, sampai program bedah rumah. Tinggal kita lihat, apakah kompor ekonomi Indonesia tahun 2025 bisa tetap nyala stabil, atau malah bikin panci gosong lagi.[***]