MISALNYA ada lomba siapa yang paling sabar di dunia, mungkin jawabannya bukan orang, tapi pupuk, bayangin aja, jika ditaruh di gudang panas, dicemplungin ke lumpur, diinjak-injak traktor, tapi dia tetap setia nunggu giliran buat bikin tanaman subur. Nah, di balik butiran kecil itu ada nama besar PT Pupuk Sriwijaya Palembang (Pusri).
Pusri ini bukan cuma soal pabrik dan cerobong asap tinggi yang sering bikin anak-anak Palembang mikir itu “menara Eiffel versi pupuk”. Lebih dari itu, dia adalah penopang ekonomi Sumsel, pemain lama yang sampai sekarang masih bisa bertahan walau dunia lagi diguncang badai energi global.
Jadi ceritanya, Senin (8/9/2025), Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru ngopi bareng dengan jajaran direksi Pusri, termasuk sang Direktur Utama Maryono, sekilas kayak pertemuan pejabat biasa duduk manis, senyum dikit, foto bareng. Tapi kalau ditarik pakai kaca pembesar, pertemuan itu lebih mirip rapat PBB versi Palembang. Bedanya, kalau PBB ribut soal nuklir, di Sumsel ributnya soal pupuk.
Lucu kan? butiran putih kecil itu bisa bikin pejabat keringetan, tapi begitulah kenyataannya pupuk itu bukan sekadar pupuk, tapi soal perut rakyat, soal panen, soal harga cabe, bahkan bisa nyambung ke politik.
Kalau kita naik kapal ketek nyusuri Sungai Musi, pasti akan lihat cerobong asap Pusri menjulang tinggi, buat orang Palembang, itu bukan cuma besi tua. Itu simbol bahwa di kota ini ada pabrik legendaris yang sejak 1959 sudah menghidupi ribuan keluarga.
Kata pepatah, “Tua-tua keladi, makin tua makin jadi”. Nah, Pusri ini contohnya, meski sudah lebih dari enam dekade, tetap eksis, malah makin dibutuhkan. Bayangin aja, kalau pupuk langka, petani bisa stres, pasar bisa chaos, tukang bakso juga ikut galau karena harga bahan naik, domino effect, bro!.
Bikin pupuk itu kayak masak rendang, bahan utama gas alam, gas ini bukan gas melon yang nongkrong di dapur kita. Gas alam buat pupuk itu mahal, harganya bisa naik gara-gara konflik di Ukraina, atau turun gara-gara cuaca ekstrim di Texas.
Kalau diumpamakan, Pusri ini kayak emak-emak pintar masak, gas lagi mahal? Ya akalin menunya, distribusi macet? Ya cari cara lain. Intinya, jangan sampai lauk habis di meja makan, karena kalau pupuk nggak ada, sawah jadi mandul, panen jeblok, dan akhirnya perut rakyat bisa keroncongan.
Oleh sebab itu, makanya, meski gas dunia jungkir balik, Pusri tetap berusaha jaga api tetap menyala, ibaratnya, kalau dunia ini dapur besar, Pusri jadi koki yang nggak boleh telat masak.
Kadang orang mikir, ekonomi Sumsel itu ya cuma batubara, sawit, atau minyak, padahal ada satu aktor penting yang sering dilupakan adalah pupuk.
Coba bayangin, pupuk langka, barang tentu panen pasti turun dan harga beras naik dampaknya emak-emak ngamuk di pasar, dan pada akhirnya berpengaruh lagi, si tukang ojek nggak laku, tukang bakso di sudut jalan ikut nangis, lihat kan, efeknya kemana-mana?
Jadi, ketika Herman Deru ngomong serius soal distribusi pupuk biar lancar, itu bukan cuma basa-basi pejabat, itu semacam kode keras “Bro, ini soal hidup-mati ekonomi Sumsel”.
Bahkan kita suka ketawa kalau lihat berita luar negeri ribut soal minyak, padahal di Indonesia, khususnya Sumsel, kita juga punya diplomasi versi lokal, yakni diplomasi pupuk.
Coba misalnya aja, harga pupuk naik bisa bikin harga cabe rawit di pasar jadi kayak emas putih, dan percayalah, emak-emak lebih takut harga cabe naik daripada dengar kabar politikus rebutan kursi.
Jadi jangan remehkan pupuk, kalau kata pepatah Jawa, “Sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Artinya, jangan kebanyakan gaya, yang penting kerja nyata. Diplomasi pupuk ini tujuannya ya itu, biar petani nggak deg-degan, biar cabe nggak jadi barang mewah, biar dapur tetap ngebul.
Adaptasi
Sekarang pertanyaannya, Pusri bakal terus begitu aja, atau ikut arus transisi energi hijau?. Dunia udah rame ngomongin energi terbarukan, biofuel, sampai pupuk ramah lingkungan.
Kalau dianalogikan, Pusri ini kayak pedagang nasi uduk, selama ini laris, tapi kalau nggak mulai jual kopi kekinian, bisa kalah sama kedai modern. Jadi, Pusri juga harus adaptasi, bikin pupuk ramah lingkungan, riset produk baru, ikut tren pertanian berkelanjutan.
Kalau nggak, bisa-bisa nanti Pusri cuma jadi “cerita nostalgia” di buku sejarah, dan itu jelas nggak keren.
Oleh karena itu, kita sering meremehkan yang kecil-kecil, padahal, dari hal kecil lahir perubahan besar, dari butiran pupuk lahir sawah hijau, dari sawah lahir beras, dari beras lahir energi buat kita kerja, sekolah, bahkan ketawa-ketiwi baca tulisan ini.
Seperti pepatah lama “Sedikit-sedikit, lama-lama jadi bukit”. Nah, pupuk itu bukti nyata, dari butiran kecil, lahirlah ekonomi Sumsel yang bisa menahan badai global.
Akhir kata, mari kita lihat Pusri bukan sekadar pabrik pupuk, tapi juga ikon kebanggaan Sumsel, benteng ekonomi, dan tameng ketahanan pangan.
Pertemuan Herman Deru dengan jajaran Pusri kemarin mungkin cuma beberapa jam, tapi maknanya panjang: ini bukan sekadar silaturahmi, tapi pesan bahwa Sumsel serius menjaga masa depan pertaniannya.
Jangan lupa, dalam politik dan ekonomi, yang kecil bisa jadi penentu, kalau dunia ribut soal minyak, di Sumsel kita ribut soal pupuk, dan percayalah, ribut pupuk ini lebih penting, karena dari butiran kecil itu, lahirlah masa depan besar.
Seperti kata orang bijak, “Jangan pernah anggap remeh yang kecil, karena semut pun bisa bikin gajah lari pontang-panting”.[****]