Ekonomi Digital

“QRIS Makin Tap, Tapi Sapaan Makin Sepi!”

“Sekarang beli cilok aja gak bisa pakai senyum, tapi harus pakai sinyal.”

BEGITULAH nasib kita di era QRIS. Sebuah zaman di mana barcode lebih penting dari basa-basi, dan HP lebih sering disentuh daripada tangan tetangga.

Bank Indonesia lagi getol-getolnya menggelar QRIS Jelajah Indonesia 2025,  program ciamik yang memadukan pembayaran digital dengan wisata dan budaya. Ada 57 juta pengguna, 39 juta merchant, dan transaksi triliunan rupiah.

Angka-angka ini bikin jurnalis ekonomi tepuk tangan, dan bikin rakyat kecil manggut-manggut… meski belum tentu ngerti cara pakainya.

Kini hadir QRIS TAP  teknologi NFC yang katanya cukup “nempel”, gak perlu scan lagi. Praktis, cepat, dan katanya lebih modern. Tapi di balik kecanggihan itu, ada keheningan baru yang diam-diam menyebar.

Dulu di angkringan, kita bisa ngobrol soal politik, bola, dan mantan. Sekarang?

Tap selesai, bahkan wajah penjualnya gak sempat kita lihat, karena barcode-nya nempel di tiang.

Pepatah lama bilang, “Di mana ada asap, di situ ada api.” Tapi di era QRIS, “Di mana ada sinyal, di situ orang lupa menyapa.”

Digitalisasi transaksi memang mempercepat segalanya, tapi kalau hati kita makin jauh, QRIS hanya akan jadi alat tanpa rasa.

Lihat negara lain. Jepang misalnya,  mereka udah lama pakai IC Card untuk transportasi dan transaksi kecil. Tapi petugas kereta masih membungkuk dan menyapa.

Di Korea Selatan, bayar pakai QR sudah jadi gaya hidup. Tapi masuk ke toko kecil, masih ada yang kasih teh hangat, nanya kabar nenek kita yang gak ikut, bahkan ngajak ngobrol soal cuaca hari ini.

Artinya? Teknologi itu sah-sah aja, asal jangan menggusur interaksi dasar menyapa, ngobrol, dan tertawa bareng.

Perumpamaannya begini QRIS itu kayak sepatu baru dari toko mahal. Licin, kinclong, dan bergaya. Tapi kalau kita cuma sibuk liatin sepatunya, kita bisa lupa ngajak teman buat jalan bareng.

Kita bisa lari cepat, tap sana tap sini, transaksi tanpa henti… tapi percuma kalau kita sendirian di garis finish.

Kita butuh kecepatan, tapi juga kebersamaan, karena hidup bukan cuma tentang bertransaksi, tapi juga tentang merasakan.

Bayangin QRIS diterapkan ke semua sektor tanpa pendampingan, Pak RT beli gorengan, HP-nya minta update dulu sebelum scan. Bu RW transfer arisan, malah nyasar ke akun olshop. Si Udin beli pulsa, salah ketik, pulsa nyasar ke mantan.

Lama-lama bukan “QRIS Jelajah Indonesia”, tapi “QRIS Menyesatkan Warga”.

Digitalisasi yang terlalu cepat tanpa edukasi itu ibarat ngasih motor Ninja ke anak TK  kenceng, tapi nabraknya pasti.

QRIS boleh cepat, tapi QRASA yang bikin kita tetap hangat. Boleh melaju, tapi jangan lupa menoleh ke samping, siapa tahu ada teman yang pengen diajak ngobrol.

QRIS adalah lompatan besar praktis, cepat, efisien. Tapi jangan sampai kemajuan ini mengikis hal-hal kecil yang justru besar artinya.

Senyum penjual di pagi hari, obrolan receh di balik etalase gorengan. Pertanyaan sederhana, “Mau dibungkus gak, Mas?” Itu bukan sekadar kebiasaan, tapi budaya. Bagian dari ekonomi kerakyatan yang hidup dan menghidupkan.

Ketika segalanya sudah bisa ditap dan diklik, yang perlu tetap kita rawat adalah rasa. Rasa percaya. Rasa peduli. Rasa terhubung sebagai sesama.

Karena bangsa ini bukan cuma dikenal karena kekayaan alam dan ragam budayanya, tapi juga karena keramahannya. Orang Indonesia itu hangat menyapa, ringan tangan, dan gampang tertawa.

Itu modal sosial yang gak bisa dibeli, apalagi di-scan. Maka jangan biarkan teknologi membuat kita lupa menatap mata. Jangan karena dompet digital makin sering dibuka, lalu mulut jarang mengucap “terima kasih” dengan tulus.

Bangsa besar tak hanya dibangun oleh kekuatan ekonomi, tapi juga oleh hubungan antarmanusia yang penuh empati.

Warung kopi, tukang sayur, abang gorengan,  itu bukan sekadar tempat belanja. Tapi ruang berbagi cerita.

QRIS Jelajah Indonesia adalah langkah maju. Ia bukan sekadar alat bayar, tapi simbol bahwa kita sedang bergerak.

Namun di tengah gegasnya dunia digital, jangan sampai kita terlalu sibuk menatap layar… hingga lupa menyentuh hati.

Karena kalau semua serba otomatis, tapi rakyatnya makin kaku, sunyi, dan asing satu sama lain… apa bedanya kita dengan mesin ATM yang dingin dan gak bisa diajak curhat?

Maka ayo, tetap pelihara yang tak bisa diunduh QRASA yang bikin Indonesia tetap manusiawi.

QRIS bisa tap. Tapi kita tetap perlu tap hati. Supaya digitalisasi gak cuma mempercepat… tapi juga mendekatkan. [***]

Terpopuler

To Top