SAAT ini banyak orang bekerja tanpa terlihat bekerja, tangannya main laptop, matanya ke layar, tapi hasilnya bisa bayar listrik, beli kopi, dan kadang traktir teman. Ini bukan sulap, bukan pula pesugihan. Ini kerja versi baru yang belum sepenuhnya dimengerti generasi lama.
Itulah kira-kira gambaran kenapa peluncuran Pelatihan Gig Economy bagi Gen Z dan AI Open Innovation Challenge di Jakarta Creative Hub jadi menarik.
Negara akhirnya turun tangan, ikut nimbrung di dunia yang selama ini dianggap “kerjaan sampingan”. Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung baru-baru ini sepakat masa depan kerja anak muda tak bisa lagi disamakan dengan era map dan materai.
Gig economy, kerja berbasis proyek, platform digital, dan keahlian akhirnya naik pangkat. Bukan lagi sekadar freelance sambilan, namun diperlakukan sebagai ekosistem serius. Bahkan Jakarta dijadikan pilot project, semacam laboratorium nasional, sebelum ditiru 15 kota lain. Dari sini saja kelihatan, ini bukan acara potong pita lalu lupa.
Yang bikin menarik, program ini bukan cuma ngajarin cara pakai AI, tapi juga bagaimana AI dipakai buat cari duit secara halal dan kreatif. Dari desain, copywriting, analisis tren, sampai inkubasi startup. Targetnya 3.000 Gen Z per bulan, kalau satu orang saja sukses, efek dominonya sudah lumayan karena ribuan anak muda bisa bikin pasar kerja mengguncang ringan.
Kalau kita tarik napas sebentar dan nengok ke luar negeri, langkah Indonesia ini sebenarnya telat-telat manis, tengok India, misalnya, sudah lama menjadikan gig economy sebagai tulang punggung tenaga digital.
Anak mudanya bukan cuma ngoding, tapi jadi tulang belakang layanan IT global. Freelancer India bisa mengerjakan proyek Amerika sambil duduk di kamar kos, dan negara mereka mendukung lewat ekosistem teknologi dan pendidikan.
Di Korea Selatan, gig economy didorong lewat inovasi teknologi tinggi. Anak mudanya bukan hanya jadi pengguna aplikasi, tapi pencipta solusi—AI, IoT, sampai smart city. Negara hadir lewat riset, pendanaan, dan perlindungan kekayaan intelektual. Kerjanya fleksibel, tapi tetap punya masa depan.
Sementara Indonesia, selama ini anak mudanya sudah lari kencang, negaranya baru nyalain sepatu. Bedanya, Indonesia punya bonus demografi dan pasar digital besar. Tinggal satu hal yaitu arahnya.
Malas belajar
Program ini mencoba menjawab itu, bahkan Menko Airlangga bicara soal chip, data, hingga internet of things, plus KUR Rp10 triliun untuk pelaku gig economy. Freelancer sekarang bukan cuma ditanya kerjanya apa?, tapi juga butuh modal berapa?.
Yang lebih menarik, AI di sini tidak diposisikan sebagai monster pencabut rezeki. Justru sebaliknya, data menunjukkan gig economy berbasis AI di Indonesia tumbuh 127 persen. Artinya, ketakutan AI ngambil kerjaan manusia mulai dipatahkan oleh kenyataan yang tergilas itu ternyata bukan manusia, namun karena memang manusia yang malas belajar.
Gubernur DKI Jakarta pun tak mau cuma jadi penonton. Hackathon bertema kemacetan dan sampah menjelang 500 tahun Jakarta jadi bukti bahwa ide anak muda bisa langsung disambungkan ke masalah kota. Bukan sekadar lomba presentasi, tapi adu solusi. Jakarta bukan cuma panggung, tapi juga bahan studi kasus hidup.
Ada satu pepatah lama yang pas menggambarkan situasi ini “Kalau air sudah sampai ke leher, barulah belajar berenang” Bedanya, kali ini negara tidak menunggu tenggelam. Dunia kerja sudah berubah, anak muda sudah bergerak, dan pemerintah akhirnya ikut berenang meski gaya katak dulu.
Oleh karena itu sebenarnya masa depan kerja tidak menunggu izin siapa pun. Anak muda yang adaptif akan tetap jalan, dengan atau tanpa dukungan. Tapi ketika negara hadir, arahnya jadi lebih jelas, risikonya lebih kecil, dan dampaknya lebih luas.
Jadi, Gig economy bukan solusi instan, bukan pula obat mujarab semua masalah pengangguran. Tapi ia adalah jalan baru yang tak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Kalau dulu kerja itu harus duduk rapi jam delapan pagi, sekarang kerja bisa lahir dari ide, koneksi internet, dan kemauan belajar. Negara akhirnya paham satu hal penting yaitu anak muda tidak butuh disuruh kerja, mereka butuh diberi ruang. Dan kalau ruang itu dijaga dengan benar, bukan mustahil dari laptop-laptop kecil itulah ekonomi besar tumbuh pelan-pelan.[***]