BERBICARA mengenai buzzer sudah sangat tidak asing lagi untuk di bahas, terkhusus saat menjelang pesta demokrasi. Diskusi mengenai buzzer telah banyak didiskusikan oleh berbagai entitas masyarakat, bahkan media massa konvensional ataupun media online lokal terus memberitakan.
Buzzer merupakan salah satu fenomena baru di era digital. Menurut Turpin (2008), Buzzer berasal dari kata ‘buzz’ yang berarti dengungan, artinya buzzer dilakukan untukk menciptakan ‘Noise’ akan sebuah informasi di media sosial dengan tujuan menarik perhatian publik agar mereka turut membicarakan hal tersebut dan mencobanya (Wahyuningtyas, 2017).
Noise yang dimaksud adalah pernyataan atau informasi yang belum diketahui kebenarannya atau dikenal dengan istilah sekarang ’Hoax’. Lebih jelasnya buzzer adalah individu ataupun akun yang memiliki kemampuan amplifikasi atau melipatgandakan pesa sebagai cara menarik perhatian publik dengan membuat percakapan di media sosial dan bergerak dengan motif serta tujuan tertentu.
Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada tahun 2017 pernah melakukan riset soal sejarah buzzer secara keseluruhan di Indonesia. Pada awalnya, keberadaan buzzer di media sosial masih dianggap sebagai hal yang lumrah dan mereka biasa dilibatkan oleh korporat dalam promosi produk.
Namun, maknanya menjadi negatif karena terlibat dalam peristiwa politik sehingga memberikan citra yang tidak bagus di mata khalayak. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial.
Menurut CIPG, buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu. Buzzer biasanya punya jaringan luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks, cukup persuasif dan digerakkan oleh motif tertentu. Singkatnya, buzzer adalah pelaku buzzing yang bertugas untuk membuat suara-suara bising seperti dengung lebah.
Kemampuan buzzer untuk menggiring persepsi publik dengan menyebarluaskan pesan atau isu secara masif dilakukan melalui tulisan, narasi, gambar, meme, ataupun vidio.
Untuk meyebarluaskan pesan, para buzzer memanfaatkan media sosial dan seluruh platform berbasis usergenerated content atau user generated media seperti YouTube. Ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang atau akun tertentu menjadi buzzer. Pertama, motif komersial yang ditandai dengan aliran dana. Kedua, motif sukarela yang didorong oleh ideologi atau rasa kepuasan tertentu terhadap suatu produk dan jasa.
Sejarah Penggunaan Buzzer di Indonesia
Buzzer mulai dikenal oleh kalangan masyarkat Indonesia saat media sosial bernama twitter mulai lahir dan digunakan di Indonesia pada tahun 2006. Awalnya buzzer digunakan untuk kepentingan promosi atau marketing dari sebuah brand untuk memasarkan produk-produk agar bisa diminati oleh konsumen. Keberhasilan buzzer dalam memasarkan produk membuat para pelaku kepentingan melibatkan para buzzer dalam peristiwa politik. Keterlibatan buzzer dalam peristiwa politik diperkirakan saat berlangsungnya pesta demokrasi yaitu Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012, bahkan buzzer selalu digunakan untuk penggiringan opini publik di tahun-tahun berikutnya untuk kepentingan politik terkhusus menjang pesta demokrasi.
Awal keterlibatan buzzer dalam peristiwa politik adalah Pilgub DKI Jakarta 2012
Pada Maret 2019 lalu menjelang pemilihan presiden, dalam wawancara dengan Reuters, lebih dari selusin anggota tim buzzer, konsultan media sosial, dan pakar dunia maya menggambarkan serangkaian operasi media sosial yang mereka katakan menyebarkan propaganda atas nama Jokowi dan penantangnya, Prabowo Subianto.
Tiga buzzer yang terlibat langsung dalam kampanye di media sosial menyebutkan bahwa mereka mengoperasikan ratusan akun media sosial yang dipersonalisasi masing-masing atas nama para kandidat. Meskipun satu tim membantah menyebarkan berita palsu, namun dua mengatakan mereka tidak peduli dengan keakuratan konten yang mereka sebarkan.
Akan tetapi, kedua tim kampanye, baik Jokowi dan Prabowo membantah menggunakan buzzer atau menyebarkan berita palsu sebagai bagian dari strategi kampanye mereka. Pakar politik dan media di Universitas Nasional Australia, Ross Tapsell mengatakan sudah menjadi hal yang biasa bagi kandidat di Asia Tenggara untuk mempekerjakan ahli strategi kampanye online, kemudian memanfaatkan sekumpulan orang untuk menyebarkan konten di media sosial.
Proses Rekruitment dan Strategi Buzzer dalam meluncurkan tugasnya
Buzzer biasanya adalah orang yang aktif di media sosial, memiliki jaringan yang luas, mampu menciptakan konten sesuai dengan keadaan, dan memiliki sifatt persuasif. Buzzer juga mempunyai akses-akses untuk masuk ke informasi-informasi penting dan memiliki engangement yang baik.
Seorang buzzer tentunya terampil dalam menggunakan media sosial, mengetahui ilmu jurnalistik dan mampu menyampaikan dan membungkus sebuah pesan atau informasi dengan menarik (Camil et al., 2017). Buzzer juga dituntut untuk cakap membuka dan mengait percakapan di media sosial dengan caranya sendiri. Selain itu, Buzzer mempunyai pola rekrutmen yang terstruktur, sehingga dalam dalam proses perrekrutan berjalan di bawah tanah. Berikut pola rekrutmen menjadi buzzer :
- Media Sosial Pemantauan akun yang aktif di media sosial seperti retweet, share dan like.
- Group Chat 1 Seleksi akun yang aktif di media sosial. Akun yang aktif dimasukkan ke dalam grup chat 1, biasanya memanfaatkan WhatsApp dan Telegram.
- Group Chat 2 Seleksi akun yang paling aktif di grup Chat 1. Akun yang paling aktif dimasukkan ke grup Chat 2.
- Pertemuan Tatap Muka Individu dengan akun paling aktif yang sudah terjaring di grup chat 2 diundang dalam pertemuan tatap muka dengan koordinator buzzer. Buzzer terpilih. Pola rekrutmen buzzer lainnya adalah agensi atau biro komunikasi memetakan dan mencari akun buzzer yang sesuai dengan kebutuhannya. Atau bisa juga mengumumkan lowongan untuk menjadi buzzer produk atau isu tertentu.
Buzzer memilki strategi yang terorganisir dalam penggiringan opini publik. Buzzer melakukan beberapa hal untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan oleh pemilik kepentingan, diantaranya yaitu seorang buzzer berkicau dengan tagar dan membangun percakapan baik secara alami maupun rekayasa, sehingga membuat masyarakat mulai terpengaruh dengan kicauan atau tagar tersebut.
Bukan hanya di media sosial, seorang buzzer juuga pandai dalam pengaplikasian website sehingga mereka bisa membuat sebuah domain pemberitaan agar publik yang melihat apa yang diberitakan adalah berita yang inkredibel padahal website pemberitaan tersebut belum terverifikasi di dewan pers.
Buzzer juga memanfaatkan jaringan internal yang mereka miliki dengan cara menyebarkan konten melalui pesan singkat, WhatsApp, dan Telegram. Pemanfaatan jaringan internal ini cenderung mendapatkan hasil yang optimal dikarenakan keluarga-keluarga terdekat yang mengira informasi yang disebarkan itu adalah informasi yang benar.
Buzzer dalam Perspektif Politik Islam
Tingginya jumlah pengguna media sosial sudah tentu menjadi market yang menggiurkan bagi para politisi untuk mencari dukungan. Dengan menjadikan isu yang menguntungkan calonnya untuk dibicarakan, sehingga opini publik pun akan terbentuk. Opini ini yang akan menjadi modal bagi para politisi untuk memengaruhi sikap publik terhadap calon yang diusung.
Istilah Buzzer atau penggaung politik, baik itu relawan atau bayaran disebar memenuhi ruang media sosial. Dilengkapi dengan data yang canggih dan argumen-argumen rasional hingga suprarasional, mereka terus berkampanye dan menyerang lawan-lawan politiknya. Berkicau di antara ribuan follower, dan tak jarang menjadi referensi baik itu kicauannya dibagikan ataupun dikicau ulang.
Dr Iswandi Syahputra, Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan istilah penggaung dapat mengacu pada konsep buzz marketing, yaitu aktivitas atau kegiatan pemasaran suatu produk pada saluran media komunikasi untuk menciptakan gangguan. Gangguan tersebut ditujukan pada kompetitor untuk menarik target audiens.
Buzzer inilah yang akan melempar isu di medsos, terutama Twitter, sehingga menjadi perbincangan sehingga menjadi viral di berbagai platform media sosial. Keberadaan para penggaung tak jarang membuat resah. Kebanyakan dari mereka yang bekerja untuk berbagai kepentingan politik tertentu membela secara penuh kepentingan politik dan mencerca sepuas-puasnya orang yang menjadi lawan politik mereka. Kepentingan politik tersebut terpersonifikasi pada calon gubernur, misalnya, pembelaan dan perlawanan yang terjadi juga bersifat personal. Saling cerca antarpenggaung politik tersebut membanjiri dan mengotori lini masa media sosial.
Islam adalah agama yang universal, agama membawa misi rahmatan lil alamin serta membawa konsep kepada ummat manusia mengenai persoalan yang terkait dengan suatu sistem seperti konsep politik, perekonomian, penegakan hukum, dan lain sebagainya.
Islam menempatkan politik sebagai satu cara penjagaan urusan umat (ri’ayah syu-al-ummah). Islam dan politik tidak boleh dipisahkan, kerana Islam tanpa politik akan melahirkan tersekapnya kaum muslimin yang tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan melaksanakan syariat Islam. Begitu pula politik tanpa Islam, hanya akan melahirkan masyarakat yang mengagungkan kekuasaan, jabatan, bahan, dan duniawi saja, kosong dari aspek moral dan spiritual. Oleh kerana itu, politik dalam Islam sangat penting bagi mengingatkan kemerdekaan dan keleluasaan dalam melaksanakan syariat Islam boleh diwadahi oleh politik.
Upaya menyerang karakter seseorang lewat pemberitaan pernah diingatkan Rasulullah SAW. Dahulu, Rasulullah menyebutnya dengan gibah dan fitnah. Beliau SAW sempat menjelaskan tentang dua hal tersebut di dalam hadis. “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu gibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan, berarti engkau telah menggibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR Muslim No 2589)
Keberadaan para Buzzer politik pun mendapat sorotan segenap organisasi massa Islam. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak berempati terhadap beragam fitnah dari para Buzzer yang tersebar pada pilkada 2017 kali ini. Menurut dia, mereka sangat ahli dalam mengelola fitnah dan kebohongan sebagai isu publik. Buzzer, kata Dahnil, adalah sekelompok orang yang dibayar untuk kepentingan politik tertentu dengan tugas membuat dan menyebar fitnah untuk menjatuhkan lawan politik. Dia pun menyayangkan, perilaku menyebar fitnah dan pembodohan ini justru dijadikan profesi untuk mencari nafkah oleh sebagian orang.
Dikutip dari Kompas.com, Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh menyampaikan tentang hukum aktivitas buzzer di media sosial (medsos). Asrorun Niam Sholeh menyebutkan MUI telah menetapkan Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Medsos yang salah satunya membahas mengenai hukum aktivitas buzzer.
Dalam ketentuan hukum yang diatur, aktivitas buzzer di medsos yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoaks, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi dan hukumnya adalah haram. Demikian juga untuk orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.[***]
Doni Pratama Putra
Mahasiswa Politik Islam UIN Raden Fatah Palembang