LAHAN yang dulunya kalau kemarau datang, langsung berubah jadi tungku pembakaran raksasa asap, bara, dan ilalang gosong jadi pemandangan saban musim. Tapi Rabu kemarin, tepatnya tanggal 9 Juli 2025, tanah itu di Desa Muara Baru, Kecamatan Pemulutan, Ogan Ilir, justru disulap jadi ladang harapan. Bukan sulapan Deddy Corbuzier, tapi kerja kolaboratif penuh keringat dan… bibit jagung.
Yang bikin takjub, yang turun ke sawah bukan cuma petani bersarung dan ibu-ibu kelompok tani yang biasanya jago ngerumpi sambil mencabuti rumput, tapi juga aparat berseragam coklat lengkap dengan lencana dan senyum sok serius.
Ya, Polda Sumsel bersama jajaran, kali ini menanam jagung bareng. Kalau biasanya polisi identik dengan tilang dan pengaturan lalu lintas, kali ini mereka sibuk ngukur lahan, nyebar bibit, dan bahkan ngitung kuintalan per hektar. Siapa sangka, ternyata Pak Polisi juga bisa bercocok tanam selain bercocok perkara.
Sekda Sumsel, Pak Edward Candra,menyampaikan bahwa kegiatan ini bukan cuma seremonial selfie pegang cangkul, tapi bagian dari upaya menuju Swasembada Pangan. Slogan lama yang sering kita dengar sejak jaman Pak Suharto masih nyemir sepatu sendiri, tapi kini coba diwujudkan ulang dengan gaya milenial tanam jagung rame-rame, kolaboratif, dan… tentu saja disorot kamera dari berbagai sudut.
Jagung ini bukan cuma makanan favorit kambing dan ayam. Ia kini menjelma jadi komoditas strategis. Bayangkan, Sumsel sudah memproduksi 833.952 ton jagung di tahun 2024, naik tipis dari tahun sebelumnya. Memang tipisnya nggak bikin pingsan, tapi tetap ada grafik menanjak, kayak jalan menuju Curup.
Nah, daerah penghasil jagung terbanyak di Sumsel adalah OKU Selatan, OKU Timur, dan Banyuasin. Provitasnya juga kece. OKU Selatan bahkan bisa panen 70,52 kuintal per hektar. Kalau kuintalnya disusun, bisa jadi menara jagung lebih tinggi dari kantor camat.
Tapi, pertanyaannya sekarang apa langkah selanjutnya setelah tanam dan panen?. Kalau jagung cuma ditanam dan dipanen tanpa perencanaan hilir, nanti kita kejebak di siklus yang sama panen raya, harga jatuh, petani gigit jari, tengkulak cekik dompet. Lalu kita kembali tanam jagung dengan harapan baru, seperti mantan yang katanya sudah berubah.
Saatnya berfikir
Ini saatnya berpikir seperti Amerika Serikat, negeri yang jagungnya bukan cuma untuk popcorn di bioskop, tapi jadi bioetanol, pakan ternak ekspor, sampai kosmetik. Di Iowa, ada pusat riset jagung yang dikelola bareng kampus dan koperasi petani. Bahkan, anak SMA-nya tahu cara bikin jagung jadi bahan bakar mobil listrik.
Kenapa Sumsel nggak mulai dari sekarang bikin Jagung Tech Park di dekat lahan-lahan produktif? Bukan cuma tempat selfie, tapi tempat belajar teknologi pertanian, pemasaran, hingga pengolahan produk turunan jagung. Jangan kalah sama jagung rebus di minimarket yang sudah pakai barcode.
Bayangkan kalau ke depan, tiap kali ada konflik lahan, bukan bentrok yang terjadi, tapi sayembara siapa paling cepat menanam jagung satu hektar. Polisi datang bukan untuk mengusir, tapi untuk ngajak diskusi “Ayo pak, kita tanam jagung aja, jangan nanam konflik”.
Kapolda dan jajaran memberi contoh luar biasa, mereka tidak cuma memberi pengamanan, tapi juga ikut menciptakan pangan. Ini lebih ampuh daripada orasi di seminar nasional, sebab seperti kata Dr. Norman Borlaug, Bapak Revolusi Hijau Dunia “You can’t build a peaceful world on empty stomachs and human misery”. (Sumber: Nobel Lecture, 1970)
“Artinya, kamu tidak bisa membangun dunia yang damai di atas perut yang kosong dan penderitaan manusia”
Oleh karena itu, menanam jagung adalah menanam perdamaian, menanam masa depan, dan menanam kenyang, jadi asanya setidak hilirisasi harus jadi prioritas, jagung bisa jadi produk unggulan olahan. Mulai dari keripik, tepung, susu jagung, hingga snack anak sekolah. BUMDes bisa dilibatkan, bukan cuma jadi pengamat upacara tanam.
Selain itu, ada kolaborasi berkelanjutan, jangan cuma jagung kuartal III, nanti jagung kuartal IV dibiarkan begitu saja. Harus ada SOP kesinambungan program.
Nah, setelah itu, harganya harus dikawal serius, kalau harga gabah ada HPP, jagung juga harus punya Harga Pokok Penuh Kasih Sayang, bukan kasih kaget, he..he!
Libatkan anak muda dan teknologi, jagung bukan cuma buat kakek nenek, tapi juga harus kekinian. Drone pertanian, sensor tanah, sampai aplikasi cuaca bisa bikin generasi Z balik ke ladang.
Jadi, kesimpulannya jagung itu,bukan sekadar hasil tani, ia adalah simbol, ketika aparat, petani, pemerintah, hingga rakyat jelata ikut menanam, itu artinya ada harapan yang tumbuh. Di atas tanah bekas terbakar, kini tumbuh tunas yang membawa harapan pangan.
Dan seperti kata George Washington Carver, ilmuwan kulit hitam asal Amerika yang berjasa memajukan pertanian lewat inovasi sederhana “Where there is no vision, there is no hope”, “Di mana tidak ada visi, di situ tidak ada harapan”.(Sumber: American Historical Review, 1934).
Maknanya dari kata ilmuwan itu cukup dalam kalau kita renungkan, karena kalau kita nggak punya arah, cita-cita, atau rencana ke depan (alias visi), maka jangan harap ada semangat atau harapan buat maju. Ibarat kapal tanpa kompas ngambang aja di laut, nunggu tenggelam. Singkatnya sebenarnya visi itu bahan bakar harapan. Tanpa visi, ya hidup bisa macet total.
Jadi, tanam lah jagung dengan visi, agar panennya bukan cuma kuintalan, tapi juga kedamaian, kedaulatan, dan keceriaan di meja makan rakyat Indonesia.
Kalau ada polisi lagi sibuk bercocok tanam, jangan heran. Siapa tahu, di balik seragamnya, ia juga menyimpan benih-benih cinta pada pertanian.
Dan semoga ke depan, lahan bekas kebakaran itu bukan hanya subur oleh pupuk, tapi juga penuh cerita lucu dan jagung manis, yang benar-benar manis.[***]