Sumselterkini.co.id,- Kalau ada pepatah mengatakan “lebih baik mencegah daripada memadamkan,” maka dalam urusan kebakaran lahan, pepatah itu harus ditulis dengan huruf kapital, tebal, dan kalau bisa dikasih lampu neon biar nyala terus tiap malam.
Soalnya, kebakaran lahan itu bukan cuma soal api dan asap, tapi soal nyawa, mata pencaharian, dan, tentu saja, soal harga diri bangsa yang kadang lebih cepat naik daun kalau udah viral duluan di media sosial.
Maka patut kita acungi jempol bahkan kalau bisa jempol kaki sekalian, kepada Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq, yang belum lama ini menggelar acara Konsolidasi Kesiapsiagaan Pengendalian Kebakaran Lahan di Palembang.
Acara ini ibarat reuni keluarga besar anti-api dari gubernur, kepala Dinas Lingkungan, sampai para bos perkebunan kelapa sawit. Lengkap! Tinggal panggil Mbah Dukun kalau perlu doa-doa tambahan biar langit nggak panas banget.
Tapi jangan salah. Acara ini bukan ajang ngopi-ngopi sambil selfie di bawah tenda. Ini ajang serius. Simulasi pemadaman api ditunjukkan langsung, peralatan diperiksa satu-satu, dan PT Sawit Mas Sejahtera selaku tuan rumah sampai-sampai bisa jadi kandidat “The Next Firefighter Idol”, kalau acara ini ditayangin di TV. Semua terlihat siap, sigap, dan tampak seperti orang yang baru sadar bahwa kebakaran lahan itu bukan cuma soal “ups, api nyala” tapi bisa berujung “duh, negara sebelah protes asap lagi.”
Nah, selama ini kebakaran lahan itu seringkali seperti mantan toxic munculnya diam-diam, bikin sesak napas, dan susah diberantas. Kita sering dengar dalih “bukan disengaja, Pak, itu karena musim kemarau.” Lah, masa tiap tahun salahnya kemarau? Kalau begitu, kenapa negara-negara lain juga kemarau tapi nggak bikin puluhan ribu hektar jadi BBQ?
Contohlah Australia di sana, kalau kebakaran hutan terjadi, warganya langsung saling gotong royong, alat pemadam disiapkan kayak mau ikut kontes teknologi, bahkan helikopter disiapkan bukan buat jalan-jalan menteri, tapi buat nyiram hutan. Kita? Kadang kebakaran udah dua minggu, baru rapat diadakan. Alat pemadam masih diservis, sementara api sudah booking lahan seluas kabupaten.
Dan jangan lupa, ada juga pepatah “Kebakaran kecil jadi kawan, kebakaran besar jadi lawan.” Tapi jangan diplesetkan jadi, “kalau sudah kebakaran besar, ya tinggal tunggu hujan.”
Eh jangan! Itu mah bukan strategi pengendalian, tapi strategi pasrah total level kepala sekolah lagi nunggu BOS cair.
Di titik ini, kita perlu bicara soal tanggung jawab kolektif. Bukan cuma tanggung jawab pemerintah. Pengusaha, terutama yang pegang ratusan bahkan ribuan hektar lahan, harus sadar bahwa menjaga lahan dari api itu bukan cuma soal regulasi, tapi juga soal nurani. Jangan sampai yang mereka jaga cuma angka di neraca keuangan, sementara hutan dibiarin gosong kayak roti kelamaan di oven.
Menteri Hanif udah kasih sinyal kuat. Bahkan ada 146 anggota GAPKI plus 317 perusahaan lain yang diminta aktif. Kalau semuanya benar-benar turun tangan, kita yakin, Indonesia bisa jadi negara tropis bebas asap, bukan negara yang jadi langganan rapor merah indeks kualitas udara.
Dan simbolismenya pun cakep. Acara ditutup dengan penanaman pohon. Bukan bakar dupa. Artinya ini bukan hanya tentang mencegah api, tapi juga menumbuhkan harapan. Semoga pohonnya tumbuh, jangan cuma waktu difoto doang yang hijau.
Kalau lahan dibakar demi efisiensi, yang terbakar bukan cuma rumput dan semak, tapi juga reputasi. Maka mari kita tanamkan satu pepatah baru “Lebih baik berkeringat saat mencegah, daripada berkeringat karena kabur dari api yang terlanjur menyala”
Karena kalau lahan terus dibakar, jangan salahkan kalau cinta rakyat juga ikut gosong. Dan sekali cinta itu gosong, susah di-reseeding.
Ingatlah jangan main api di lahan, nanti rakyat ngamuk pakai wajan. Udahlah, yuk kita rawat bumi ini, biar gak cuma enak dilihat dari Google Earth, tapi juga enak dihirup udaranya tiap pagi.[***]