ADA lomba siapa daerah yang paling sering jadi tuan rumah acara serius tapi bikin kepala rakyat ikut mengangguk-angguk, Musi Banyuasin (Muba) bisa masuk final.
Coba bayangkan, baru-baru ini Muba jadi panggung utama Dialog Yuridiksi Karet, dengan tema super serius “Mendorong Karet Berkelanjutan di Indonesia melalui Ketelusuran dan Inklusi Petani”. Tapi tenang, bukan berarti acaranya cuma cocok buat pejabat berjas dan petani yang bawa map tebal. Di sinilah getah bisa jadi gaya, dan kebun jadi kiblat diskusi global.
Acara ini digelar di Auditorium Pemkab Muba pada Rabu (9/7/2025) lalu, dan diselenggarakan oleh PISAgro, bukan nama bakso di pinggir jalan, tapi organisasi serius Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture.
Mereka datang membawa niat mulia bagaimana supaya karet Indonesia, terutama dari Muba, bisa laku keras di pasar global tapi tetap lestari, adil, dan, ini penting petaninya gak cuma dapat tepuk tangan tapi juga keuntungan.
Wakil Bupati Muba, Kyai Rohman, dalam sambutan khas tokoh sepuh nan santun, menyelipkan harapan sederhana tapi menyentuh harga karet jangan kayak sandal jepit mudah putus di tengah jalan. “Semoga diskusi ini menghasilkan langkah nyata,” ujarnya.
Kalimat ini seolah berkata cukup sudah petani digeret isu global tanpa tahu harus nyadap pakai standar siapa. Nah, satu istilah yang sering keluar kayak lagu dangdut di warung kopi adalah STDB / Surat Tanda Daftar Budidaya.
Ini bukan akronim sinetron, tapi surat sakti buat nunjukin kalau kebun karet kita bebas dari dosa deforestasi. Karena pasar global, terutama Uni Eropa, kini sudah macam calon mertua pilih-pilih dan detail. Kalau kebunmu masih nebeng di hutan lindung, maaf, gak bisa ikut ekspor.
Kepala Dinas Perkebunan Muba, Ahkmad Toyibir, mengingatkan “Pasar global sekarang kayak detektif lingkungan. Semua produk harus bisa ditelusuri asal-usulnya, seperti karet detektif Conan dari batang siapa, di kebun mana, dan pakai pupuk siapa.” Maka STDB ini penting bukan main.
Menurut Direktur Eksekutif PISAgro, Insan Safaat, keberlanjutan itu tak bisa kerja sendirian kayak superhero, tapi harus gotong royong.
Di sinilah semua aktor bermain pemerintah, petani, offtaker, dan lembaga. Bayangkan mereka duduk satu meja petani dengan sepatu karet, perusahaan dengan laptop dan grafik, lalu diskusi demi masa depan yang lestari.
Agung Nugroho dari PISAgro juga sepakat, hilirisasi itu bukan cuma soal bikin ban dari karet, tapi bikin petani tak hanya ‘menyadap nasib’ tiap pagi. Hilirisasi harus sampai ke kantong mereka.
Dan ingat pepatah bijak orang tua kita “Sekok getah bisa jadi rejeki, asal tak bocor di tengah distribusi”. Maka inklusi petani itu bukan cuma narasi proyek, tapi hakikat keadilan ekonomi.
Kalau mau belajar karet, kita bisa nyontek dikit ke Thailand. Negara ini bukan cuma jago bikin drama lakorn, tapi juga eksportir karet nomor wahid. Rahasianya? Mereka punya sistem keterlacakan yang rapi kayak rak sepatu di rumah tentara.
Di dalam negeri, Jambi sudah lebih dulu menyiapkan STDB massal dan membentuk tim pendamping petani. Di sana, Dinas Perkebunan rajin ngopi bareng petani, bukan cuma datang waktu panen raya.
Muba, kalau serius, bisa jadi bintang baru di langit karet. Modalnya udah ada lahan luas, petani rajin, dan sekarang, forum serius yang membahas masa depan.
Acara ini bukan cuma duduk-duduk di auditorium yang sejuk AC-nya, tapi lanjut ke kebun petani. Di sanalah peserta akan tahu bahwa menyadap karet bukan sekadar soal pisau dan pagi hari, tapi juga cuaca, harga pasar, dan… nyamuk yang ikut nimbrung.
Dari lapangan, peserta bisa paham risiko nyata dari cuaca yang makin ngambek sampai harga karet yang naik-turun kayak harga cabai. Maka dibutuhkan bukan cuma regulasi, tapi juga empati dan inovasi.
Seperti kata Jack Ma, pendiri Alibaba “Jangan fokus ke kompetitor, tapi fokuslah pada pelanggan”, dalam konteks ini, pelanggan kita bukan cuma yang beli ban, tapi juga planet Bumi yang ingin lestari.
Atau seperti kata Dilan (versi perkebunan) “Aku bukan cuma rindu kamu, tapi juga rindu harga karet yang adil dan stabil”
Dialog Yuridiksi Karet ini bukan sekadar seremonial yang diakhiri dengan foto bareng dan kopi manis. Ini adalah titik awal agar petani tak jadi korban dari istilah-istilah canggih, dan agar daerah seperti Muba tak hanya jadi ladang produksi, tapi juga pusat pengambilan keputusan.
Inilah waktunya Muba mengirim sinyal ke dunia “Kami tak hanya punya karet, tapi juga niat untuk jadi pelopor keberlanjutan”
Kalau dulu getah karet hanya jadi bahan sandal jepit dan ban mobil, sekarang ia bisa jadi simbol peradaban, ekonomi sirkular, dan keadilan lingkungan. Seperti kata pepatah yang baru saya pikirkan. “Karet yang disadap dengan ikhlas, akan memberi hasil yang berkualitas”.[***]