Agribisnis

Menanam Asa di Atas 48 Ribu Hektare Lahan Sawah

ist

Sumselterkini.co.id, – Lahan di Sumatera Selatan bakal ramai lagi, bukan oleh emak-emak yang cari sinyal buat bermedsos ria, seperti  TikTok, tapi oleh traktor, cangkul, dan asa yang baru dicetak. Tahun 2025, Sumsel bersiap membuka 48.000 hektare sawah baru.

Sawah baru ini, bukan buat jadi taman selfie atau tempat upacara 17-an, tapi demi mimpi besar, yakni swasembada pangan, sehingga asanya tak lagi mengandalkan kapal impor yang datang sambil bawa nasi dari negeri seberang.  Ini bukan mimpi siang bolong, ini proyek serius yang (harapannya) dikerjakan dengan dua tangan dan satu niat panen lebih dari sekali, dan rebahan cukup di malam hari, he..he.

Oleh sebab itu, istirahat dulu, yang namanya konten panen padi pakai efek slow motion dan backsound “Tanah Airku”, Sumsel gerak cepat, dan tancap gas menyusun puzzle besar kedaulatan pangan nasional. Lewat program Kontruksi Cetak Sawah, Sumsel tampil bukan hanya sebagai lumbung, tapi juga etalase keberanian mencetak sawah, bukan mencetak janji.

Tanpa perumpamaan dulu di paragraf ini, mari kita mulai dari yang faktual. Tahun depan, Sumsel menargetkan 48.000 hektare sawah baru, yang digarap di sembilan kabupaten. Mulai dari PALI yang kebagian 3.200 Ha sampai ke Musi Rawas yang dapat jatah 200 Ha, semua dikebut bukan sekadar untuk panen padi, tapi untuk panen kepercayaan bahwa daerah ini bisa menyumbang lebih dari sekadar semangat gotong royong. Targetnya? Bisa dua kali panen. Ya, dua kali! Kalau semangatnya bisa tiga kali, syukur-syukur jadi empat musim panen ala Jepang, tapi jangan dulu ngelamun.

Kalau proyek ini sukses, Sumsel bukan lagi sekadar mimpi.  “Serambi Pangan Nasional”, tapi bisa jadi “Depot Beras Bersubsidi Internasional”. Kapan lagi Musi Banyuasin bisa bersaing branding dengan Kampung Organik di Thailand?. Atau PALI jadi seperti Pinar del Río di Kuba yang dari lahan kosong bisa jadi kawasan hijau nan produktif?.

Pepatah lama bilang “Sedia lumbung sebelum lapar” , namun kadang kebalik, karena panik dulu, baru tanam. Padahal, cetak sawah ini bukan proyek lucu-lucuan, Ini bukan kayak bikin kolam lele pakai ember di belakang rumah.  Cetak sawah merupakan proyek kelas berat yang perlu kerja tim dan gotong royong model Avengers, lengkap dengan TNI yang siap bantu, bukan cuma buat jaga sawah dari maling, tapi juga jaga semangat petani dari ngeluh-ngeluh mulu soal pupuk.

“Jangan sampai sawah ini cuma jadi selfie spot waktu Musrenbang,” ujar Gubernur  Herman Deru dengan  separuh optimis, separuh garang, dan benar juga jangan sampai cetak sawah jadi kayak proyek taman kota cantik pas peresmian, lalu ditinggal kayak mantan pas lebaran.

Program ini juga bukan hanya soal gali tanah dan buang cangkul. Ada syarat-syarat ketat harus lebih dari 50 Ha, harus jelas hak kepemilikannya, tidak dalam kawasan hutan, dan tentu, tidak boleh dalam status lahan baku sawah 2024. Jadi nggak bisa asal tunjuk lahan kosong terus bilang, “Pak, ini bisa dicetak sawah, kan?” Nanti malah lahan pemakaman.

Lucunya, banyak yang bilang, “Buat apa cetak sawah segini banyak? Kan belum tentu airnya ada!” Lah, itu kan kayak bilang, “Buat apa beli motor, kan belum tentu bensinnya ada?”. Justru dengan cetak sawah ini, Sumsel sedang menata ulang manajemen air, irigasi, tata kelola, dan semangat petani yang selama ini terselip di antara sinetron dan drama harga gabah.

Kalau mau mencontoh, silakan lihat desa di Jepang seperti Inakadate yang sukses jadi kampung pertanian wisata, mereka bukan hanya panen, tapi juga bikin seni dari sawah, alias tanbo art. Lahan jadi lukisan raksasa dari tanaman padi. Lah kita?. Jangan cuma tanam padi, tanam juga rasa bangga jadi bagian dari solusi pangan nasional.

Sumsel bukan Patagonia yang terkenal karena lanskapnya, tapi siapa tahu suatu saat Pagar Alam bisa dikenal sebagai penghasil beras aromatik yang bikin nasi goreng di Paris jadi naik kelas. Ibaratnya, bukan hanya cetak sawah, tapi cetak masa depan!.

Kata orang tua di kampung, “Kalau sudah menanam, jangan ditinggal nikah dulu,”. Artinya rawatlah sawah ini, jangan cuma semangat di awal proyek, lalu ditinggal demi proyek yang lain yang lebih seksi.

Program ini bukan sekadar soal panen, tapi juga soal harapan, kalau Sumsel bisa menanam sawah 48.000 Ha, maka kita juga bisa menanam optimisme sebanyak itu, dengan pupuk kerja sama, irigasi niat baik, dan traktor semangat, Sumsel bukan cuma menanam padi, tapi juga menanam nama baik di peta pangan nasional.

Program Cetak Sawah 2025 ini bukan hanya soal angka dan hektare, tapi tentang komitmen jangka panjang untuk memperkuat fondasi kedaulatan pangan. Sumsel sudah melangkah lebih dulu, membuka lahan, menyiapkan strategi, bahkan menggandeng berbagai pihak hingga TNI ikut turun tangan. Ini momentum yang sayang, jika hanya dilewati sebagai rutinitas tahunan.

Kini tinggal bagaimana semua pihak bergerak seirama, dari pemerintah kabupaten, petani, hingga pendamping lapangan, agar sawah yang dicetak tak hanya hijau di atas peta, tapi juga subur di lapangan. Jangan sampai semangat besar ini berhenti di tanda tangan kontrak dan pidato seremonial semata.

Karena sawah yang berhasil bukan hanya soal tanam dan panen, tapi juga hasil dari kepercayaan, keterlibatan, dan ketekunan bersama di tengah tantangan ketahanan pangan dunia, Sumsel memberi pesan kuat menanam itu pilihan, tapi menjaga hasilnya adalah tanggung jawab bersama.

Kalau 48.000 hektare sawah baru bisa dicetak, maka yang perlu dicetak berikutnya bukan sekadar panen, tapi juga kebiasaan baru gerak cepat, kerja tuntas, dan saling dukung dan sawah bukan benda ajaib, dia tak akan tumbuh hanya dengan wacana dan tepuk tangan peresmian. Ia tumbuh dari peluh yang konsisten, koordinasi yang rapi, dan keberanian untuk tetap turun ke lumpur meski sepatu sudah mahal.

Sumsel sudah memulai langkah besar. Tinggal bagaimana langkah ini tidak berhenti di tengah jalan, tidak tersesat di rapat-rapat panjang, atau malah mandek di tengah musim. Dengan semangat yang terus dijaga dan pendampingan yang nyata, bukan tidak mungkin Sumsel jadi contoh bahwa ketika niat baik dibarengi tindakan nyata, sawah bisa tumbuh, dan ketahanan pangan bukan lagi jargon semata, karena dalam urusan pangan, yang dibutuhkan bukan hanya lahan luas, tapi juga kehendak yang tak gampang layu.[***]

Terpopuler

To Top