Sumselterkini.co.id, – Di dunia ikan hias, Arwana Super Red ibarat Miss Universe-nya akuarium. Badannya yang melenggak-lenggok bak model catwalk di Paris, sisiknya mengilap kayak kaca helm anak motor, dan matanya… ah, tajam tapi memikat, seperti lirikan tante-tante waktu lihat diskon daster di pasar swalayan.
Makanya tak heran kalau Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sampai gelar tikar di Pontianak Convention Center, dari tanggal 1 sampai 4 Mei kemarin, demi satu acara penting Kontes Arwana APPS Feat RDI Cup 2.
Lho, ini bukan kontes sembarang kontes. Ini semacam audisi Arwana Idol, tapi versi bersertifikat dan penuh etika. Total ada 197 Arwana yang tampil, dari berbagai kota dan desa, dari akuarium rakyat biasa sampai galeri elite, semua ingin rebut gelar Grand Champion dan hadiah Rp100 juta yang bikin dompet berdetak.
Kepala BPSPL Pontianak, Pak Syarif Iwan Taruna Alkadrie, dengan suara mirip motivator kelas menengah tapi isiannya menohok, bilang bahwa pelestarian Arwana bukan hanya soal menjaga makhluk cantik ini tetap berenang, tapi juga soal perputaran ekonomi yang bikin warga tak lagi cuma mengandalkan kopi dan gorengan.
Ini langkah yang patut ditiru, terutama bagi kota-kota yang ingin mengembangkan sektor perikanan hias tapi masih sibuk ribut soal anggaran baleho.
Mari kita belajar dari Thailand, misalnya, yang bisa bikin ikan cupang jadi ikon nasional dan sumber ekspor dengan nilai miliaran baht. Atau Jepang, dengan ikan koi yang sudah jadi bisnis internasional, lengkap dengan festival dan sertifikasi ketat.
Bahkan di Belanda, ikan hias masuk katalog ekspor unggulan yang dipasarkan ke Eropa dengan label “eco-friendly ornamental fish.” Kita? Baru mau merapikan surat izin, udah digerebek satpol PP karena katanya “pelihara ikan liar.”
Sudah saatnya kita serius tapi tetap santai seranta istilahnya dalam mengelola potensi Arwana Super Red ini. Bayangkan, satu ekor Arwana bisa seharga motor bebek.
Kalau lima ekor? Ya bisa buka kedai kopi sambil ternak ikan. Tapi dengan catatan legal dan lestari. Jangan sampai demi cuan, Arwana diambil dari habitat liar sembarangan, tanpa izin, lalu dijual lewat jalan belakang pakai kode “ikan merah merdeka.”
Seperti pepatah lama yang dimodifikasi “Jangan karena satu ekor Arwana, rusak seluruh isi Kapuas.”
Atau versi dagelannya “Arwana boleh merah, tapi legalitas jangan abu-abu.”
Langkah KKP ini patut diapresiasi, karena di tengah tren digital yang bikin anak muda lebih paham skin care daripada perizinan usaha, kontes semacam ini bisa jadi jembatan edukasi.
Edukasi bahwa ikan bukan hanya buat lauk, tapi bisa jadi investasi. Bahwa bisnis tak melulu soal cuan cepat, tapi juga keberlanjutan. Bahwa pelestarian bukan beban, tapi tabungan masa depan.
Dan kita berharap, kontes-kontes seperti ini bisa digelar rutin. Mungkin nanti ada “Piala Gubernur Arwana,” atau “Arwana Internasional Cup” dengan peserta dari Malaysia, Vietnam, sampai Dubai yang katanya doyan Arwana tapi hobinya beli lewat jalan ninja. Kita tunjukkan bahwa Indonesia bukan cuma sumber ikan, tapi juga pusat tata kelola ikan hias yang legal, elegan, dan menjanjikan.
Jangan sampai Arwana Super Red yang sudah segagah jenderal ini malah punah karena dikelola serampangan. Mari kita jaga, rawat, dan kelola ikan ini dengan sepenuh hati dan seizin negara.
Karena di balik sisik merahnya, tersimpan peluang ekonomi yang bisa bikin rakyat Kalimantan tersenyum tanpa harus cari kerja ke luar negeri. Toh, seperti kata orang tua kita dulu “Banyak ikan di laut, tapi yang jadi rejeki adalah yang dirawat baik dan dilegalkan.”
Siap jadi juragan Arwana yang sah? Legal dulu, lestari terus, baru kaya bersama!.[***]