Sumselterkini.co.id, – Pagi jumat kemarin langit Palembang mendung, seperti mau turun hujan, namun siapa sangka, semangat warga tetap menyala terang, seperti kompor gas tiga tungku. Trotoar penuh, halaman masjid tumpah ruah, jalanan sampai berubah jadi sajadah dadakan.
Dari yang jalan kaki pakai sarung bolong, sampai yang naik motor pakai parfum sebotol semua datang dengan satu niat sholat Idul Adha. Tapi gaya? Masya Allah. Ada yang dandan kayak mau kondangan, padahal niatnya ibadah. Ya, syariat tetap jalan, fesyen pun tak ketinggalan.
Namun di balik pemandangan khusyuk nan wangi minyak kasturi itu, mari kita lihat sisi lain dari makna kurban, sebab yang disembelih hari itu bukan cuma sapi dan kambing, tapi seharusnya juga sifat manusia yang suka berisik. Iya, kadang bukan sapi yang keras kepala, tapi kita. Sapi cuma mengeluarkan suara mooo, manusia bisa “mooo-monyong terus”, sok paling benar.
Khotbah Idul Adha tahun ini, rata-rata berisi pesan yang menusuk-nusuk hati, kayak tusuk sate kambing tapi lebih halus. Intinya takwa itu tak kenal musim. Bukan seperti jaket hujan yang baru dipakai pas deras, lalu ditinggal pas terang. Takwa itu harusnya nempel terus, dari mushola ke kantor, dari rapat RT sampai urusan keluarga besar. Jangan baru takut dosa pas ngaji, tapi begitu pegang mikrofon rapat, langsung berubah jadi singa podium, maki-maki tanpa ampun.
Idul Adha adalah ajang latihan menyembelih. Tapi bukan cuma sembelih hewan. Cobalah sembelih ego, sembelih keinginan rebut mic terus di rapat warga, sembelih rasa ingin selalu benar padahal seringnya lupa titik koma.
Bayangkan kalau semua manusia pengin tampil di baliho, siapa yang mau ngetik laporan kegiatan? Lah, editornya siapa? Printer-nya siapa? Yang ngopi siapa? Kan repot!. Oleh sebab itu, kurban itu juga soal menyisihkan ego demi kerja kolektif, karena sejatinya, kurban adalah tentang siapa yang rela turun dari panggung, demi bereskan panggung itu sendiri.
Puncaknya adalah saat ceramah usai sholat menyentil dengan satu kalimat yang bikin nyut-nyutan dada, “Mampukah kita menyembelih nikmat tidur demi Subuh?”. Nah lo. Ini bukan kurban biasa, ini kurban kelas berat. Kadang potong sapi lebih mudah ketimbang potong hasrat scrolling TikTok jam dua pagi sambil makan keripik kentang. Sapi dibeli, disayang, diberi pakan, akhirnya siap disembelih. Kita? Alarm bunyi masih debat dulu lima kali. Belum lagi kalau disuruh bantu bersih-bersih masjid, eh malah nyapu halaman sendiri sambil berharap tetangga lihat.
Makna kurban juga bukan lomba siapa yang sapinya paling jumbo kayak truk gandeng, tapi siapa yang paling tulus hatinya. Karena dalam hidup, kurban itu tak selamanya berdarah, tapi selalu tentang pengorbanan. Sering kali kita harus menyembelih rasa ingin dipuji, demi belajar rendah hati.
Pepatah kuno mungkin bilang “Lebih baik kehilangan kambing karena ikhlas, daripada kehilangan keikhlasan gara-gara kambing”. Tapi versi zaman sekarang mungkin begini.”Lebih baik tidak eksis di Instagram, daripada semua kurban cuma demi konten dan caption ‘Ikhlas itu penting, beb'”.
Idul Adha itu mestinya jadi ajang audit iman, bukan ajang pamer sapi yang dibeli pakai patungan tapi fotonya sendiri yang dipajang. Audit iman artinya kita menimbang sudahkah kita rela memotong kesombongan? Sudahkah kita sembelih rasa gengsi? Sudahkah kita sadar bahwa kadang yang perlu dikurbankan bukan hewan, tapi ambisi pribadi yang bikin hidup makin ribet?
Ai manusia, yuk sesekali kurbankan hasrat tampil di kamera, lalu pelajari filosofi kambing, banyak suara, tapi tetap patuh saat diminta berkorban, kadang kita perlu belajar diam, seperti kambing, bukan bicara terus kayak toa masjid yang volumenya lupa dikecilkan.
Oleh sebab itu, di Hari Raya Kurban ini, jangan cuma sibuk motong sapi sambil mikirin daging bagian mana yang cocok buat rendang. Tapi potong juga bagian-bagian dalam diri yang bikin hidup kita jadi keras kayak daging belum direbus, rasa iri, dengki, gengsi, dan hobi tampil paling alim di luar tapi nyinyir di dalam.
Sapi dan kambing mungkin sudah pasrah, mereka rela jadi simbol ketakwaan, sementara kita manusia malah masih galau antara ikhlas atau cuma ikut-ikutan. Kadang kita berkorban, tapi masih sambil hitung-hitungan, “Ini pahala masuk surga jalur cepat gak ya?” Padahal kurban yang sejati adalah ketika kita bisa membuang rasa pengen dipuji, padahal niat kita sebenarnya cuma mau posting story dan ngetag semua kontak biar tahu “Aku berkurban loh, like-nya mana nih?”
Manusia juga harus bisa belajar dari hewan kurban, mereka gak pernah debat soal posisi atau takdir, mereka juga gak pernah minta fotonya diedit dulu sebelum disembelih. Kalau cuma sapi yang disembelih, tapi sifat sombong dan rasa paling bener terus dipelihara, ya itu sama aja kayak makan daging empuk dengan hati keras. Cobalah sesekali korbankan spotlight panggung.
Karena ujung-ujungnya, hidup ini bukan tentang siapa yang paling banyak potong hewan, tapi siapa yang paling ringan tangan, lapang dada, dan sabar hati. Lebih baik kehilangan kambing karena ikhlas, daripada kehilangan keikhlasan gara-gara kambing. Sebab, kurban sejati bukan soal darah yang menetes, tapi soal hati yang bersih dari niat pamer, dan pikiran yang bebas dari rasa ingin dinomorsatukan. Dan nafsu buat selalu dipuji walau kerja belum tentu rapi.
Mari rayakan Idul Adha tahun ini bukan hanya dengan sate dan gulai, tapi juga dengan hati yang lebih siap menyembelih iri, dengki. Sapi dan kambing mungkin sudah pasrah diikat, tapi kita? Masih ngotot mempertahankan rasa ‘aku paling benar’. Padahal yang paling halal di Hari Raya ini bukan hanya dagingnya, tapi niatnya. Jadi, kalau sapi sudah pasrah demi ridho Ilahi, masa kita masih ngotot demi ridho netizen?. “Sapi boleh digulai, tapi ego jangan dibiarkan terus menggelegak, karena daging cuma enak sehari, tapi keikhlasan bisa jadi amal selamanya”.[***]