Sumselterkini.co.id, – Setiap tahun, jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia datang memadati Tanah Suci, dari yang muda bersemangat sampai yang sudah ubanan, semua berlomba-lomba mengejar rida Ilahi. Tapi jangan salah, ini bukan lomba maraton apalagi kompetisi panjat pinang, ini ibadah hati yang penuh hikmah.
Namun sayangnya, di tengah khusyuknya doa dan zikir, banyak jemaah Indonesia terutama yang sudah lansia harus ‘mampir’ ke rumah sakit, bukan untuk wisata medis, tapi karena urusan tulang, otot, dan persendian yang tiba-tiba ‘ngambek’.
Menurut data dari Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan, sampai 29 Mei 2025 sudah lebih dari 189 ribu jemaah reguler dan 15 ribu jemaah haji khusus yang tiba di Arab Saudi. Tapi di balik angka-angka yang bikin bangga itu, ada fakta yang membuat kita perlu merenung sambil elus-elus lutut 79% jemaah Indonesia tergolong berisiko tinggi, terutama lansia.
Dari 617 jemaah yang dirawat, sebagian besar mengalami masalah muskuloskeletal dislokasi, fraktur, hingga pembengkakan kaki. Ada yang jatuh di kamar mandi, ada yang kepleset waktu tawaf, dan ada pula yang terdorong waktu turun dari bis. Ibarat kata, naik bis semangat 45, turun bis kaki minta ampun.
Bayangkan saja, kondisi para jemaah lansia itu seperti sepeda ontel tua yang tetap dipaksa nanjak ke puncak bukit. Bannya kempes, gear-nya kadang macet, tapi semangatnya mengalahkan road bike paling canggih.
Mereka tetap ingin menjalankan umrah berulang-ulang, tak peduli kaki sudah protes, lutut sudah berisik kayak engsel pintu lama. Kata dr. Yudha Mathan Sakti belum lama ini, ada lima penyebab utama jemaah bisa sampai ‘ngendon’ di RS keramaian, komorbiditas, kelelahan, kondisi jalan, dan sandal yang tak bersahabat. Iya, sandal! Jangan remehkan alas kaki, sebab salah pilih sandal bisa bikin langkah menuju Baitullah berubah jadi langkah menuju UGD.
Ada juga yang karena semangat terlalu tinggi, lupa kalau usia sudah tak muda lagi. Semangatnya umur 25, tapi dengkulnya umur 75. Kadang yang satu mau lari, yang satu minta duduk. Ibaratnya, hati ingin tawaf tujuh kali, lutut baru kuat setengah putaran. Tapi justru di sinilah letak keistimewaan para lansia ini. Mereka membuktikan bahwa niat ibadah tak bisa dihentikan oleh usia, walau kaki minta jeda, hati tetap melaju.
Dan di sinilah pentingnya peran jemaah muda. Seperti pesan dr. Ghulam Iskandarsyah, “Yang muda, tolong jangan sikut-sikutan! Ini bukan rebutan sembako. Bantu yang sepuh turun dari bis, beri ruang waktu tawaf, dan jangan kejar-kejaran kayak lagi nguber diskon di Tanah Abang!” . Sebab sejatinya, haji adalah kerja tim. Yang muda melindungi, yang tua mendoakan. Yang bugar memayungi, yang rapuh tetap melangkah.
Pepatah lama bilang, “Tongkat yang menemani langkah tak bisa mengganti kasih tangan anak muda yang sedia menggandeng”. Maka jadilah tangan itu. Jadilah pelindung bagi mereka yang telah renta. Jangan tunggu mereka jatuh dulu baru kita panik cari kursi roda.
Bagi jemaah lansia sendiri, bukan berarti harus merasa kalah. Kalau kaki mulai bengkak, sendi terasa nyeri, kompreslah dengan es, bukan dengan rasa bersalah. Lapor petugas kesehatan, bukan simpan sendiri lalu mewek di pojokan masjid. Ingat, haji bukan perlombaan. Tuhan tak menilai siapa paling cepat menyentuh Ka’bah, tapi siapa yang paling sabar dan ikhlas menunaikan rukun-Nya.
Ibadah haji bukan cuma soal kekuatan fisik, tapi ketangguhan hati dan kesiapan diri. Yang tua tak perlu minder, yang muda jangan sombong. Kalau semua saling menjaga, perjalanan spiritual ini akan jadi kenangan indah, bukan cerita horor tulang retak dan lutut ngilu. Dan seperti kata pepatah Arab, “Man jadda wa jada”, barang siapa bersungguh-sungguh, dia akan sampai. Asal jangan lupa sungguh-sungguh itu harus pakai alas kaki yang tepat dan bantu yang sepuh turun dari bis!. Karena di Tanah Suci, yang tua bukan beban, mereka justru lentera iman. Yang muda bukan pelengkap, tapi penjaga jalan.[***]