Sumselterkini.co.id, – Kalau ada yang bilang, “Foto itu cuma gambar diam,” maka tampaknya dia belum ketemu sama A Kind of Magic. Bukan, ini bukan album Queen, bukan juga trik sulap yang dipakai dukun di acara infotainment. Ini adalah buku fotografi karya Juliana Tan, yang diluncurkan di MET Glodok, Jakarta, dan dihadiri langsung oleh Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar. Dan percaya deh, ini bukan buku foto biasa. Ini sambel pecel rasa reformasi paduan kenangan, cinta, dan keberanian dalam satu bidikan kamera.
“A Kind of Magic” ini ibarat soto Betawi isinya kaya, rasanya dalam, dan setiap suap (baca: halaman) mengandung kenangan yang menghangatkan hati. Juliana Tan, sang fotografer, menyulap kenangan masa kecilnya dan trauma tahun 1998 jadi sajian visual dan naratif yang bukan cuma bikin mewek, tapi juga mikir.
Wamenekraf Irene Umar bahkan menyebut karya ini punya daya jangkau lintas generasi. Ya gimana nggak, Bu? Ini buku bisa jadi mesin waktu, nyeret kita balik ke zaman krismon, mie instan rasa sedih, dan tukang koran yang lebih update dari grup WA keluarga.
“Buku ini punya misi sebagai buku fotografi yang memperkenalkan dan menyajikan jalinan visual mendalam atas kisah pribadi dari tahun 1998… Saya kembali teringat seperti apa masa-masa kritis dalam sejarah Indonesia saat itu,” kata Irene Umar sambil mengenang masa di mana harga cabe bisa bikin orang jual motor.
Juliana Tan menyulap kamera menjadi semacam mesin pengaduk ingatan. Kalau biasanya kamera itu cuma ngerekam senyum dan selfie, kali ini ia jadi alat pengingat bahwa dari trauma bisa tumbuh cinta, dan dari kenangan bisa lahir harapan.
“Ini reformasi masa kecil saya dari rumah dan identitas,” kata Juliana. Mirip kayak orang pindahan rumah, tapi ini pindahan rasa. Ia menata ulang lemari hatinya, menyusun ulang baju-baju kenangan, dan menaruh ‘cinta’ di rak paling atas.
Bahkan dalam buku ini, ada kontribusi tiga penulis esai Sylvie Tanaga, Metta Setiandi, dan Charlene Kayla Roeslie. Mereka menulis dalam tiga bahasa karena kalau cuma satu bahasa, nanti kenangannya nggak cukup global. Ini kayak nasi goreng yang dibungkus daun pisang, tapi bisa dipesan lewat aplikasi multibahasa: pedes, manis, dan universal.
Metta Setiandi malah bilang, buku ini bukan cuma tentang memori kolektif, tapi semacam panggilan batin untuk berani menengok masa lalu, melafalkan luka, dan melukisnya jadi pelajaran yang bisa diwariskan.
Kalau bicara karya foto yang membawa ingatan sejarah dan trauma kolektif, kita bisa lihat karya seperti The Americans dari Robert Frank di Amerika Serikat, atau Vietnam Inc. karya Philip Jones Griffiths. Mereka memotret bukan cuma obyek, tapi luka, dan menyajikannya bukan sebagai dokumentasi, melainkan pengingat.
Sama halnya seperti proyek buku A Kind of Magic, karya-karya semacam ini di berbagai negara pernah jadi bagian dari penyembuhan kolektif. Di Rwanda, pascagenosida, komunitas bahkan menggunakan foto dan mural sebagai bentuk terapi publik. Di Jepang, setelah bencana tsunami, banyak proyek seni yang mengambil foto keluarga yang hilang dan mempertemukan mereka kembali dalam pameran harapan.
Desmond Tutu, seorang uskup agung asal Afrika Selatan yang dikenal sebagai tokoh perdamaian, aktivis hak asasi manusia, dan peraih Nobel Perdamaian tahun 1984/ aktivis HAM dari Afrika Selatan mengatakan “Hope is being able to see that there is light despite all of the darkness”. Maksudnya “Harapan adalah kemampuan untuk melihat bahwa masih ada cahaya meskipun kita sedang berada dalam kegelapan.”
Dan buku ini, adalah cahaya kecil yang lahir dari gulita masa lalu. Juliana, melalui foto-fotonya, seperti menyalakan lilin di tengah gelap reformasi.
Atau, seperti pepatah Minang” Nan ka hilang tak akan habis akal, nan ka lai tak akan habis cara.”
Meskipun 1998 telah lama berlalu, cara mengingatnya terus berkembang. Dan salah satu caranya adalah lewat lensa kamera dan keberanian menyusun ulang kisah yang sempat porak-poranda.
“A Kind of Magic” adalah bukti bahwa foto bukan cuma buat narsis. Ia bisa jadi alat reformasi personal, pengingat sejarah, dan penghubung generasi. Seperti kata pepatah Jawa, “Gusti ora sare,” mungkin Tuhan tidak tidur, tapi kita sering lupa mimpi kita pernah robek di masa lalu. Nah, buku ini mengajarkan cara menambalnya dengan cinta dan keberanian.
Kalau kamu pikir kamera cuma buat konten di medsos, cobalah tengok buku ini. Karena ternyata, dari sorotan lensa bisa lahir suara hati dan dari bidikan yang jujur, bisa tumbuh keajaiban. A kind of magic, indeed.[***]