Sumselterkini.co.id, – Kalau ada lomba sabar nasional, warga Desa Semangus mungkin sudah langganan juara umum. Betapa tidak, saban hujan turun, mereka harus menerka-nerka apakah jembatan Air Sari masih bisa dilewati, atau sudah menjelma jadi jebakan Batman yang menguji iman dan lutut yang lemah.
Namun hari itu, Desa Semangus bukan sekadar lenggang-lenggok daun kelapa. Hari itu, tanah becek jadi saksi, kemeja safari Gubernur Herman Deru berkibar seperti bendera kemenangan. Bersama Bupati PALI, Asgianto, beliau turun langsung meninjau Jembatan Air Pabil. Tapi sorot mata masyarakat sebenarnya tertuju ke satu titik kapan jembatan Air Sari, yang menghubungkan hidup dan harapan, bakal diganti?
Dalam gaya khasnya yang blusukan elegan, Gubernur bertanya pada warga dengan nada diplomatis tapi penuh harap,
“Jadi setuju untuk dibangun? Mohon didukung ya.”
Ini seperti orang pacaran nanya, “Kamu mau jadi pacarku nggak?” Padahal udah beliin cincin dari seminggu yang lalu.
Pak Bupati Asgianto tak mau kalah. Dengan wajah berbinar dan suara yang sedikit naik dua oktaf karena semangat, beliau mengucapkan terima kasih langsung ke Pak Gubernur.
“Alhamdulillah, Pak Gubernur hadir langsung. Terima kasih, jadi Pak Gubernur membantu kita jembatan.”
Kalimat ini mengandung rasa syukur dan harapan, seperti petani melihat hujan pertama setelah musim kemarau panjang.
Namun mari kita ngomong dari dapur warga. Jembatan Air Sari selama ini bukan sekadar jalan penyeberangan—itu adalah ujian nasional tanpa kisi-kisi. Motor bisa terjungkal, sandal bisa hanyut, dan anak sekolah bisa datang dengan celana dua warna: satu warna kain, satu warna lumpur.
Kondisinya mengingatkan kita pada pepatah lama, “Air tenang menghanyutkan, tapi jembatan rapuh bisa menghanyutkan pengendara.”
Atau versi upgrade-nya “Jembatan rusak bikin warga jadi atlet lompat jauh.”
Maka, penggantian jembatan ini bukan soal proyek beton dan besi. Ini soal menyeberangkan masa depan dari pinggir kemiskinan menuju tengah kesejahteraan.
Sayangnya, seringkali pembangunan seperti ini baru tergugah setelah beberapa kali viral di TikTok atau diliput media, barulah pemerintah pusat atau daerah datang bagai pahlawan kesiangan.
Pembangunan infrastruktur semestinya bukan ajang pencitraan atau penambalan lubang citra politik. Jangan sampai tiap kali ada lubang jalan atau jembatan hampir runtuh, harus nunggu kunjungan pejabat lengkap dengan drone dan banner “PEMERINTAH HADIR!” Padahal rakyat butuh kehadiran lebih dari sekadar foto dan rombongan mobil plat merah.
Dengan dimulainya pembangunan Jembatan Air Sari, kita berharap ini bukan jembatan janji, tapi jembatan jadi. Jangan sampai proyek ini molor seperti mie instan yang kelamaan direbus kelembekannya bikin kecewa.
Karena bagi warga Desa Semangus, ini bukan sekadar jembatan. Ini adalah simbol harapan, penghubung cita-cita, dan penanda bahwa negara masih punya rasa. Bak pepatah bilang “Jembatan boleh dari beton, tapi kepercayaan rakyat harus dari fondasi niat yang tulus.”
Semoga kelak, warga tak lagi bertaruh nyawa tiap menyeberang. Dan semoga pejabat tak cuma datang saat kamera hidup, tapi juga saat rakyat butuh.[***]