Sumselterkini.co.id, – Suasana Palembang masih berkabut, tapi hati Bupati OKI, H. Muchendi Mahzareki, jelas tak berkabut. Dengan semangat seperti mahasiswa mengejar dosen pembimbing, beliau menyatroni Menteri PUPR, Ir. Dody Hanggodo, yang sedang kunjungan ke Palembang. Namun jangan salah, ini bukan sekadar silaturahmi biasa sambil ngopi-ngopi cantik, tapi pertemuan berdaging dan berlemak penuh muatan strategis.
Dibantu tokoh senior Sumsel yang juga anggota Komisi V DPR RI, Pak Ishak Mekki, pertemuan ini menjadi semacam “trio macan pembangunan”. Kalau biasanya orang datang ke menteri sambil bawa proposal, kali ini Pak Muchendi membawa “curhatan rakyat OKI” yang sudah lama terjebak dalam kubangan jalan dan mimpi-mimpi yang tertunda.
Bayangkan saja, jalan dari SP.1 Sumber Hidup ke Kayu Labu itu sudah seperti ujian kesabaran nasional. Jalan Talang Jaya ke Sungai Menang? Lebih mirip arena off-road ketimbang jalan poros. Jalan Pedamaran Timur dan Air Sugihan? Aduh, jangankan dilewati mobil, kadang nyamuk pun mikir dua kali.
Makanya, Pak Bupati tak datang dengan tangan kosong. Beliau membawa daftar panjang permintaan yang bunyinya bukan “mau jalan-jalan”, tapi “mau jalannya dijalanin”, alias diperbaiki.
Tak hanya itu, beliau juga menyinggung soal GOR Perahu Kajang yang mulai lebih mirip gudang perahu, Stadion Segitiga Emas yang bentuknya masih segitiga tapi warnanya sudah karatan, dan Pasar Kayuagung yang perlu lebih dari sekadar semangat jual beli, tapi juga perlu sentuhan infrastruktur.
Menteri PUPR pun menanggapi dengan tenang, seperti dokter mendengar keluhan pasien langganan. Ia bilang, “Kami berkomitmen, meski anggaran kita seret seperti tali BH emak-emak zaman dulu, kita tetap akan upayakan pembangunan ini bertahap.” Wah, ini jawaban yang bikin hati adem, walau belum tentu bikin jalan jadi mulus secepat TikTok viral.
Tapi begitulah dunia pembangunan. Ia tak bisa didesak seperti mie instan. Ia butuh proses, negosiasi, dan tentunya… anggaran.
Pepatah bilang, “Kalau tak ada rotan, akar pun jadi.” Tapi dalam hal infrastruktur, kalau tak ada anggaran, ya jalan pun tetap berlubang. Untunglah ada bupati muda yang rajin “door to door”, dari kantor menteri ke rumah rakyat. Ini bukan sekadar pencitraan, tapi usaha konkret memperjuangkan daerah yang selama ini sering dapat jatah sabar.
Dan mari kita beri kredit juga buat Pak Ishak Mekki, politisi senior yang ibarat jembatan. Bukan jembatan ambruk, tapi jembatan koneksi. Kehadiran beliau seperti nasi dalam nasi goreng tanpa beliau, ya nggak jadi nasi goreng.
Pembangunan OKI ini ibarat memasak rendang. Butuh bahan, api yang pas, dan kesabaran. Tapi yang terpenting harus ada niat dan nyali. Jika pusat dan daerah bisa satu irama, bukan tidak mungkin OKI yang dulu dikenal dengan padi dan rawa-rawanya, bisa tampil dengan wajah baru jalan mulus, stadion kinclong, pasar rapi, dan masyarakat yang senang bukan karena dibagi sembako, tapi karena akses makin mudah.
Sudah saatnya pembangunan daerah tidak hanya jadi judul berita, tapi jadi cerita nyata di jalanan, pasar, dan stadion. Kalau pemerintah pusat terbatas anggarannya, mungkin bisa difasilitasi melalui skema pembiayaan kreatif, seperti KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha). Atau siapa tahu, ada CSR dari perusahaan sawit dan tambak yang berseliweran di OKI. Daripada hanya buat baliho ucapan lebaran, kan lebih bermanfaat kalau bikin jalan.
Toh, rakyat cuma minta satu “Kalau bisa jalan itu rata, jangan cuma janji yang mulus.”, muluskan jalan, bukan cuma kata-kata.[***]