Musik & Film

25 Tahun Wali, Ketika “Baik-Baik Sayang” Jadi Komoditas Ekspor Budaya

ist

Sumselterkini.co.id, Di sebuah ruangan dengan lampu remang elegan, hawa dingin yang menggigit tulang, dan suasana diplomatis yang tetap menyisakan ruang senyum, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar menyambut tamu istimewa  promotor musik WOW Indonesia, lengkap dengan dua personel band Wali ,Tomi dan Ovie yang tampak segar bugar, seperti baru saja selesai makan ketoprak berbonus sambel rawit sepuluh.

Pertemuan ini bukan sekadar basa-basi atau kirim salam di TikTok. Ini adalah momen sakral, semacam “lamaran budaya” antara pemerintah dan pelaku musik.

WOW Indonesia datang membawa kabar gembira konser 25 tahun Wali Band bakal digelar keliling Asia. Jepun, Taiwan, Hongkong, sampai Arab Saudi bakal kena getarannya. Tapi bukan cuma nyanyi-nyanyi. Ini hajatan. Hajatan beneran. Ada budaya, ada kolaborasi, dan ada Indonesia yang ingin unjuk gigi dengan cara yang unik lewat lirik dan goyangan.

Wamenekraf Irene menyambut dengan antusias, matanya berbinar seperti emak-emak yang nemu diskon panci tiga lapis di toko daring. “Kami di Kemenparekraf itu tugasnya kayak mak comblang. Mencarikan jodoh buat subsektor kreatif. Biar bisa kawin massal secara ekonomi maksudnya.”

Pernyataan itu tidak asal ceplos. Karena memang di balik satu konser musik, tersembunyi puluhan bahkan ratusan peluang ekonomi. Penata lampu, desainer panggung, pembuat kostum, pengrajin merchandise, content creator, sampai pedagang es kopi susu bisa ikut kecipratan rejeki. Kalau subsektor ini saling kolaborasi, maka konser Wali bukan cuma acara nostalgia, tapi bisa jadi motor penggerak ekonomi kreatif yang berbunyi nyaring brum-brum cuan!.

Sepanjang tahun 2024 saja, subsektor musik menyumbang Rp6,6 triliun ke PDB dan menyerap lebih dari 70 ribu tenaga kerja. Ini bukan angka main-main. Setelah pandemi membuat industri konser seperti taman hiburan tanpa pengunjung, kini panggung-panggung kembali gemerlap. Stream naik, penonton berdansa lagi, dan celengan ekonomi mulai terisi.

Siapa sangka, band yang dulu digandrungi emak-emak kompleks dan remaja yang baru belajar move on, kini jadi wajah ekspor budaya. Konser Wali Tour Asia tidak hanya menjual lagu-lagu seperti “Baik-Baik Sayang” atau “Cari Jodoh”, tapi juga menjual rasa Indonesia.

Konsep ‘hajatan’ yang mereka usung bukan gimmick. Ini adalah jembatan budaya. Video klip Wali sudah sejak lama menampilkan ke-Indonesiaan yang otentik dari setting kampung, baju koko, hingga kisah cinta yang sederhana dan menyentuh.

Deputi Bidang Kreativitas Media, Agustini Rahayu, juga melihat peluang besar dari konser ini. “Kalau kita kolaborasikan konser dengan kekayaan intelektual (IP) lokal, kita bisa jual merchandise rasa lokal kaos bermotif batik, totebag bertema pelaminan, sampai miniatur panggung berbentuk rumah adat. Dan itu bisa masuk pasar ekspor.”

Bayangkan konser di Jepang dengan backdrop rumah Joglo, di Hongkong dengan sound check ditemani aroma rendang, atau di Arab Saudi penonton disambut dengan musik pembuka “Yank” versi dangdut padang pasir. Ini bukan konser, ini parade diplomasi budaya. Dan KBRI bisa ikut gerak. Siapa tahu Dubes RI di Jepang mendadak ikutan main gitar di encore.

Coba tengok Korea Selatan sudah membuktikan  K-pop bukan cuma soal boyband. Tapi tentang budaya yang dijual paket lengkap. BTS menjual musik, kosmetik, fashion, bahkan kimchi. Mereka bikin budaya Korea merasuki dunia. Jepang juga begitu. Anime dan J-pop sukses menarik wisatawan, penonton, bahkan penggemar cosplay ke seluruh dunia.

Wali Band punya cerita yang dekat dengan rakyat. Mereka adalah bukti bahwa musik bisa menembus sekat sosial, melampaui batas usia, dan menjangkau hati dari desa hingga diaspora. Dengan dukungan pemerintah dan konsep kreatif yang tepat, konser ini bisa jadi sarana ekspor budaya yang lebih murah dari kirim kapal tapi lebih nendang dari iklan TV.

Dua personel Wali yang hadir, Tomi dan Ovie, tak bisa menyembunyikan rasa syukurnya. Ini bukan hanya soal konser. Ini soal “pulang” ke rumah besar ekonomi kreatif. “Kami ini sekarang udah punya orang tua. Kemenparekraf jadi rumah kami. Kami datang bukan cuma untuk izin konser, tapi juga untuk sowan. Dan alhamdulillah, kami disambut, diarahkan, bahkan ditawari kolaborasi. Ini luar biasa.”

Kalimat yang menyentuh. Karena selama ini banyak seniman merasa berjalan sendiri, bertarung di jalanan industri kreatif dengan modal nekat dan semangat yang kadang kempes di tengah jalan. Kini, mereka merasa ada sandaran. Ada rumah. Ada pemerintah yang bukan cuma ngatur, tapi juga mendukung.

Konser 25 Tahun Wali Tour Asia adalah bukti bahwa musik bisa menjadi jembatan ekonomi. Hajatan budaya ini bukan sekadar nostalgia. Ia adalah platform kolaborasi lintas subsektor musik, fesyen, kriya, kuliner, hingga teknologi digital. Ini juga adalah momentum pembuktian Indonesia tidak kekurangan kreativitas, hanya butuh lebih banyak panggung dan dukungan.

Jika digarap maksimal, konser ini bisa menjadi gerakan budaya, seperti ‘hajatan keliling dunia’ yang membawa serta nasi kuning, cendol, dan irama Indonesia. Bukan cuma menghibur diaspora, tapi juga membuka mata dunia bahwa Indonesia tak hanya punya alam yang indah, tapi juga budaya pop yang menggoda.

Jadi, mari  sambut konser Wali ini bukan sekadar tur musik, tapi sebagai “Tour Ekraf Nusantara” dengan sentuhan ekspor quality dan semangat gotong royong subsektor kreatif, karena di balik panggung yang gemerlap, ada harapan, ada kerja sama, dan ada Indonesia yang berdendang dalam nada-nada optimisme.[***]

Terpopuler

To Top