Sumselterkini.co.id,- “Bu, ini jilbab saya miring ya?” bisik Bu Eni ke Bu Yanti, sambil panik mengelus-elus kerudungnya yang sejak tadi memang condong ke barat daya.
“Miring dikit sih, tapi yang penting hati lurus, Bu,” jawab Bu Yanti sambil ngikik, nahan ketawa karena kerudungnya sendiri udah kayak sarung digulung di kepala.
Hari itu, suasana Masjid Al Abduh di Jalan Sumarma berubah jadi lautan warna pastel. Ibu-ibu dari Komunitas Ibu Peduli Generasi Muda dan kelompok pengajian Kecamatan Sematang Borang tumplek blek bahkan sandal jepit pun harus antre di luar. Ada yang datang sambil gendong anak, ada juga yang sambil nyuapin cucu bubur kacang ijo di depan gerbang masjid. Pokoknya, kalau ada lomba “Datang ke Pengajian Paling Heboh,” Palembang udah pasti juara umum.
Ketua TP PKK Kota Palembang, Dewi Sastrani Ratu Dewa, hadir dengan senyum secerah lampu taman baru disemir. Beliau datang bukan sekadar bersalaman, tapi juga ngajak silaturahmi sambil mengingatkan Ramadan udah lewat, tapi iman jangan ikutan lewat.
“Bu-ibu, silaturahmi ini kayak mie instan kalau sering diseduh, makin enak. Tapi kalau dibiarkan dingin, ya hambar. Maka itu, ayo terus diseduh! Eh maksud saya, dijaga!” katanya, bikin ibu-ibu ngakak sampai ada yang nyenggol panci bubur kacang.
Bu Dewi juga menyampaikan bahwa suaminya, Pak Wali Kota alias Ratu Dewa, sudah me-launching program pengajian di setiap kelurahan. “Jadi bukan cuma lurah yang aktif, tapi ibu-ibu juga harus lebih aktif dari alarm subuh,” ucapnya.
Sementara itu, di belakang, Bu Lela sibuk ngelap keringat pakai mukena karena kipas angin masjid lebih banyak muter ke arah tembok daripada ke arah jamaah. “Kalau tahu bakal sepanas ini, aku bawa kipas lipet, bukan kipas undangan,” gerutunya pelan sambil melempar pandang penuh harap ke kipas langit-langit.
Sesi ceramah diisi oleh ustadzah yang suaranya halus tapi tembus ke hati. Topiknya tentang menjaga ketaqwaan pasca lebaran. “Ibu-ibu, jangan sampai Ramadan pergi, iman ikut pergi. Ramadan itu kayak charger, tapi iman itu baterai. Jangan langsung lowbat setelah Idul Fitri,” kata sang ustadzah sambil senyum lembut, kayak teh manis anget habis hujan.
Di akhir acara, Bu Dewi kembali ambil mic, dan dengan gaya penuh semangat khas emak-emak kalau lagi rebutan diskon di toko, beliau mengajak ibu-ibu buat nggak cuma aktif ikut pengajian, tapi juga ngajak anak-anak muda buat ikut.
“Nanti kita adakan pengajian untuk anak-anak muda, biar mereka nggak cuma hafal lagu Korea, tapi juga hafal surat Ar-Rahman,” katanya disambut tepuk tangan dan sorak, “Aamiin, ya Allah!”
Acara ditutup dengan foto bersama yang lebih rame dari antrean sembako. Ibu-ibu berdiri berlapis-lapis kayak lemper isi dua. Ada yang nyengir, ada yang sok serius, dan ada juga yang sibuk nyari angle biar pipinya keliatan tirus walau kenyataannya kayak onde-onde isi kacang.
Hari itu, Masjid Al Abduh bukan cuma jadi tempat pengajian, tapi juga jadi arena tawa, doa, dan semangat untuk terus merawat generasi dari yang masih ngempeng sampai yang udah khatam ngaji. Dan siapa sangka, dari kerudung miring dan kipas angin galak, lahir semangat untuk menjadikan Palembang bukan cuma kota pempek, tapi juga kota pengajian yang bikin adem hati.
Kalau silaturahmi itu ibarat sayur lodeh, maka acara ini adalah santannya yang bikin rasa makin gurih dan suasana makin hangat.[***]