Sumselterkini.co.id, – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, bahkanserba digital ini, distraksi digital semakin mendominasi, di mana tangan lebih sering pegang gadget daripada mushaf.
Namun ada satu pemandangan yang bikin adem hati. Sejak pagi hingga sore, ratusan peserta duduk bersila di Masjid Al Rai-yah, mushaf di tangan, ayat-ayat suci mengalun dari bibir mereka. Mereka lagi ikut Dauman Ma’al Qur’an, tantangan baca 8 juz dalam 8 jam. Kedengerannya berat? Buat mereka yang udah cinta sama Al-Qur’an, ini bukan sekadar baca, ini perjalanan spiritual yang bikin hati makin dekat sama Tuhan serta perjalanan spiritual yang mendalam.
Menghafal Al-Qur’an bukan sekadar tentang mengulang ayat demi ayat hingga melekat di ingatan. Di balik setiap hafalan, ada perjalanan panjang, ada air mata perjuangan, ada rindu yang mendalam pada firman Ilahi. Namun, ada satu pertanyaan yang sering muncul—apakah cukup dengan hanya menghafal? Atau lebih dari itu, pemahaman terhadap makna ayat-ayat suci juga harus menjadi prioritas?
Tradisi menghafal Al-Qur’an sudah berlangsung selama berabad-abad. Dari era para sahabat hingga zaman sekarang, para penghafal atau huffaz selalu mendapat tempat istimewa dalam masyarakat. Namun, di balik keutamaan hafalan, ada tantangan besar yang sering terabaikan bagaimana memastikan hafalan itu tidak hanya menjadi sekumpulan ayat yang terucap tanpa makna?
Di sela-sela acara, beberapa peserta berbagi kisah mereka. Ada yang telah menghafal 5 juz dalam waktu singkat, ada pula yang hampir menyelesaikan 30 juz.
Biasanya dilema yang kerap muncul dalam dunia tahfidz. Banyak yang mengejar target hafalan tanpa benar-benar memahami isi ayat yang mereka lantunkan. Padahal, Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, ia adalah pedoman hidup yang harus dipahami dan diamalkan.
Kegiatan seperti Dauman Ma’al Qur’an tentu menjadi sarana luar biasa untuk mendekatkan umat pada Al-Qur’an. Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa tradisi tahfidz ini tidak hanya melahirkan para penghafal, tetapi juga pemikir, ulama, dan masyarakat yang mampu mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya untuk menghidupkan Al-Qur’an di tengah masyarakat perlu diarahkan pada keseimbangan antara hafalan dan pemahaman. Seorang hafidz tidak hanya dituntut untuk menjaga ayat-ayat dalam ingatan, tetapi juga dalam perbuatan. Karena pada akhirnya, yang terpenting bukanlah seberapa banyak juz yang dihafal, tetapi sejauh mana Al-Qur’an meresap dalam hati dan mengubah karakter seseorang.
Ketika Al-Qur’an hanya dihafal tanpa dipahami, maka ia bisa kehilangan ruhnya. Sebaliknya, ketika hafalan disertai dengan pemahaman, maka Al-Qur’an akan menjadi cahaya yang menerangi kehidupan. Inilah tantangan sekaligus harapan bagi setiap muslim—menjadikan Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, tetapi juga pedoman hidup yang sesungguhnya.
Sebelumnya Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menghadiri Lembaga Qur’an Bina Ilmi yang telah menggagas Dauman Ma’al Qur’an Tilawah Al Qur’an selamah 8 jam 8 juz. Kegiatan menjadi benteng moril umat muslim, untuk mengaja daripada kegiatan yang tidak ada manfaatnya.
“Kegiatan 8 jam 8 juz ini mengajak umat muslim Kota Palembang selama 8 jam lebih dekat dengan Al Quran. Saya apresiasi acara ini agar ini dijadikan epicentrum, untuk menjagak yang lain mempunyai benteng terakhir kita yakni agama,” Katanya saat menghadiri Dauman Ma’al Al Qur’an di Masjid Al Rai-yah, pada Minggu (23/3/2025).[***]
