Sumselterkini.co.id,- Di sebuah desa kecil di pelosok Sulawesi Selatan, tepatnya di Desa Bontosomba, sebuah ajaran kontroversial tiba-tiba mencuat ke permukaan. Seorang perempuan bernama Petta Bau (56) mengaku menerima wahyu melalui mimpi dan mulai menyebarkan keyakinan yang berbeda dari ajaran Islam yang umum dipahami. Ia memperkenalkan konsep rukun Islam yang berjumlah 11 serta menyatakan bahwa ibadah haji tidak perlu ke Mekah, melainkan cukup dilakukan di Gunung Bawakaraeng.
Ajaran ini sontak menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat setempat. Bukan hanya karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, tetapi juga karena cara penyebarannya yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Meski pernah berjanji menghentikan kegiatannya, laporan terbaru menunjukkan bahwa Petta Bau masih terus mengajarkan keyakinannya kepada sejumlah pengikutnya. Fenomena ini pun menarik perhatian banyak pihak, mulai dari tokoh agama, pemerintah daerah, hingga aparat penegak hukum.
Kasus seperti Petta Bau bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan yang masih kuat dengan unsur mistik dan kearifan lokal. Masyarakat di daerah seperti ini kerap menggabungkan ajaran agama dengan kepercayaan tradisional, menciptakan sinkretisme yang sulit untuk dikategorikan secara hitam-putih.
Di banyak komunitas terpencil, akses terhadap pendidikan agama yang formal masih terbatas. Hal ini menyebabkan banyak individu membangun keyakinannya berdasarkan pengalaman pribadi, mimpi, atau bahkan cerita turun-temurun. Dalam kasus Petta Bau, faktor pendidikan yang rendah juga berperan besar. Diketahui bahwa ia tidak memiliki latar belakang pendidikan agama yang mendalam dan bahkan tidak bisa membaca. Namun, hal ini justru membuatnya semakin meyakini bahwa ilmu yang ia dapatkan adalah ‘anugerah’ yang datang langsung dari dunia spiritual.
Ketika ajaran ini mulai meresahkan, Kementerian Agama segera turun tangan. Bersama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), aparat kepolisian, dan pemerintah setempat, mereka melakukan pendekatan persuasif terhadap Petta Bau dan para pengikutnya. Investigasi yang dilakukan menemukan bahwa ajaran tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dalam Islam. Bahkan, saat diminta menjelaskan konsep rukun Islam yang ia ajarkan, Petta Bau tidak mampu memberikan jawaban yang logis atau ilmiah.
Pemerintah setempat pun menghadapi dilema, apakah harus mengambil tindakan tegas atau menggunakan pendekatan pembinaan? Dalam kasus-kasus seperti ini, tindakan represif bisa saja memicu perlawanan dan memperkuat keyakinan para pengikutnya. Oleh karena itu, pendekatan edukatif menjadi pilihan utama. Pembinaan tidak hanya ditujukan kepada Petta Bau, tetapi juga kepada masyarakat sekitar agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh ajaran-ajaran serupa.
Jika ditarik ke perspektif yang lebih luas, fenomena seperti ini bukan sekadar ‘ajaran sesat’ yang harus diberantas, melainkan juga cerminan dari pencarian makna spiritual di tengah masyarakat yang haus akan bimbingan. Dalam banyak kasus, ajaran-ajaran seperti ini muncul sebagai respons terhadap kegelisahan sosial, ketidakpuasan terhadap sistem keagamaan yang ada, atau sekadar upaya mencari identitas di tengah perubahan zaman.
Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dan tokoh agama harus lebih dari sekadar membatasi atau melarang. Lebih dari itu, diperlukan program pembinaan yang berkelanjutan, peningkatan literasi keagamaan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat agar tidak mudah terjerumus dalam ajaran yang tidak memiliki landasan kuat.
Kasus Petta Bau di Desa Bontosomba memberi pelajaran penting tentang bagaimana kepercayaan berkembang di tengah keterbatasan akses terhadap ilmu pengetahuan. Selama masih ada celah dalam pemahaman agama serta kuatnya unsur mistik dalam budaya setempat, fenomena serupa akan terus muncul. Oleh karena itu, solusi jangka panjang tidak hanya sekadar membubarkan ajaran yang dianggap menyimpang, tetapi juga memastikan masyarakat memiliki pemahaman agama yang lebih kokoh dan rasional.
Pemerintah, tokoh agama, serta lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam membangun ketahanan keagamaan masyarakat. Dengan pendekatan yang tepat, masyarakat tidak hanya mendapatkan pemahaman agama yang benar, tetapi juga memiliki kemampuan berpikir kritis terhadap ajaran-ajaran yang berpotensi menyesatkan.
Kasus ini bukan hanya tentang Petta Bau dan ajarannya, tetapi juga tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat, dapat memastikan bahwa keyakinan dan spiritualitas berkembang dalam koridor yang sehat dan mencerdaskan.
Respon kasus
Sebelumnya Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah Kementerian Agama, Arsad Hidayat, mengatakan, Kemenag telah membentuk Tim Deteksi Dini dan Penanganan Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan di tingkat kecamatan, termasuk Kecamatan Tompobulu. Tim ini telah merespons kasus tersebut dan melakukan penanganan dengan menggandeng Ormas keagamaan Islam, aparat penegak hukum, dan lintas sektoral lainnya.
Untuk itu, Arsad mengapresiasi kesigapan Kepala KUA Tompobulu dan lintas sektoral lainnya. “Tim pencegahan diharapkan bisa segera merespons setiap peristiwa atau gejala konflik sosial yang terjadi di daerahnya. Tim ini juga diharapkan terus bersinergi dengan Ormas keagamaan Islam setempat dan stakeholder lainnya,” ujar Arsad kepada media, Minggu (9/3/2025).
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Tompobulu, Danial, yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Deteksi Dini dan Penanganan Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan menjelaskan, ajaran Petta Bau ini pernah muncul pada Oktober 2024. Saat itu, KUA bersama pemangku wewenang lainnya bergerak cepat meredam keresahan. Ia mengatakan, pihaknya telah melakukan investigasi dan pendampingan setelah menerima laporan dari masyarakat. “Pada 15 Oktober 2024, kami menerima laporan terkait aktivitas ajaran ini, yang cukup meresahkan warga. Pada 16 Oktober 2024, kami melakukan investigasi dan menemukan bahwa ajaran ini tidak memiliki dasar yang jelas dalam Islam. Bahkan, pimpinan ajaran, Petta Bau, tidak dapat menjelaskan ajarannya secara ilmiah maupun teologis,” ujar Danial.
Petta Bau mengaku memperoleh ajaran tersebut melalui mimpi dan menyatakan bahwa ia diajari oleh Nabi Khidir. Namun, saat diminta menjelaskan rukun Islam, ia tidak dapat memberi jawaban yang benar.
Selain itu, diketahui bahwa Petta Bau memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan tidak bisa membaca. Pada Oktober 2024, Petta Bau telah berjanji untuk tidak lagi menyebarkan ajarannya. Namun, informasi terbaru pada Maret 2025 menunjukkan bahwa ia tetap melanjutkan aktivitasnya secara diam-diam. Menindaklanjuti hal ini, KUA Tompobulu bersama Polsek Tompobulu, Kesbangpol, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Maros, serta pemerintah Desa Bontosomba segera mengambil langkah-langkah penanganan.
“Kami akan memastikan Petta Bau dan para pengikutnya akan mendapatkan pembinaan,berkoordinasi dengan MUI dan Ormas Keagamaan Islam lainnya untuk membina mereka. Sebab, bisa jadi kemunculan dan penyebaran ajaran ini disebabkan oleh lemahnya pemahaman agama mereka,” tegas Danial.[***]
