SUMSELTERKINI.ID, Palangkaraya – Penanganan ataupun pemeriksaan perkara delik pers, majelis hakim hendaknya meminta keterangan ahli dari dewan pers.
Demikian antara lain dikemukakan Hakim Mahkamah Agung, Dr Andi Samsan Nganro saat menjadi pemateri Pelatihan Ahli Pers Nasional Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Palangka Raya, Rabu (4/7/2018). Acara pelatihan Ahli Pers Nasional selama dua hari penuh itu diikuti 40 peserta yang berasal dari pengurus dan anggota Dewan Kehormatan PWI seluruh Indonesia.
Ketentuan ini, menurut Andi, sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 13 Tahun 2008. Siapa ahli pers dimaksud, menurutnya, “tidak harus dari ketua atau anggota Dewan Pers yang berkedudukan di Jakarta. Tetapi dapat saja orang atau ahli dari luar Dewan Pers yang ditunjuk oleh Dewan Pers karena mempunyai keahlian atau mempunyai kompetensi di bidang pers,” jelasnya.
Hakim Andi memaparkan bahwa isi pokok dari SEMA No.13 Tahun 2018 tertanggal 30 Desember 2008, dalam penanganan atau pemeriksaan perkara yang terkait dengan delik pers hendaknya majelis mendengar/meminta keterangan ahli dari Dewan Pers.
“Mengapa diharapkan meminta keterangan ahli, karena mereka inilah yang mengetahui seluk beluk pers secara teori dan praktik,” kata Hakim Agung ini.
Hakim Agung Andi Samsan bahkan mengingatkan, perkara pidana yang diadukan atas pemberitaan pers, sebaiknya sejak tingkat penyidikan sudah perlu didengar keterangan ahli dari Dewan Pers. “Gunanya, untuk menentukan apakah kasus a guo murni kasus etik yang in casu merupakan wilayah kewenangan Dewan Pers atau memang kasus tersebut berpotensi adanya pelanggaran hukum,” tambahnya.
Menurut dia, kasus-kasus sengketa pers yang sering terjadi adalah sengketa akibat pemberitaan yang dilakukan oleh sebuah penerbitan pers.
Dia mencontohkan sengketa pers itu berupa pencemaran nama baik, akibat kesalahan pemberitaan, atau pemberitaan yang melanggar kode etik.
Sengketa pencemaran nama baik, menurutnya, bisa terjadi akibat kesalahan pemberitaan di media pers. Misalnya, media memberitakan bahwa PT X mengeluarkan produk yang mencemarkan kingkungan. Padahal dalam kenyataannya, produk PT X selalu yang terbaik di pasar dan memberikan kontribusi besar bagi peningkatan pendapatan masyarakat. “Kenyataan ini menunjukkan bawha media pers telah melakukan kekeliaruan/kesalahan dalam hal isi pemberitaan mengenai PT X. Hal ini bisa menimbulkan sengketa antara pemilik usaha tersebut dengan pihak pers,” urainya.
Dalam kasus seperti ini. sebenarnya jika orang/pihak yang terkena berita dan merasa dirugikan mau menggunakan hak jawab atau hak koreksi, tentu tidak akan timbul ekses terjadinya sengketa pers. Sayangnya tidak jarang orang atau pihak yag merasa dirugikan enggan atau bahkan tak mau menggunakan hak jawab atau hak koreksi, melainkan cenderung menempuh jalur hukum untuk memulihkan kerugian yang dialami, baik melalui jalur pidana ataupun perdata.
Contoh lain, lanjutnya, pers dalam menjalankan tugas urnalistiknya tidak terlepas dari kekeliruan, kekurangakuratan atau bahkan kesalahan dalam membuat dan menurunkan berita. Tekait ini, tidak jarang diselesaikan melalui hak jawab atau hak koreksi , baik atas kesadaran sendiri dari pers maupun atas permintaan pihak yang dirugikan. Ada pula yang cenderung memilih jalur hukum. “Karena mereka (yang dirugikan) merasa telah dicemarkan nama baik dan reputasasinya,” tambahnya.
Di luar itu, tuturnya, ada juga sengketa akibat pemberitaan yang melanggar kode etik. “Contoh konkritnya pemaparan berita tanpa konfirmasi ke narasumber berita. Yang seperti ini, tentu melanggar kode etik. Dewan Pers adalah lembaga independen yang salah satu fungsinya menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik, Karenanya, persoalan seperti ini, mestiya diselesaikan oleh Dewan Pers,”urainya.[sir]