“Semua orang seperti domba di media social, seperti satu orang mulai membuat keributan, dan semua orang seperti: “ Hei, Iya!” dan kemudian ada banyak orang yang membuat keributan padamu. Ketika berbicara tentang media social, ada kalanya aku mematikan dunia, kamu tahu, kadang-kadang kamu harus memberi diri ruang untuk diam. Menurutku harus ada regulasi di media social sejauh itu berdampak negatif pada kepentingan public, ada banyak hal negatif di media social. Media social bukanlah tempat yang aman”.
Perkembangan teknologi menggiring berkembangnya alat komunikasi jarak jauh, cepat,dan aman, yaitu aplikasi media sosial dengan berbagai macam bentuk aplikasi yang sudah di sediakan dan bisa di akses melalui laptop dan gadget. Aplikasi nya yaitu: facebook, Instagram, twitter, dll. Tentunya selain mempermudah diri kita untuk berkomukasi dengan orang jauh, medsos juga bisa menjadi tempat yang tidak menutup kemungkinan medsos menjadi ladang konflik politik yang ada di negara kita, bahkan banyak orang yang mengkambing hitamkan media social ini untuk mencari sensasi, menimbulkan kesalahpahaman, keributan yang berujung konflik yang akan menggemparkan lalu viral.
Seperti tidak etis bukan? cara untuk terkenal. Ironisnya banyak orang yang langsung percaya aja sebuah berita yang sedang viral di medsos lalu mereka menyebarkan berita tersebut dari satu orang ke banyak orang, sehingga berita tersebut jadi booming dan banyak di perbincangkan. Padahal belum tentu berita itu benar adanya. Contoh pada bulan-bulan lalu yang hangat di perbincangkan yaitu masalah covid-19 yang pada saat itu lagi sedang melonjak-lonjaknya, nah banyak orang yang menggunakan kasus covid-19 tersebut untuk mencari sensasi, perhatian public. Yang seperti apa? Banyak orang yang berspekulasi atau berasumsi bahwa angka covid-19 itu adalah “ permainan politik” agar dana covid- 19 itu terus turun sehingga banyak orang yang menggunakan kasus covid ini pada saat itu sebagai kambing hitam mereka, untuk mendapatkan dana bantuan dari pemerintah. Dan berita itu dikuak ternyata memang ada yang seperti itu menipu ( meng-adakan sesuatu yang tidak ada).
kasus ini banyak terjadi di perdesaan mereka sengaja mengaku-ngaku terkena covid dengan alasan mereka merasakan gejala-gejalanya agar mereka dibawa ketempat isoman covid-19 karna kan yang terkena covid-19 dan ketangkep itu akan dapat bantuan dana dari pemerintah. Dan juga ada lagi di rumah sakit yang pasiennya itu meninggal dan dinyatakan meninggal karna covid-19 padahal orang tersebut meninggal karna penyakit jantung, nah dari kasus ini jadi yakin kalau melonjaknya angka covid itu dibelakang ada permaianan politik agar terus melonjak dan rame di perbincangkan oleh masyarakat dan membuat masyarakat jadi takut. Jadi kita sempat berfikiran bahwa ”sebenarnya ada ngga sih covid-19 ini?” jadikan angka covid-19 waktu itu terus di update di berbagai jaringan medsos setiap hari, terus melonjak angka positif terkena covid-19 dan meninggal karna covid. Banyak juga orang yang menyebarkan hoax tentang covid ini di medsos untuk apa mereka berbuat seperti itu? Iyaa agar timbullah sebuah keramaian, viral di medsos dan “terjadilah konflik politik “. Dan itu menjadi salah satu alassan kenapa pada zaman sekarang politik itu dianggap kotor oleh masyarakat,
padahal dulu politik inilah yang membantu masyarakat untuk menyelesaikan sebuah masalah namun adanya pada era sekarang dengan adanya perkembangan teknologi penggunanya yang membuat politik ini buruk di mata masyarakat. Keras bukan perkembangan teknologi sekarang ini? Ya seperti itulah adanya
Perlukah kita memiliki rambu-rambu yang perlu dipegang oleh para peselancar di medsos? Hal ini terkait masalah melek media (media literacy). Indonesia masuk di lima besar pengguna medsos terbesar, pasar besar pengguna smartphone, negara paling riuh di medsos. Tapi harus dikatakan juga Indonesia adalah negara dimana penduduknya ini mudah tertipu oleh berita di medsos. Sebagian besar adalah mereka para korban crazy rich karena mengkonsumsi medsos tanpa kekritisan. Kritis dan melek media itu perlu dan harus jeli. Itulah yang dibutuhkan saat ini. Tapi disamping itu pada zaman sekarang juga kekritisan dianggap seperti tidak cinta negeri. Kekritisan akan didengar jika yang mengkritis itu sejajar dengan yang di kritis, lalu rakyat kecil bagaimana? Ya tidak akan di gubris karna derajat nya beda. Lucu bukan negara kita? Ya mau heran tapi inilah Indonesia.
Banyak orang yang menyebarkan berita hoax untuk kericuhan yang menimbulkan konflik politik itu “demi konten” yang menghasilkan hutan belantara medsos seperti labirin yang tak bertepi. Dengan kekritisan dan literasai media, kita bisa tetap waras. Lewat nafsu demi konten penyebar berita hoax sedikit banyak telah menyebarluaskan kebodohan dan mimpi-mimpi tidak jelas ke masyarakat. Kita butuh pembuat konten yang mencerahkan dan mendidik. Bukan malah yang bikin konten dengan tujuan ingin viral, cari sensasi dan perhatian public, merepotkan banyak orang, yang akhirnya menimbulkan konflik politik di negara kita.
“Jangan Sampai Jempolmu, Jadi Harimaumu”
Media social dapat membentuk persepsi dan mendesain ulang masyrakat. Ia dapat meningkatkan sensitivitas dan dapat mengeraskan reaksi dalam masyarakat. Apa pun dapat berubah menjadi kenyataan melalui media social dan masyarakat dapat menjadi bagian dari simulasi ini. Media social, pemeberontakan dan perang saudara, menyoroti kekuatan menipulasi di media social, kekritikan dianggap menyatakan konflik internal, polarisasi, social dan radikalisme. Konten yang bersifat manipulative terutama tentang isu-isu sensitive dan kontrversial yang menimbulkan konflik politik di masyarakat, menyebabakan perselisihan dan konflik di platfrom virtual.
masalah ini timbulnya di dunia nyata. Karena konten palsu yang menyebar di medsos itu menjadi sebuah peperangan antar negara, dan masyarakat atau di antara berbagai kelompok masyarakat juga sudah pasti bisa. Bahkan jika kebenaran terungkap, sangat sulit juga untuk mematahkan persepsi salah atau kesalahpahaman. Karena orang ingin mendukung sesuatu yang mencerminkan pendapat mereka sendiri. Nah situasi ini juga menyebabakan adanya penurunanan kemampuan mempertanyakan orang. oleh karena itu, sebenarnya asal muasal kekacauan itu terjadi di picu oleh masyarakat. Negara kita telah menggunakan media social secara luas untuk metode perang psikologis, seperti kampanye kotor dan propaganda dan untuk mengambil intelijen instan dari area operasi. Masyarakat harus diajarkan literasi media digital untuk meningkatkan kesadaran terhadap media social saat ini digunakan sebagai alat yang efektif.
“BIJAK DALAM BER-MEDIA SOSIAL”
Ber-sosial media adalah hak setiap orang, namun menjaga sikap adalah hal yang utama. Karena semua berasal dari diri sendiri, maka dari itu Kelola diri agar tidak merugi apalagi sampai merugikan pihak lain
Penulis :Adinda Nada Aulia Prastia
Mahasiswi Prodi Ilmu Politik
FISIP UIN Raden Fatah Palembang