DIREKTORAT Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama mengintegrasikan sistem pendaftaran pesantren. Proses ini sudah mulai disosialisasikan kepada operator sistem layanan berbasis digital yang dikelola Kemenag, pusat hingga daerah.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Waryono Abdul Ghofur mengatakan Kementerian Agama di bawah Kepemimpinan Menteri Yaqut Cholil Qoumas senantiasa mendorong transformasi layanan umat agar semakin baik dan efisien. Untuk itu, integrasi sistem layanan pendaftaran menjadi penting.
“Perbaikan, (sebagaimana) yang didorong pak Menteri yakni transformasi pelayanan umat, artinya kita semua dituntut melakukan langkah-langkah inovatif agar apa yang dikerjakan memberi legasi dan manfaat dalam jangka panjang,” ujar Waryono saat membuka Workshop Peningkatan Layanan Pendaftaran Keberadaan Pesantren Terintegrasi di Bandung, Rabu (2/3/2022).
Workshop angkatan pertama ini pelaksana sistem ditingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota se-wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.
Selain sosialisasi, workshop digelar sekaligus untuk menggali masukan dari para operator terkait sistem integrasi yang dikembangkan. Menurut Waryono, sebelum terbit Undang-undang Pesantren, ijin operasional (Ijop) pesantren dikeluarkan oleh Kankemenag Kabupaten/Kota. Setiap Kankemenag juga memiliki format yang berbeda-beda.
“Bahkan ada Ijop yang ditandatangani bukan oleh Kepala Kemenag, tapi Kepala Seksi Pesantren,” tuturnya.
Setelah era UU Pesantren, lanjut Waryono, serta berdasarkan PMA No 30 tahun 2020, Ijop berganti nama menjadi tanda daftar pesantren. Pesantren yang ingin mendaftarkan lembaganya harus melalui aplikasi SITREN (sistem tanda daftar pesantren) yang ditandatangani oleh Dirjen Pendis.
Selain itu, sebelum UU Pesantren, ijop berlaku selama lima tahun dan harus didaftarkan kembali setelah habis masa berlakunya. Pasca UU Pesantren, masa berlaku izin pesantren seumur hidup.
“Pesantren hanya bisa dibubarkan jika bertentangan dengan kaidah-kaidah berbangsa dan bernegara. Atau, salah satu rukun pesantren sudah tidak terpenuhi lagi, misalnya sudah tidak ada santrinya,” papar Waryono.
Lebih jauh, Waryono meminta pelaksana di daerah dapat melakukan monitoring terhadap lembaga yang melakukan proses pendaftaran serta menegakkan regulasi Pesantren dan regulasi pendidikan keagamaan Islam pada aspek pendirian serta penyelenggaraan Pesantren. Hal itu dalam rangka mendukung terbangunnya lembaga pendidikan Islam yang baik dan berkualitas, sekaligus menghindari potensi masalah yang mungkin muncul.
Kepala Subdirektorat Pendidikan Pesantren, Basnang Said mengatakan antusiasme masyarakat dalam pendirian Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Islam semakin meningkat. Seperti di Jawa Barat, berdasarkan data yang dihimpun Kanwil Kemenag Jabar, tidak kurang dari 14.000 pesantren telah beroperasi. Namun, baru sekitar 11.000 yang mendaftarkan lembaganya secara resmi.
“Oleh karena itu, workshop peningkatan layanan pesantren terintegrasi ini kita laksanakan di Jawa Barat terlebih dahulu,” kata Basnang Said.
Dikatakan Basnang Said, saat ini layanan pengajuan Ijin Operasional Pondok Pesantren sudah sepenuhnya berbasis digital. Sehingga tidak lagi mengharuskan lembaga yang mengajukan untuk datang langsung ke kantor Kementerian Agama saat mengurus ijin operasionalnya.[***]