SEPULUH tahun sudah warga Kab. Batang, Jawa Tengah memperjuangkan hak hidup di tanah mereka. Di bawah bayang-bayang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), warga yang dulunya bisa hidup berkecukupan dengan melaut dan bertani kini harus menanggung pedih.
Berdasarkan laporan Mongabay tahun 2016, diketahui proyek raksasa PLTU ini berada di atas 226 hektar lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis 124,5 hektar, perkebunan melati 20 hektar, serta sawah tadah hujan.
Lahan pertanian milik petani seperti Mbah Khomaedi, contohnya, tiba-tiba ditutup rapat dengan seng sepanjang lima kilometer oleh PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) untuk proyek PLTU ini. Sebagai satu-satunya sumber penghasilan, Mbah Khomaedi harus mencari celah dari irigasi agar bisa masuk lahannya demi menyambung hidup.
Kini celah itu sudah ditutup, Mbah Khomaedi kehilangan sumber penghasilan untuk menghidupi keluarganya.
Belum lagi lokasinya yang berada di perairan paling kaya ikan di Pulau Jawa. Semenjak dimulai pembangunan PLTU di Batang, nelayan seperti Mbah Saheri semakin sulit mencari ikan karena wilayah tangkapnya kini dikuasai oleh PLTU. Tidak jarang hasil tangkapannya bercampur dengan bongkahan batubara.
Kisah sedih ini belum akan berakhir jika pemerintah lanjut dengan rencana mengoperasikan penuh PLTU Batang di tahun 2022. Malah akan lebih parah.
Proses pengoperasian PLTU membutuhkan banyak air dan limbahnya pun akan dibuang kembali ke laut. Kerusakan laut adalah ancaman nyata proyek ini dan perampasan lahan sudah terjadi dalam 10 tahun terakhir.
Mereka melawan, mereka tidak diam. Warga Batang sudah pernah bersuara hingga Semarang dan Ibukota. Sayangnya bukan perubahan yang mereka dapatkan, tapi justru intimidasi, ancaman kriminalisasi, serta adu domba dari pihak yang diuntungkan oleh proyek ini.
Ikuti kilas balik perjuangan warga Batang dalam 10 tahun terakhir melalui Instagram kami.
Apa yang diperjuangkan warga Batang bukan semata-mata untuk hidup mereka. Ingatkah kamu kalau pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara adalah penyebab terbesar Krisis Iklim?
Ketika laporan demi laporan dikeluarkan tentang pentingnya segera bertindak untuk mengurangi dampak Krisis Iklim, Indonesia seperti berada di dunianya sendiri. Proyek PLTU besar-besaran terus dijalankan. Sumbangan emisi dari proyek ini jelas tidak menunjukan keseriusan Pemerintah Indonesia mengurangi dampak Krisis Iklim.
Sanggupkah kita menanggung kerusakannya di kemudian hari?
Hari ini, bertepatan dengan Hari Tani Nasional, kami mengajak kamu mendukung perjuangan para petani di Batang tanpa melupakan jasa para nelayan. Sampaikan pesan semangat dan terima kasihmu untuk warga Batang lewat petisi ini
Selain itu, di Hari Tani Nasional ini juga kami ingin mengundang kamu menyaksikan film kolaborasi Greenpeace, Watchdoc Documentary, dan Trend Asia berjudul “Surat Cinta Dari Pantura”. Film ini mengungkap bagaimana kisah petani dan nelayan yang menjadi korban pembangunan tidak berkelanjutan di sepanjang Pantai Utara Jawa. Filmnya bisa disaksikan di channel Youtube Watchdoc Documentary mulai Jumat, 24 September 2021 jam 7 malam.
Petani Batang dan petani seluruh Indonesia seharusnya mendapat perlindungan atas lahan mereka. Ini hanya bisa terwujud jika Pemerintah Indonesia berhenti mementingkan investasi yang tidak bernurani serta beralih ke investasi hijau dan berkelanjutan.[***]
Salam hijau damai,
Greenpeace Indonesia