MEMILIKI budaya, keyakinan dan agama yang berbeda, tak menghalangi warga Desa Soditan, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang untuk hidup rukun berdampingan.
Desa Soditan mempunyai luas sekitar 135,1 ha dan dengan jumlah penduduk sekitar 5.000 jiwa. Mayoritas penduduknya beragama Islam, sebagian lainnya beragama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Sejumlah tempat ibadah pun berjejer di desa ini. Ada banyak juga pondok pesantren, di antaranya: Ponpes Al-Hidayat yang didirikan oleh KH Ma’shoem dan Ponpes An-Nur yang didirikan oleh KH Kholil. Keduanya termasuk tokoh pendiri Nahdhatul Ulama.
Sementara di sebelah barat membentang kawasan Pecinan yang sudah ada sejak ratusan tahun silam. Di kawasan Pecinan ini ada dua gereja, satu klenteng, dan satu vihara. Klenteng tersebut adalah Klenteng Cu An Kiong yang disebut-sebut sebagai klenteng tertua di tanah Jawa.
Kendati terdiri atas warga yang berkeyakinan berbeda dan dari etnis yang berbeda, yaitu Jawa, Cina dan Arab, namun keberlangsungan kehidupan bertetangga masyarakat desa ini sangat harmonis. Baik dari kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Seperti yang dikisahkan oleh Pengasuh Ponpes Al-Hikmah, Desa Soditan, KH Salahudin Fatawi atau yang akrab disapa Gus Din. Gus Din tak lain adalah cucu menantu KH Ma’shoem (Mbah Ma’shoem).
Gus Din mengisahkan, kehidupan bertetangga yang guyup rukun di Desa Soditan ini tak lain adalah warisan dari Mbah Ma’shoem. “Mbah Ma’shoem ulama yang memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi. Bukan hanya sesama warga Islam dan santrinya, namun juga warga dari etnis dan agama lain,” ungkapnya, Rabu (15/9/2021).
Kepedulian Mbah Ma’shoem ini diwujudkan dengan seringnya berkirim makanan dan sembako terhadap warga etnis Tionghoa. “Beliau juga kerap memberikan nama warga Tionghoa dengan nama Arab,” sambung Gus Din.
Srawung Paseduluran
Tujuan Mbah Ma’shoem tak lain adalah mewujudkan kehidupan bertetangga yang rukun tanpa ada rasa fanatik satu sama lain. Kebiasaan lain yang diiniasi oleh Mbah Ma’shoem adalah budaya Srawung Paseduluran. Warga dari semua etnis dan agama berbaur dan berkumpul untuk melakukan kegiatan positif, seperti kerja bakti, makan bersama, atau sekadar berbincang untuk menjalin keakraban.
Kerukunan ini rupanya sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda. Warga yang berlatar belakang etnis dan keyakinan yang berbeda saling berbaur seolah tidak ada jarak. Aktivitas lain yang menunjukkan keharmonisan tersebut adalah aktivitas ekonomi. Para santri tidak canggung untuk melakukan fotocopi kitab kuning di toko warga etnisTionghoa.
Di sini banyak pondok pesantren, ada gereja, ada klenteng. Juga banyak etnis Jawa, Arab dan Tionghoa. Tapi selama ini tidak pernah ada gesekan. Kita mau beraktivitas dan bersembahyang bebas saja,” kata Firman, salah satu warga Khonghucu.
Testimoni senada dilontarkan Pdt Jonathan Kukuh, warga Kristen. “Selama di sini, saya merasa adem tentrem, tidak pernah ada konflik,” kata dia.
Desa Sadar Kerukunan
Atas keharmonisan kehidupan antar warga yang multi agama dan etnis ini, Desa Soditan ditetapkan sebagai Desa Sadar Kerukunan oleh Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah.
Pencanangannya dilaksanakan pada 15 September 2021 di Balai Desa Soditan. Pencanangan ditandai dengan penandatangan prasasti oleh tiga pejabat, yaitu Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, Kakanwil Kemenag Jawa Tengah, Musta’in Ahmad, dan Bupati Rembang, H. Abdul Hafidz. Usai penandatanganan, dilakukan pemukulan gong oleh Kakanwil.
Turut hadir dalam pencanangan ini, Kepala Badan Kesbangpol Jawa Tengah, Haerudin, Ketua FKUB Jawa Tengah, KH Taslin Syahlan, Wakil Bupati Rembang, M. Hanies Cholil Barro, Kakankemenag Kabupaten Rembang, M. Fatah, Ketua FKUB Kabupaten Rembang, Atho’illah Muslim, dan jajaran pejabat Forkompinda serta tokoh masyarakat dan tokoh lintas agama setempat.
Sebelum pencanangan, para pejabat berkeliling menyusuri jalan desa Soditan. Susur desa Soditan ini diawali dengan kunjungan di Klenteng Cu An Kiong. Sepanjang jalan, para pejabat dengan berkendara kereta mini meninjau komplek pondok pesantren, masjid, musala, gereja, dan tempat bersejarah lainnya. Sepanjang berkeliling, mereka disambut ramah dan lambaian tangan oleh warga sekitar dari yang berbeda agama.
Gubernur Jawa Tengah, ketika menyampaikan sambutan secara virtual menyampaikan apresiasi atas gagasan Desa Sadar Kerukunan ini. Pencanangan tersebut dinilai tepat mengingat kebudayaan, etnis, dan agama sangat beragam. Warga juga dapat hidup dengan rukun.
“Saya respek ketika diadakan Desa Sadar Kerukunan. Di Lasem ada banyak tokoh agama, kyainya juga besar-besar. Situs sejarahnya juga hebat. Mayoritas penduduknya Islam, tapi budaya China juga ada di situ,” tuturnya.
Kakanwil mengatakan, keberagaman dan kekayaan agama dan budaya di desa Soditan ini, melatarbelakangi terpilihnya Desa Soditan sebagai Desa Sadar Kerukunan. “Kebersamaan yang ada di Desa Soditan dapat dijadikan inspirasi bersama dalam membangun kerukunan. Untuk saling menghormati, menghargai, dan bergotong royong,” tuturnya.[***]