Uncategorized

SUARA-SUARA PEREMPUAN YANG TERBELENGGU

ist

Peringatan hari Kartini adalah sebuah moment rutinitas yang di selenggarakan setiap tahunnya. Ketika masa itu tiba sudah menjadi kebiasaan pula simbol kebaya, sanggul dan keanggunan seorang wanita di pertontonkan. Sedang para elite akademisi sibuk dengan akun media sosial-nya berlomba-lomba mengucapkan “Happy Kartini Day”. Sedang organisasi-organisasi ternama sibuk membuat seminar meski hanya pembicara yang khusyu’ bercerita sedang yang lain entah kemana.

Dari Lentera Dipantara aku menemukan sebuah bacaan tentang perjuangan Kartini melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun. Sedikit dijelaskan Kartini tidak punya massa apalagi uang. Uang tak pernah bersahabat dengan perempuan hamba seperti Kartini. Yang dimilikinya hanyalah kepekaan dan keprihatinan yang tertuang dalam tulisan-tulisan. Menulis adalah tugas sosial yang merupakan kesadaran batinnya tentang kewajiban-kewajibannya terhadap sesama manusia,  bangsa dan negara. Jadilah sastra sebagai alat dalam pembentukan kekuatan, persatuan dan perikatan.

Dalam balutan kisah yang teramat menarik pada 21 April orang-orang akan mengubah dirinya menjadi sosok Kartini. Bercerita seenaknya saja layaknya pendekar wanita yang telah melakukan banyak hal dalam kehidupan ini. Ketika pergantian hari semua kembali pada posisi dan perannya masing-masing, menghamba pada kuasa, tidak merdeka dan menutup telinga untuk permasalahan yang ada. Berusaha memperpanjang garis penderitaan dan tanpa sadar premis yang keliru bisa menjadi senjata paling ampuh untuk menjatuhkan sesama perempuan.

Kartini memang sosok perempuan tangguh yang kekuatan guratan tinta nya tak perlu diragukan lagi. “habis gelap terbitlah terang” menjadi karya yang membekas di benak para generasi penerus sebagai suatu perjalanan juang yang ditempuh oleh sosok kartini dan patut menjadi spion untuk berbangga pada perempuan Indonesia yang terlahir menjadi panutan.

Sedikit studi komparasi dengan kejadian-kejadian yang di alami oleh perempuan masa kini, “Patriarki tak pernah mati, pemikiran-pemikiran nya kian tajam dan beranak pinak, sehingga kesadaran harus terus di galakkan”. Diskriminasi, eksploitasi terhadap tubuh perempuan dan pembungkaman suara-suara perempuan hari ini terus terjadi. Mirisnya kita tidak pernah belajar dari sejarah dan terus saja melakukan pengulangan-pengulangan atas kesalahan.

Sekitar tahun 1986, dari Maman Suherman seorang mahasiswa semester akhir jurusan kriminologi Universitas Indonesia membeberkan kisah nyata seorang perempuan yang bernama RE yang merupakan seorang pelacur lesbi-an secara paksa . Telah terjadi kekerasan dan eksploitasi terhadap tubuh perempuan, dipaksa dan tak memiliki hak bicara dan berakhir tragis dengan cara dibunuh oleh mucikari nya sendiri. Tetap saja tidak ada kejelasan hukum pada tahun tersebut, bahkan pelaku kejahatan nya pun hingga hari ini masih menjadi misteri dan belum di ketahui.

Kisah astuti seorang korban kekerasan seksual yang di bungkam suara keadilannya, di renggut kehormatannya, di berikan sanksi sosial, di kucilkan atas kelangsungan hidupnya merupakan luka mendalam yang dihadapi oleh para korban kekerasan seksual. Tingginya resiko kekerasan seksual telah mengahambat, membatasi serta merampas kebebasan dan hak-hak fundamental warga negara. Tidak main-main para korban terhambat untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan, serta hak-hak lain dalam rangka kelangsungan hidup yang layak. Sebagai warga negara, korban juga terhambat untuk berpartisipasi dalam pembangunan sehingga tidak dapat berkontribusi sebagai sumber daya manusia yang berkualitas sebagaimana cita-cita bangsa Indonesia.

Dua kisah tadi memang tidak cukup menggambarkan betapa rumit nya posisi perempuan hari ini, “Dunia memaksa perempuan menjadi miskin”. Adalah ketakutan yang harus diterima perempuan setiap kali mereka bersuara atas ketidakadilan. Nyatanya memang hingga hari ini konsensus yang dibuat oleh masyarakat benar-benar mendeskriditkan perempuan. Kasus-kasus pelecehan seksual, kekerasan seksual marak terjadi di berbagai ruang. Bahkan kampus yang notabene nya adalah dapur intelektual pun dengan manusia-manusia terpelajar tidak sedikit dijumpai kasus pelecehan seksual.

Mirisnya lagi ketika perempuan menjadi korban pelecehan , yang menjadi sorotan dan disalahkan adalah si perempuan. Dengan asumsi yang beragam, seperti tidak bisa menjaga aurat, berpakaian terlalu minim, perempuan adalah sumber fitnah, dan masih banyak yang lainnya. Pelimpahan kesalahan-kesalahan kepada perempuan ini menjadikan mereka mendapatkan kesakitan yang double. Bahkan asumsi ini bukan hanya datang dari mereka laki-laki tetapi juga sesama perempuan. Waspada !!!

Pelaku kejahatan seksual tidak pernah memandang siapa yang akan menjadi mangsanya. Tidak dapat di pungkiri pengalaman kekerasan seksual yang dialami oleh korban akan berdampak pada gangguan psikis. Untuk itu kita harus berjuang untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) ini agar kasus-kasus kekerasan itu dapat dicegah, korban secara psikis bisa dipulihkan, hak-hak korban harus dipenuhi dan keadilan secara hukum bagi perempuan tidak lagi di bungkam. Sebab “Perempuan bukan  pelengkap dan pemuas laki-laki yang hanya manut dan tak merdeka”. Perempuan memiliki hak dan wewenang yang sama di dalam kehidupan ini, pemikiran-pemikiran kuno yang menyatakan bahwa perempuan tunduk pada laki-laki harusnya sudah dikubur bersama para penindas perempuan.

My Body is My Choice. Harus di sadari bahwa tubuh perempuan milik perempuan itu sendiri, baik dari segi pemikiran, tindakan maupun keputusan. Kita memang akan bersepakat, tentu. Namun kesadaran bahwa intervensi siapapun tidak akan melemahkan perempuan harus tetap berkembang biak dan beranak pinak dalam semangat perjuangan ini. Hadirnya paham-paham feminis bukan untuk menghancurkan laki-laki, melainkan mencoba untuk merumuskan ulang pemikiran yang sudah seharusnya di tinggalkan. Bahwa kita akan hidup berdampingan dan bersama mencapai tujuan tanpa dominasi, diskriminasi dll. “Aku sungguh ingin melihat hilangnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan kecuali urusan cinta” brutal bermoral***

 

Penulis  : Yui Zahana

Mahasiswa Pendidikan, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya [UNSRI]

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com