HIDUP segan mati tak mau, setidaknya itulah yang bisa diibaratkan kepada kondisi pelaku UMKM di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Penularan virus corona yang demikian cepat dan masif telah memaksa pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tetapi juga berdampak mematikan berbagai aktivitas bisnis pelaku UMKM. Jakarta sebagai kota jasa, mobilitas manusia/warga merupakan penggerak utama berbagai aktivitas usaha dan bisnis. Tatkala mobilitas masyarakat dibatasi, semakin sempit ruang gerak warga sebagai konsumen, maka aktivitas usaha dan bisnis pun kian terbatas atau stagnan.
Pemerintah menyadari bahwa kebijakan PSBB memiliki dampak yang begitu besar terhadap perekonomian. Namun, pemerintah harus memutuskan pilihan, antara kepentingan ekonomi atau keselamatan warga negara. Sudah pasti dengan penuh perhitungan dan konsekuensi risikonya, keselamatan warga negara adalah di atas segala-galanya.
Kebijakan PSBB tidak hanya membatasi aktivitas usaha para pelaku UMKM, tetapi juga hampir semua bidang usaha, baik skala besar, bahkan pekerja nonformal terdampak dengan kebijakan ini. Sektor usaha skala menengah dan besar di bidang pariwisata beserta turunannya seperti hotel, restoran, kafe, travel, pusat hiburan dan transportasi sejak sekitar dua bulan lalu sudah mengalami tekanan usaha yang sangat berat.
Penularan virus corona yang demikian cepat dan masif telah memaksa pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tetapi juga berdampak mematikan berbagai aktivitas bisnis pelaku UMKM. Jakarta sebagai kota jasa, mobilitas manusia/warga merupakan penggerak utama berbagai aktivitas usaha dan bisnis. Tatkala mobilitas masyarakat dibatasi, semakin sempit ruang gerak warga sebagai konsumen, maka aktivitas usaha dan bisnis pun kian terbatas atau stagnan. Pemerintah menyadari bahwa kebijakan PSBB memiliki dampak yang begitu besar terhadap perekonomian.
Namun, pemerintah harus memutuskan pilihan, antara kepentingan ekonomi atau keselamatan warga negara. Sudah pasti dengan penuh perhitungan dan konsekuensi risikonya, keselamatan warga negara adalah di atas segala-galanya. Kebijakan PSBB tidak hanya membatasi aktivitas usaha para pelaku UMKM, tetapi juga hampir semua bidang usaha, baik skala besar, bahkan pekerja nonformal terdampak dengan kebijakan ini.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah pusat seharusnya berkesambungan dengan pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan yang lain jangan sampai setiap kebijakan yang dikeluarkan nantinya malah kontradiktif dengan yang ada dibawah sehingga itu akan mempersulit ruang gerak para pelaku UMKM.
Sektor usaha skala menengah dan besar di bidang pariwisata beserta turunannya seperti hotel, restoran, kafe, travel, pusat hiburan dan transportasi sejak sekitar dua bulan lalu sudah mengalami tekanan usaha yang sangat besar.
Usaha skala hotel yang sudah memiliki infrastruktur yang kuat saja, bisa dibayangkan bagaimana dengan nasib pelaku UMKM. Kondisi UMKM saat ini sangat rentan, dan dipastikan sudah jutaan UMKM yang sekarat bahkan sudah menutup usahanya. Berkaca pada krisis moneter 1998 dan krisis keuangan global 2008, tatkala perusahaan-perusahaan skala besar banyak yang tumbang, sebaliknya sektor UMKM tampil sebagai penyelamat dan penopang perekonomian nasional.
Ketangguhan UMKM menjadi modal utama, membawa perekonomian nasional selamat dari krisis dan perlahan tapi pasti perekonomian kita dapat pulih kembali. UMKM saat itu mampu menggerakkan ekonomi akar rumput dan menjaga daya beli masyarakat. Namun, kini kondisinya jauh beberda kala pandemi Covid-19 melanda negara kita. UMKM tak lagi tangguh, lumpuh, tidak dapat lagi diandalkan sebagai penopang perekonomian bangsa.
Pangsa pasar yang dimilikinya, berupa kebutuhan masyarakat sehari-hari, baik sandang maupun pangan, menyempit. Dalam ruang gerak yang sudah teramat sempit, aneka produk yang disiapkannya tidak menjadi transaksi yang mampu menggerakkan ekonomi dan perputaran uang.
Profil UMKM di Indonesia terdiri atas tiga kluster besar, yaitu kluster produsen, usaha dagang, dan jasa. Produsen umumnya memproduksi aneka makanan dan minuman seperti tahu, tempe, kue basah, bakso, mie, sirop, dll. Termasuk aneka sandang seperti pakaian/batik, tas, sepatu, kerajinan/souvenir, mebel, percetakan dan industri kreatif. Usaha dagang mencakup pedagang kaki lima, restoran, kafe, catering, aneka warung, kuliner, toko pakaian/fashion, toko sembako, dll.
Sedangkan usaha jasa (service business) seperti transportasi online, travel wisata dan umroh, kontraktor, pengadaan barang/ jasa, bengkel, logistik, salon, klinik, barbershop, event organizer, desain dan percetakan, dll. Pangsa pasar dari kesemua bidang usaha UMKM tersebut akan sangat ditentukan oleh pergerakan manusia sebagai konsumen atau pelanggan. Semakin lama kebijakan bekerja dari rumah (work from home) dan PSBB, maka nasib usaha UMKM semakin tidak pasti, bahkan yang masih bertahan perlahan akan menyusul menutup usahanya. Dengan kondisi ini, UMKM praktis tidak memiliki kontribusi dalam menjaga pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.
Berbanding terbalik dengan kondisi di kala normal, di mana UMKM menyumbang 60% produk domestik bruto (PDB) secara nasional dan pertumbuhan ekonomi yang ditopang dari konsumsi rumah tangga dominan digerakkan sektor ini. Termasuk sumbangsihnya terhadap penyerapan tenaga kerja yang mencapai 96% dari 133 juta angkatan kerja secara nasional serta menyumbang 14% dari total ekspor.
Walaupun selama ini pelaku UMKM masih kurang perhatian pemerintah dari sisi pembinaan, pemberdayaan dan pengembangan, namun realitasnya peran UMKM dalam menopang perekonomian nasional tidaklah bisa dipandang sebela mata. Sampai saat ini belum ada yang memastikan kapan pandemic Covid-19 ini akan berakhir. Namun, jika penerapan PSBB ini masih berkepanjangan, aktivitas usaha UMKM akan mati suri, dampaknya angka kemiskinan dan pengangguran akan semakin tinggi, yang tentu akan menjadi beban sosial yang harus dipecahkan oleh pemerintah.
Dampak Covid-19 ini memang teramat sulit bagi UMKM, bahkan bisa digolongkan sebagai kejadian luar biasa yang sulit diprediksi sebelumnya. Sangatlah ironis kondisi yang dialami UMKM saat ini, yang harus menanggung ketirnya usaha akibat Covid-19. Pelaku UMKM mengapresiasi stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah, yang salah satunya menyasar UMKM. Adanya keringanan pembanyaran cicilan pokok dan bunga pinjaman, penundaan cicilan kendaraan baik berupa motor, mobil, perahu bagi nelayan, bahkan rumah, tentu dapat meringankan beban pelaku UMKM. Harapannya, stimulus atau relaksasi pemerintah ini benar-benar direalisasikan di lapangan. Namun, perlu kiranya pemerintah juga perlu mengkaji stimulus tambahan yang lebih luas.
Kelemahan UMKM selama ini dari aspek kemudahan perizinan, permodalan, kemitraan, pemasaran, kewajiban memakai produk UMKM, sertifikasi halal, kuota lahan khusus, skala upah minimum khusus UMKM. Selain itu, administrasi perpajakan, kemudahan HAKI, tenaga pendamping, proyek yang bersumber dari APBN/APBD untuk UMKM, serta penguatan SDM melalui pelatihan yang rutin kepada para pelaku UMKM. Hendaknya penanganan kelemahan-kelemahan itu dapat diakomodir dalam RUU Cipta Kerja. Penguatan UMKM dalam RUU Cipta Kerja menjadi modal besar setelah Covid-19 berakhir. Pelaku UMKM dapat berlari kencang mewarnai aktivitas bisnis di Tanah Air dan menjadi penopang dan kekuatan perekonomian bangsa.[***]
Penulis : Budina Sofiyan Owner Kripikbosku