“SETELAH 74 tahun merdeka akhirnya perempuan menjadi ketua DPR,” ujar Puan Maharani yang baru saja ditasbihkan menjadi Ketua DPR RI periode 2019-2024. Konsekuensi dari UU MD3 yang telah disahkan saat ini adalah, adanya pembagian kursi pimpinan DPR kepada 5 besar partai yang memiliki suara tertinggi di Pemilihan Umum. Dengan aturan tersebut, maka 5 partai yang mendapatkan suara tertinggi yang ikut berkontestasi pada Pemilu 2019 akan mendapatkan “jatah” untuk memimpin lembaga tinggi negara yang diidam-idamkan seluruh calon legislatif.
Beberapa partai yang sudah memiliki reputasi cukup mentereng kembali menasbihkan dirinya untuk mengambil jatah kursi yang diincar setiap legislator, dalam hal ini yang mendapatkan “kursi” tersebut adalah PDIP (Puan Maharani) dibantu para Wakil Ketua yang terdiri dari Aziz Syamsuddin, Fraksi Partai Golkar, Sufmi Dasco Ahmad, Fraksi Partai Gerindra, Rahmat Gobel, Fraksi Partai Nasdem, dan Muhaimin Iskandar, Fraksi PKB.
Paket Pimpinan DPR sangat menarik untuk dibahas, namun kali ini penulis akan lebih melihat dan menarik untuk mencermati lebih dalam, tentang Ketua DPR RI, yaitu Puan Maharani yang merupakan perempuan pertama memimpin lembaga tinggi tersebut. Terkait dengan kalimat pembuka yang telah disampaikan di awal, bagaimana ada harapan yang coba dilambungkan oleh Puan Maharani sebagai perempuan pertama pemimipin Lembaga Legislator di Negeri ini.
Hal tersebut merupakan sejarah baru bagaimana lembaga legislatif tertinggi di negara kita dipimpin seorang perempuan. Pro kontra akan terus mengiringi jalannya dinamika politik di Parlemen dan Ketua DPR RI harus siap akan terus dicerca dengan berbagai pertanyaan dan pernyaataan tajam terkait kinerja dari anak Ketua Umum Partai yang Berlambang Banteng Moncong Putih, karena public pasti akan lebih menyoroti dengan tajam kinerja yang akan dilakukan selama lima tahun ke depan, baik kapasitasnya sebagai Ketua DPR RI, ataupun orang melihatnya sebagai Anak dari Ketua Umum PDI Perjuangan.
Tidak elok kiranya jika public men-justifikasi bahwa pemilihan Puan Maharani menjadi Ketua DPR RI merupakan pre village dirinya sebagai anak dari Ketua Partai Politik pemenang pemilu 2019, public harus lebih objektif dalam melihat dan mencermati bagaimana track record politik yang telah dilalui Puan Maharani sebagai politisi. Sejak tahun 2009 Puan Maharani sudah diberikan mandate oleh rakyat duduk di Kursi DPR RI, tidak main-main dalam periode pertama ini beliau didaulat sebagai ketua Fraksi PDI-P DPR RI 2009-2014, bukan jabatan yang bisa dianggap enteng dalam internal parlemen, setelah itu karirnya pun terus melaju pesat hingga pada 2014-2019 dipercaya Presiden Ir. Joko Widodo menjadi “pembantu” untuk menjadi Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, jabatan ini sangat krusial diberikan kepada politisi yang dibilang cukup muda.
Perjalanan karir politik yang cukup mumpuni sudah tidak dapat disangkal, dengan telah menduduki berbagai macam sektor strategis yang pernah di emban dan diamanatkan padanya. Namun, yang perlu disoroti saat ini adalah tentang bagaimana peran beliau sebagai seorang perempuan yang seharusnya memperjuangkan hak perempuan dari berbagai macam tuntutan yang selama ini terus digulirkan oleh publik. Semangat ke”perempuan”an diagungkan oleh Puan Maharani ketika pidato pertama kali, apakah semangat saja cukup? Tentu tidak, ada hal yang lebih penting yang harus diperjuangkan ketika hak perempuan masih dianggap belum terlalu penting dan belum mendapatkan perhatian yang maksimal dari Negara.
Harapan Baru
Ada harapan baru bagi kaum feminisme ketika ada perwakilan mereka yang menjadi ujung tampuk kekuasaan legislatif di Negeri ini. Salah satu fungsi pokok legislator adalah menjalankan fungsi legislasi, tugas yang di emban seharusnya dapat dipergunakan secara maksimal untuk melahirkan aturan-aturan yang dapat merepresentasikan keinginan dan kebutuhan para wanita di republik ini.
Walapun selama ini sudah cukup banyak wakil perempuan di Parlemen namun mereka masih dianggap “mandul” dalam melahirkan aturan-aturan/ kebijakan yang sensitif gender terutama yang melihat kepentingan dan kebutuhan perempuan selama ini.
Selama ini Negara dianggap belum maksimal dalam memperhatikan hak-hak perempuan, terutama dalam pembuatan aturan-aturan yang memang dikhususkan guna melindungi hak-hak perempuan. Ada banyak implikasi dari sedikitnya aturan yang melindungi kepentingan perempuan, salah satunya adalah masih maraknya kekerasan yang menimpa perempuan akhir-akhir ini. Catatan tahunan Komnas Perempuan menemukan bahwa ada peningkatan sekitar 14% pada tahun 2019 tentang aduan kekerasan yang dialami oleh para wanita dari tahun sebelumnya, secara kuantititas dapat digambarkan sebagai berikut Di dalam CATAHU (catatan tahunan Komnas Perempuan) tahun 2019, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018 (naik dari tahun sebelumnya sebanyak 348.466). Banyaknya kasus yang tercatat oleh Komnas perempuan ini dapat dilihat dari dua sudut pandang, yang pertama dari sudut pandang negatif adalah catatan tersebut menandakan bahwa semakin tingginya angka kejahatan terhadap perempuan dan itu cukup menyedihkan, atau sisi positifnya adalah para perempuan sudah mulai sadar akan pentingnya peran mereka untuk melaporkan dan menindak semua kejahatan yang menimpa para perempuan, sehingga dengan harapan mereka berani untuk melaporkan semakin tinggi juga semangat dari aparatur Negara untuk menyelesaikan segala permasalahan yang menghantui perempuan selama ini.
Menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang terus menghantui kaum perempuan di Republik ini memang cukup pelik, karena aturan yang ada selama ini dikatakan belum cukup mumpuni dan kuat untuk menyelesaikan dan membereskan Pekerjaan Rumah Pemerintah tentang penyelesaian kasus perempuan, hanya ada beberapa peraturan dan Undang -Undang yang dikatakan spesifik membahas pentingnya pemberdayaan dan perlindungan perempuan, antara lain (1) UU No 7/1984 Tentang Ratifikasi CEDAW. (2) UU No 39/1999 tentang HAM. (3) UU No 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT. (4) UU No 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. (5) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJM Tahun 2010-2014 yang menyatakan kualitas hidup dan peran perempuan masih relative rendah. (6) Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, selain itu kesetaraan perempuan dalam ranah politik juga diundangkan, dimana setiap partai politik Wajib memenuhi kuota 30 % calon legisltif perempuan. Beberapa peraturan yang telah disahkan menjadi dasar dalam penegakan hukum di Indonesia, namun setiap tahun justru kekerasan terhadap Perempuan yang terjadi di Indonesia semakin tinggi, hal tersebut menggambarkan apakah memang Peraturan yang dibuat masih kurang bias menjangkau masalah-masalah baru yang hadir di tengah masyarakat atau aparat penegak hukumnya kurang maksimal dalam penegakan hukum, terutama menyelesaikan masalah perempuan.
Berbagai catatan minor, buruknya perhatian pemerintah terhadap perempuan mulai dari pembentukan aturan hingga implementasi aturan harus menjadi perhatian khusus dalam periode pemerintahan mendatang, terutama dengan adanya “alat” pendukung tambahan yaitu terpilihnya Puan Maharani menjadi Ketua DPR RI. Hal tersebut menjadi harapan baru bagi para perempuan di Indonesia yang menggantungkan harapannya kepada DPR untuk melahirkan aturan-aturan yang pro perempuan, dan harapan tersebut terus bisa dikemukakan karena Representasi perempuan yang mereka harapkan selama ini sudah menjadi kenyataan menjadi pemimpin lembaga yang mempunyai kewenangan melahirkan Undang Undang. Dan pada akhirnya harapan terbesar dari masyarakat dalam periode 5 tahun mendatang adalah Puan maharani tidak hanya menjadi simbol perempuan saja, namun lebih dari itu dapat merepresentasikan dan mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan perempuan yang sesungguhnya.[***]
Penulis : Nico Octario Adytyas, M. A
Dosen Prodi Politik Islam UIN Raden Fatah Palembang