KAMIS, 12 Desember 2019, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) kedatangan tamu Duta Baca Indonesia Najwa Shihab. Najwa Shihab yang akrab disapa “Nana” datang ke Sekayu untuk berbicara pada talk show interaktif bertajuk “Literasi Digital” yang selenggarakan Pemerintah Kabupaten Muba. Kedatangannya disambut Bupati Muba Dodi Reza Alex dan istri Thia Yufada yang akrab disapa Thia.
Kedatang presenter dan host televisi ke Muba tersebut, selain berbagi juga bermakna sebagai temu kangen dua sahabat lama antara Najwa Shihab dan Thia Yufada. Dua perempuan hebat ini sama-sama pernah berkarir di dunia broadcast atau televisi sebagai presenter atau host di sebuah stasiun televisi swasta. Nana pun masih terus berkarir di dunia broadcast.
Setelah keduanya resign dari stasiun televisi tersebut, ternyata mereka punya kepedulian yang sama pada dunia literasi khususnya dalam mendorong peningkatan minat baca. Nana menjadi Duta Baca Indonesia dan Thia sebagai Bunda Baca Muba. Keduanya sama-sama menerbarkan “virus literasi” kepada masyarakat di Indonesia dan di Muba.
Dunia literasi bukanlah panggung seremonial belaka. Literasi itu bukan sekedar pementasan yang diusung dari satu ke panggung lainnya, bukan dari satu arena kampanye ke arena kampanye yang lain demi meraih dukungan dan sebuah award yang kemudian dikabarkan melalui advetorial di media massa.
Literasi itu perlu aksi yang konkret bukan seremonial. Kehadiran Najwa Shihab di Muba bukanlah kehadiran seorang seleberiti yang naik ke atas panggung dan keberadaan Thia Yufada sebagai Bunda Baca Muba adalah bentuk wujud konkret tersebut. Program Thia yang mewujudkan duta baca sampai ke desa adalah realitas yang patut mendapat apresiasi. Ada 76 duta baca siswa di Muba yang memiliki misi meningkatkan minat baca bagi masyarakat.
Dan Nana pun memberikan apresiasi tersebut. “Saya perhatikan Muba sangat serius meningkatkan minat baca di kalangan peserta didik dengan membentuk duta baca hingga ke pedesaan. Saya apresiasi upaya tersebut,” katanya di depan peserta talk show yang berlangsung di Sekayu.
Kemudian Nana berkata, “Saya lihat Pak Bupati dan Ibu Thia punya jurus jitu guna menghadapi itu semua. Saya kagum dengan upaya-upaya yang telah dilakukan, prinsipnya saya siap bantu Ibu Thia dan Pak Bupati Dodi Reza guna all out terus meningkatkan minat baca di Muba.”
Menurut Nana, bicara tentang literasi digital tentunya kita harus bisa melakukan upaya-upaya dalam meningkatkan minat baca anak-anak, sehingga anak-anak bisa memahami informasi yang baik dan benar. Mengutip Gola A Gong penulis novel, pemilik dan pengelola Rumah Dunia, literasi adalah keberaksaraan. Literasi bukan semata-mata buku karena ia tak hidup di ruang vakum. Sebaliknya literasi berjalin erat dengan kehidupan.
Literasi adalah suatu simbol, sistem dan tata bunyi yang mengandung makna, merupakan suatu kompetensi dasar yang mencakup empat aspek kemampuan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Dua kemampuan pertama merupakan kemampuan berbahasa yang tercakup dalam kemampuan orasi (oracy). Sedangkan kemampuan kedua merupakan kemampuan yang tercakup dalam kemampuan literasi (literacy).
“Bentangan pembicaraan tentang literasi pun menjadi dinamis, sedinamis kehidupan itu sendiri, mulai dari dunia penerbitan, komunitas literasi, perpustakaan, kampanye membaca dan menulis, hingga isu perubahan sosial,” tulis Gola A Gong dalam bukunya berjudul “Gempa Literasi – Dari Kampung Untuk Nusantara.”
Peristiwa literasi yang terjadi di Muba pada 12 Desember 2019 tersebut mengingatkan saya pada peristiwa literasi yang pernah terjadi 15 tahun lalu juga di Muba. Mungkin sudah banyak yang lupa bahwa saat Alex Noerdin menjabat Bupati Musi Banyuasin pernah menjadi tuan rumah kegiatan literasi internasional. Waktu itu pada 2 – 7 Agustus 2004 di Sekayu berlangsung “Pertemuan Esais Asean” yang diselenggarakan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) dengan peserta sastrawan, penulis dan esais yang datang dari Malaysia, Brunei, Singapura dan tuan rumah Indonesia.
Peristiwa literasi yang diselenggarakan Mastera tersebut terdokumentasi dalam sebuah buku berjudul “Jendela Terbuka – Antologi Esai Mastera” dengan editor Dendi Sugono dan Budi Darma, diterbitkan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005.
Itu satu bukti bahwa gerakan literasi pernah ada dan terjadi di Musi Banyuasin. Bukti lainnya, Gola A Gong dalam buku “Gempa Literasi” juga pernah menulis perjalanannya ke Muba dalam kaitan dengan gerakan literasi.
Dalam tulisan berjudul “Antara Rumah Rakit dan Pelatihan Menulis” penulis novel “Balada si Roy” bercerita tentang kunjungan ke Muba pada 17 Desember 2010. Dari Jakarta untuk menjangkau Muba, Gola A Gong memulai perjalanan dari Jakarta dengan penerbangan menuju Jambi jadi bukan via Palembang melainkan mendarat di Bandara Sultan Thaha, Jambi.
Perjalanan dari Jambi menuju Bayung Lencir dilakukan Gola A Gong dengan menggunakan mobil perpustakaan keliling. Menjelang sore Gola A Gong yang menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat Forum TBM (Taman Bacaan Masyarakat) tiba di Sudut Baca Bayung Pustaka terletak persis di depan RSUD Bayung Lencir. Kedatangan ke Muba tersebut diprakarsai Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia (YPPI) untuk mengisi pelatihan.
Di Sudut Baca Bayung Pustaka Gola A Gong memberikan pelatihan tips menulis cerpen yang diikuti sekitar 20 pelajar dan lima orang guru. Gola A Gong yang datang bersama istri Tias Tatanka membahas cerpen-cerpen yang ditulis pelajar Muba.
Dari cerita Gola A Gong dan “Pertemuan Esais Asean” yang diselenggarakan Mastera menjadi bukti bahwa kegiatan literasi sudah sejak lama ada di Muba dan bukan sekedar seremonial yang ada hanya di atas panggung atau arena kampanye sekedar memenuhi dahaga sang duta. Apa yang dilakukan Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex dengan mengundang Najwa Shihab adalah sebagai usaha menyambung kembali benang merah literasi yang pernah terputus sebelumnya.
Apa yang kini tengah dilakukan Bupati Musi Banyuasin bersama Bunda Baca Thia Yufada adalah sebuah upaya menjawab dari keprihatinan tingkat literasi kita yang rendah. Pada 2015 Unesco mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun.
Dibandingkan Amerika Serikat atau Jepang kondisi Indonesia jauh di bawah. Warga Amerika Serikat terbiasa membaca 10-20 buku per tahun dan warga Jepang membaca 10-15 buku setahun (Republika, 12 September 2015). Kemudian peringkat literasi Indonesia hanya berada pada peringkat 64 dari 65 negara yang disurvei. Kemudian tingkat membaca siswa Indonesia hanya menempat urutan 57 dari 65 negara. Kita berharap pada 2020 data-data tersebut sudah berubah.
Kehadiran duta baca di Muba yang diprakarasi Thia dengan membentuk duta baca yang melibatkan pelajar sampai ke tingkat desa mengingatkan saya kepada Pemerintah Inggris yang membentuk National Literacy Trust sebagai usaha mempromosikan budaya literasi kepada generasi muda dan dewasa. Rendahnya minat baca generasi muda Inggris sudah menggelisahkan elit-elit politik negeri Ratu Elizabeth tersebut.
Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kecerdasan dan pengetahuannya, sedangkan kecerdasan dan pengetahuan dihasilkan oleh seberapa ilmu pengetahuan yang didapat, sedangkan ilmu pengetahuan didapat dari informasi yang diperoleh dari lisan maupun tulisan. Pada sebuah negara, semakin banyak penduduknya semangat mencari ilmu pengetahuan, maka akan semakin tinggi peradabannya.
Budaya suatu bangsa biasanya berjalan seiring dengan budaya literasi, faktor kebudayaan dan peradaban dipengaruhi oleh membaca yang dihasilkan dari temuan-temuan kaum cendekia yang diabadikan dalam tulisan yang menjadikan warisan literasi informasi yang sangat berguna bagi proses kehidupan sosial yang dinamis.
“Tak ada gunanya mencoba menularkan ‘virus’ membaca ke dalam diri anak-anak, jika Anda sendiri tak pernah memilikinya.” (Paul Jennings, Penulis dari Australia) ●
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi