TEMA “Rentak Batanghari”, untuk pameran yang digelar di Taman Budaya Sriwijaya, pekan lalu barangkali lebih luas dibandingkan dengan tema “Aura Musi” pada pameran yang digagas Galeri Nasional 2010 lalu.
Keduanya, sama-sama pameran bersama. Bedanya, Rentak Batanghari mencoba merangkum seniman yang ada di seputaran Batanghari. Sementara, Aura Musi mencoba memadupadankan seniman nasional dan seniman di aliran Musi dalam satu panggung.
M Agus Burhan, kurator dari Galeri Nasional dalam ‘Buku Suci Pameran” mengugkapkan bahwa even yang digelar di Hall Ida Baumi, Kampus Universitas Iba itu, bermaksud menghadirkan wajah seni lukis modern Indonesia sekaligus membangkitkan seni rupoa modern di daerah setempat. (http://musipos.blogspot.com/2010/11/aura-musi-satukan-perupa-nusantara-dan.html?m=1)
Tulisan ini bukan bermaksud membandingkan dua pentas yang dilaksanakan dengan waktu dan tempat berbeda itu. Namun, paling tidak kerja besar bertajuk Pameran se-Sumatera Selatan: Rentak Batanghari, ataupun gelaran bertema Aura Musi itu memberikan gambaran suasana berkesenian yang selalu hidup.
Menggeliat dan tentu dengan tujuan dan visi yang berbeda. Di luar itu, kala itu Erwan Suryanegara baru berperan sebagai pendamping kurator, kini Kyai (panggilan akrabnya), sudah dipercaya menjadi kurator.
Dua kurator yang dihadirkan pada momen kali ini, Dr Erwan Suryanegara dan Dr Claudia Sesie memberikangambaran bahwa keberadaan seniman seni rupa yang berpameran diharapkan bisa memberikan manfaat bagi sekitar.
Memberikan hiburan sekaligus memuaskan dahaga seni masyarakat. Karenanya, dua kegiatan dalam Rentak Batanghari, yakni pameran senirupa dan pentas teater (11- 17/11/2019), diharapkan dapat menggali potensi lokal dan merekatkaknya dengan kondisi kekinian, serta membuat cagak (tanda ) baru di daerah ini. Baik itu berhubungan dengan teater atau seni pertunjukan maupun seni rupa. Namun kali ini, penulis lebih fokus pada seni rupa.
Dalam kurasinya, Claudia Sesei lebih berharap agar seniman itu bisa menjadi ibu. Memiliki naluri keibuan. Bukan seniman yang mandul. “Menurut seniman Rusia Wassily Kandinsky (1866-1944) setiap karya seni adalah hasil dari zamannya dimana karya tersebut diciptakan. Tetapi menurutnya juga, karya seni mesti memiliki potensi untuk mempengaruhi masa depannya. Maksudnya, seni tersebut juga harus menjadi seorang ibu untuk membentuk masa depan. Seni yang tidak memiliki sifat ‘keibuan’ tersebut adalah seni yang mandul,” papar penulis dan peniliti yang diakui di dunia internasional ini seperti dikutip dari kurasinya yang dipajang di depan pintu masuk pameran.
Karenanya, menurut kurator yang mendapat gelar S3 di bidang studi asia tenggara dari Humboldt Universitas dan Freie Universitas, Berlin, Jermanini, karya seni yang dipamerkan di Taman Budaya Palembang di pameran “Rentak Batang Hari” memiliki potensi ‘keibuan’ tersebut. Seniman Sumsel ini sanggup mempengaruhi dan mengkokohkan identitas masyarakat Sumsel.
“Hanya saja para seniman SumSel mesti diberi apresiasi yang lebih dalam dan yang lebih serius untuk menjalankan perannya yang diberikan karena sudah menjadi seniman. Peran yang dilengkapi tanggungjawab sebagai seorang seniman untuk menciptakan bagian dari peradaban, yaitu kebudayaan dan kesenian lokal, nasional dan global untuk mempengaruhi masa yang akan datang,” tambah Claudia yang Tahun 2017 adalah dosen tamu di Humboldt University.
Potensi kesenian dan kebudayaan di Sumatera Selatan sangat besar. Pameran “Rentak Batang Hari” yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Sriwijaya mengundang seniman dari seluruh Sumatera Selatan. “Pameran ini menunjukkan bahwa kita memiliki potensi kesenian yang luar biasa untuk menguatkan dan
mengkokohkan identitas SumSel sebagai provinsi yang bersejarah dan berperadaban. Provinsi yang kaya akan ekpresi-ekpresi seni dan budaya di zaman yang cenderung memiliki teknologi dibanding seni.
Zaman dimana manusia memiliki simbol status berupa mobil, hp, laptop atau gadget-gadget lainnya. Pertanyaan yang muncul kalau kita melihat perkembangan ini adalah: Apakah teknologi dan gadget-gadget bisa mendidik anak kita tentang sejarah, budaya dan seni mereka? Apakah mereka bisa mengembangkan sebuah identitas yang unik dan mencerminkan kekhasan sebuah daerah? Apakah anak-anak kita akan merasa keterikatan emosional dengan daerah dan provinsi melalui interaksi dengan gadget-gadget tersebut? “ tambah istri pelukis Askanadi yang dari 2018 sampai 2019 adalah dosen tetap di Universitas Islam Antara Bangsa di Malaysia.
“Menurut saya, tidak. Anak-anak zaman sekarang makin tidak tahu identitasnya. Mereka bingung dan akar kebudayaan dan kelokalan mereka tidak lagi menembus tanah nenek moyang mereka. Seni lokal kontemporer, seperti bisa disaksikan dalam pameran “Rentak Batang Hari” bisa jadi salah satu solusi untuk mengakarkan generasi muda kita dalam kearifan dan kebudayaan lokal dengan modern touch yang selalu diinginkan oleh generasi millennial ini,” pendapatnya yang ditulis dalam kurasiya.
Untuk mencapai tujuan ini, menurut ko-pendiri Ulu-Ilir.Institute ini, .seniman-seniman kontemporer Sumsel mesti diberi kesempatan untuk memainkan peran penting untuk membentuk dan mempengaruhi kebudayaan lokal. Karya-karya mereka sangat layak dikoleksi dan dijadikan bukti dan tanda kebudayaan SumSel di hari- hari yang akan datang. Entah itu di koleksi-koleksi pribadi atau koleksi-koleksi umum/ negara.
Kalau kita ingin mendidik anak-anak kita di masa depan tentang kebudayaan lokal yang riil dan nyata, kita harus mulai hari ini. Biar di kemudian hari anak-anak kita bisa mengapresiasikan karya-karya seniman provinsi mereka sendiri dan biar karya-karya lokal ini tidak hilang bersama waktu. Alangkah bagusnya kalau Provinsi Sumsel bisa memiliki koleksi karya seni kontemporer lokal biar di masa yang akan datang memiliki bukti sejarah berupa lukisan atau karya seni murni lainnya.
Karya-karya yang dipamerkan di pameran se-SumSel ini, lanjutnya, cukup unik dan tidak bisa dibicarakan satu per satu di tulisan singkat ini. Tetapi saya ingin memberi beberapa contoh bagaimana karya pameran ini bisa memainkan peran penting dalam membentuk dan mengokohkan identitas provinsi Sumatera Selatan melalui media seni.
Sementara Erwan Suryanegara, memandang bahwa mayarakat di Sumatra Selatan secara kultural disebut juga masyarakat Batanghari Sembilan. Dari sejarah panjangnya Bumi Batanghari Sembilan memiliki dua “Cagak” sebagai tapak kokoh telah terpancang sejak Tradisi Megalitik yang bermula di era prasejarah dan
dilanjutkan Sriwijaya pada abad ke-7 hingga abad ke-13 menjadi satu fenomen sejarah dunia hingga hari ini,” ulas suami dari Wuwuh Utami (Nai Surya) ini.
“Ketika Taman Budaya Sriwijaya mengemas kegiatannya dengan “Rentak Batanghari” bila harus dimaknai kurang-lebih adalah hentakan derap jejak Batanghari,” tambah Ketua Yayasan Tandi Pulau ini. Karenanya, menurut doktor dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, Pameran Seni Rupa se Sumatra Selatan 2019 dibingkai sebagai atmosphere atau plesetannya menjadi ART’MOSPHERE, guna merangkai khususnya medan seni rupa Sumatra Selatan dalam format pameran bersama.
Dengen melihat fenomena-fenomena tersebut, Erwan sangat yakin, sebagaimana dua “cagak” Sumatra Selatan sebelumnya yang menjadi warisan dunia, semoga perhelatan rupa pada Pameran Seni Rupa se Sumsel 2019 di galeri Taman Budaya Sriwijaya ini menjadi “cagak” berikutnya.
Tradisi dialog dan kehadiran kurator memberikan atmosphere baru dan memantaskan bahwa dunia seni itu memang bukan hanya antara seniman sebagai pemilik dan masyarakat sebagai penikmat. Tetapi membutuhkan kehadiran pihak ketiga yang bisa memberikan penilaian dan memandu masyarakat agar menjadi penikmat yang bisa menangkap pesan-pesan luhur karya seni.
Seniman memang butuh krtiik agar lahir karya yang bernilai. Karena, pesan yang tersampaikan melalui karya itu sungguh implisit dan tersembunyi.
Hanya saja, memang ada sedikit catatan tertoreh seiring perjalanan pameran. Agaknya perkembangan terkini dunia maya ikut melesak ke dalam persoalan itu. Dunia daring ternyata bukan hanya berpengaruh kepada perkembangan seni tetapi juga pembahasan atas kurasi itu naik di media sosial yang merupakan bagian dari dunia maya. Senyatanya, itu pun tidak salah. Karena tak satu pun larangan untuk membawa persoalan terkait karya seni untuk diumbang di medsos. Terutama ‘perlawanan” dari seniman yang karyanya dianggap tak bisa ikut meramaikan ‘pesta’. Wahana dialog yang disediakan, justru tidak digunkan untuk membuka pintu pembicaraan.
Paling itidak, memang kekurangan seperti tidak tersedianya katalog yang bisa membantu pengunjung menikmati torehan perupa Sumsel, mengiringi parade pameran hingga hari terakhir.
Kepala Taman Budaya Sriwijaya Toton Dai Permana, mengungkapkan bahwa pameran tersebut untuk menggemakan seni di Sumsel. “Membangun suansa yang kondusif bagi para seniman. Yang nantinya akan diiringi dampak-dampak lainnya,” ujar penulis Novel Angin ini.
Koordinator Pameran, Rudi Maryanto, mengungkapkan, bukan hanya seniman lokal yang ikut. Tetapi juga seniman yang sudah go internasional, Askandani, juga ikut pameran. Selebihnya seniman-senimar dari sepanjang aliran batanghari dari kabupaten/kota se-Sumsel juga ikut berpameran. Sedikitnya ada 52 karya yang dipamerkan dari 30 seniman.
Kurasi Claudia Sesie
Karya-karya yang dipamerkan di pameran se-SumSel ini cukup unik dan tidak bisa dibicarakan satu per satu di tulisan singkat ini. Tetapi saya ingin memberi beberapa contoh bagaimana karya pameran ini bisa memainkan peran penting dalam membentuk dan mengkokohkan identitas provinsi Sumatera Selatan melalui
media seni. Karya Andreans dengan judul “Legenda Batu Kuning” adalah contoh karya yang mencerminkan kearifan lokal dengan cermat dan secara illustratif. Seniman hampir seolah-olah ingin menangkap simbol- simbol dan ingatan-ingatan dari budaya Sumatera Selatan yang pelan-pelan hilang.
Lukisan seperti ini mempunyai peran penting untuk melestarikan kebudayaan dan kearifan lokal untuk generasi yang akan datang. Rumah limas, kehidupan pendesaan, musik tradisional atau silat adalah bentuk-bentuk kebudayaan lokal yang akan hilang dari identitas penduduk wilayah ini kalau tidak dilestarikan.
Gadget-gadget dan media-sosial sudah jadi budaya anak-anak di kota maupun di kampung. Mirip dengan karya Andreans dari segi pesan yang terkandung di dalamnya tetapi sangat beda dengan cara ekspresi dan media adalah karya Suparman “Maintain Balance” (Menjaga Keseimbangan).
Dengan media seni patung Suparman mengungkapkan sebuah gejala yang mengancam kita semua di zaman ini. Pertanyaan yang muncul dari karya Suparman adalah: Bagaimana kita bisa menyeimbangkan identitas, termasuk kebudayaan dan kearifan lokal kita dengan pengaruh budaya global yang seolah-olah akan menjatuhkan/ menghancurkan identitas lokal kita.
Di karya Suparman sebuah figur berjalan diatas mainan tradisional dan berusaha untuk menjaga keseimbangan. Itu menyimbolkan kebudayaan dan kearifan lokal.
Sementara sebuah boneka dari budaya global (barat) berusaha untuk naik dan menjatuhkan boneka di atas tersebut. Simbolisme yang ada dalam karya Suparman ini sangat mencerminkan gejala yang dirasakan oleh banyak negara-negara dan budaya-budaya tradisional, termasuk daerah Provinsi Sumatera Selatan.
Karya Rudi Maryanto “Bahtera Sungai Putih” melihatkan sebuah industri kerajinan kayu yang bisa kita ketemu di bagian Sumatera Selatan, yaitu pembuatan ketek. Industri kerajinan kayu ini, walaupun masih berjalan dan dibutuhkan, mengalami tantangan-tantangan tersendiri. Kayu yang menjadi bahan dasar ketek atau speedboat makin mahal dikarenakan penambangan secara ukuran masif, legal atau illegal, yang menghilangkan hutan sangat cepat. Selain mengakibatkan harga kayu naik secara drastis, hilangnya hutan juga mempengaruhi klima, suhu dan kwalitas udara lokal maupun global. Di karya Rudi dapat melihat trend baru lainnya yaitu hilangnya budaya tradisional dan way of life tradisional secara perlahan.
Latarbelakang di karya Rudi nampaknya cuma hitam-putih seolah-olah rumah tradisional sudah menjadi bagian sejarah yang hanya exist di foto-foto hitam-putih lama. Karena rumah tradisional pun sulit dibangun baru karena harga kayu begitu mahal.
Melestarikan saja pun kadang terlalu mahal. Askanadi, seniman asli SumSel yang banyak pengalaman diluar negeri, kembali ke bumi Palembang Darussalam dan mengikuti dua buah lukisan abstrak di pameran ini. Di dalam karya “Air Berkisah”,
Askanadi menjadikan sungai Musi sebagai objek renungan. Air yang dilukis secara simbolis dengan garis- garis abu-abu seolah-olah dibingkai dalam ingatan di dunia yang penuh kekacauan. Merah menyimbolkan kekuatan bumi Sriwijaya yang kita tahu dari sejarah. Dan air menjadi alur yang hanya dikuasai sepenuhnya oleh Tuhan Yang Maha Esa. Air mempunyai simbolis kuat dalam tradisi Tasawwuf yang kental di provinsi Sumatera Selatan ini. Dan bidang-bidang di lukisan Askanadi seolah-olah menyimbolkan mesjid-mesjid yang secara tradisional dibangun di tepi Sungai Musi.
Usah Kismada melanjutkan tradisi kaligrafi yang sudah menjadi bagian berkesenian Nusantara. Kaligrafi “Surah Al-Ikhlas Ayat Satu” dengan gaya cukup kontemporer mencerminkan kepentingan agama Islam di bumi Sriwijaya. Di waktu yang sama melihatkan bahwa agama Islam bukanlah agama yang kuno tetapi sanggup dijalankan di setiap zaman, di setiap tempat dan oleh semua manusia, entah dia orang Asia atau Afrika, orang Cina atau Jerman, orang berpendidikan atau orang kuli bangunan, orang kaya atau miskin.
Kurasi Erwan Suryanegara
Mencermati keragaman karya para perupa se Sumatra Selatan yang dipamerkan kali ini telah mempresentasikan “art’mosphere” sebagai bingkai kuratorial. Memang tidak akan dibicarakan satu-persatu atas karya yang dipamerkan. Ada Rudi Mariyanto mewakili perupa muda di Palembang, karyanya berjudul “Bahtera Sungai Putih” secara visual karya ini titik fokusnya perahu atau biduk yang sedang dikonstruksi dengan dilatarbelakangi rumah panggung, satu yang beratap limasan di tepian sungai.
Karya ini kental bicara kelokalan Palembang dengan ikon rumah limas, kini rumah-rumah limas cenderung tidak dibangun lagi seiring berbagai persoalannya. Palembang dikenal sebagai kota banyak anak sungainya, namun kini telah menjadi tak ubahnya selokan bahkan menjadi bak sampah, sehingga cenderung tak ada lagi biduk- biduk yang dapat hilir-mudik, demikian kritik Rudi. Sehingga dapat mengingatkan masyarakat untuk kembali peduli akan lingkungannya, termasuk hutan sumber pohon kayu bagi pembuatan biduk pun rumah limasan yang bahannya kian langka. Piberson Handarun perupa dari Pagaralam, karyanya berjudul “Senja di
Ayek Garaman” melukiskan tradisi masyarakat peladang sebagai petani kopi di Pagaralam, dengan khas menggendong keranjang bambu sebagai wadah panenan buah kopi. Ada juga Usa Kishmada mewakili perupa senior Palembang. Karyanya Kaligrafi Huruf Arab berjudul “Surah Al-Ikhlas Ayat Satu”. Seperti diketahui lukisan gaya kaligrafi ini memang cukup banyak ditekuni pelukis seangkatan Usa.
“In Memoriam” demikian judul lukisan Heri Mulyadi dengan gaya bahasa visual abstrak, dengan permainan komposisi warnanya yang cermat sehingga menghasilkan kesan garis pun bidang yang dinamis. Melalui karyanya ini Heri mengkomunikasikan message adanya dampak yang tidak terkontrol pada kota urban seperti Palembang dengan pembangunan kota yang cenderung menghilangkan ruang-ruang publik terutama ruang hijau. Karya berjudul “Air Berkisah”, buah karya Askanadi, seniman asal Palembang yang memiki pengalaman berpindah-pindah di luar negeri. Sungai Musi menjadi inspirasi Askanadi dengan bahasa visualnya yang cenderung abstrak geometris. Permainan komposisi atas garis, warna dan bidang menjadi unsur-unsur simbolik, optik, dan geometrik melahirkan nilai spritualitas pada karyanya.
Suparman yang memiliki latar belakang akademis seni patung, memiliki perbedaan ekspresi dan media dibanding lukisan. Karya Suparman berjudul “Maintain Balance” Dengan media yang dipilihnya Suparman menampilkan instalasi art yang menggunakan material alam, seperti rotan dan batu, namun tidak menutup kemungkinan material industri, seperti besi, plastik dan lain sebagainya. Message dari karya Suparman tampak keinginan adanya keseimbangan identitas, termasuk kelokalan dari pengaruh global yang seolah akan menghancurkan identitas lokal. Berikutnya Muhammad Arsyadi dengan karyanya berjudul “Ngelebung 2” juga berbicara kelokalan melalui karyanya. Sebagai bagian masyarakat Batanghari Sembilan yang khas kesehariannya merespon sungai, sehingga ikon perahu dan sungai dominan divisualkannya.
Tentunya akan kembali mengingatkan masyarakat apresian yang mengunjungi pameran ini. Pada beberapa karya tampak pula tidak hanya membicarakan apa yang ada di atas sungai, ada perupa yang menjadikan ikan sebagai inspirasi kekaryaannya. Khusus menyoal para perupa yang melukiskan ikan, cenderung terbaca message agar kembali peduli lingkungan terutama biotanya.
Mengingat Bumi Batanghari Sembilan satu potensinya adalah ikan, tidak terelakkan objek ikan menjadi subjek penting dan dijadikan fokus bentuk pada karya. Ocvirk, dkk (2001) dalam Art Fundamentals mengatakan, istilah bentuk digunakan dengan berbagai cara saat mengacu pada benda seni. Bentuk mengacu pada penggabungan untuk menghasilkan kesatuan (unity). Saat berhadapan dengan karya para perupa se Sumatra Selatan, maka perhatian akan langsung tertuju pada bentuk (form).
Pameran telah usai, kaya seni yang laku terjual bisa memberikan sinyal adanya renponsif dari masyarakat. Tak cukup hanya sebatas ini. Harus selalu menggeliat. Akankan nanti seniman Sumsel bisa menjadi ibu. Yang memiliki jiwa keibuan, tentunya waktu jua yang bisa menjawab. Karya seni mesti memiliki potensi untuk mempengaruhi masa depannya. Maksudnya, seni tersebut juga harus menjadi seorang ibu untuk membentuk masa depan. Pegiat yang dilengkapi tanggungjawab sebagai seorang seniman untuk menciptakan bagian dari peradaban, yaitu kebudayaan dan kesenian lokal, nasional dan global untuk mempengaruhi masa yang akan datang.
Atau melalui pameran ini, tercipta cagak ketiga, setelah tradisi megalitik dan Sriwijaya. Meski sepertinya terlalu tinggi untuk membangunya menjadi cagak berikutnya, ibarat bintang di langit, dia akan selalu indah di malam yang terang.
Kalaupun bukan sekarang, cahanya bintang itu akan selalu ada. Senimanlah yang memutuskan, melukis bintang itu atau menjadikanya karya berdimensi. Sehingga bisa dipajang sejajar dengan dua cagak yang sudah ada.[**]
Penulis :
Muhamad Nasir
Dosen Universitas PGRI Palembang dan Kandidat Doktor UNJ