Ekonomi

72 Tahun RI Merdeka, Apa Betul Rakyatnya Merdeka ?

dirgahayu republik indonesia

Sebentar lagi rakyat Indonesia akan merayakan 72 tahun kemerdekaan bangsa ini, tepatnya 17 Agustus 1945. Kemeriahan dalam merayakan kemerdekaan itu terlihat meriah hingga ke pelosok desa. Hampir setiap halaman rumah, baik milik orang kaya hingga miskin terlihat bendera Merah Putih berkibar saat angin meniup kencang.

SUMSELTERKINI.ID, Palembang – Sebentar lagi rakyat Indonesia akan merayakan 72 tahun kemerdekaan bangsa ini, tepatnya 17 Agustus 1945. Kemeriahan dalam merayakan kemerdekaan itu terlihat meriah hingga ke pelosok desa. Hampir setiap halaman rumah, baik milik orang kaya hingga miskin terlihat bendera Merah Putih berkibar saat angin meniup kencang.

Pesta rakyat- pun terlihat meriah saat meramaikan hari jadi bangsa Indonesia ini. Suguhan lomba-lomba, seperti panjat pinang, balap karung hingga lomba main gaplek pasti sudah menjadi tradisi menyambut kemerdekaaan.

Namun dari keceriahan saat menyambut kemerdekaan RI itu, masih banyak yang perlu kita renungkan kembali. Apakah rakyat Indonesia sudah merdeka ? mungkin jawab ia.

Kita sudah bebas merdeka dari penjajahan kolonial Belanda [3,5 Abad] dan Jepang [3,5 tahun] yang diraih dengan mengorbankan seluruh jiwa dan raga oleh seluruh pejuang bangsa ini. Bahkan tidak sedikit mereka yang memiliki kekayaan saat itu, rela mengorbankan hartanya demi mendukung perjuangan bangsa ini.

Dalam pembukaan Pembukaan UUD NRI 1945, alinea 1 dan 2 disebutkan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.”

“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

Namun disisi lain, saat kita mengisi kemerdekaan itu, apakah rakyat Indonesia sudah sejahtera, adil dan makmur, seperti tertuang dalam UUD 45 di atas ? mungkin jawabnya belum sepenuhnya.

Tak usah jauh – jauh saya bercerita, di Palembang Kota Kelahiran saya. Memang patut diakui dan boleh diacungkan jempol, lebih kurang 10 tahun pembangunan infrastruktur berkembang pesat.

Bahkan wajah Kota Palembang setiap tahunnya selalu berubah, pembangunan infrastuktur, seperti Jalan tol, play over hingga saat ini, yang tengah diselesaikan, yakni mega proyek Light Rail Transit (LRT), membuat Palembang terlihat akan lebih maju dibanding Kota lain yang g ada di Sumatera.

Warga Kota Palembang boleh bangga atas perjuangan Gubernur Sumsel, Alex Noerdin memajukan Kota Palembang sebagai Ibukota provinsi yang pembangunannya melompat jauh.

Bagaimana dengan Walikota Palembang yang memiliki kekuasaan penuh terhadap pembangunan di wilayahnya, baik pembangunan infrastruktur di pusat-pusat kota hingga pinggiran [pelosok].

Namun kenyataan masih banyak masyarakat yang terkesan marjinal dan sepenuhnya belum tersentuh pembangunan infrastruktur, seperti distribusi air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum [PDAM Tirta Musi], serta akses jalan yang rusak parah membuat warga terus berduka dengan kondisi tersebut.

Duka warga marjinal

Tidak usah jauh-jauh, satu contoh nyata, saat saya melintasi di salah satu jalan pinggiran Kota Palembang, tepatnya di jalan KH. Azhari, Kelurahan Kalidoni, Kecamatan Kalidoni, Palembang.

Sepanjang jalan tersebut, rusak parah, dan penuhi lubang yang cukup dalam, jika hari hujan seperti saat ini jalan tersebut sulit dilalui kendaraan roda dua dan empat, karena becek berlumpur, bahkan yang lebih miris lagi, saya sendiri kerap melihat kendaraan roda dua terbalik karena jalan licin.

Tetapi sebagai akses utama [Jalan Poros], warga disekitar jalan tersebut, terutama perumahan Girya Pesona Harapan Jaya dan Nirvana yang berjumlah sedikitnya 100 kepala keluarga lebih itu tetap memaksa melintas di jalan itu karena jalan tersebut merupakan satu-satu jalan dilingkungan tersebut.

Padahal jika pemerintah Kota Palembang lebih kreatif untuk terus memperbaiki jalan terus, setidaknya jalan tersebut menjadi jalan alternatif untuk mengurai kemacetan di jalan- jalan poros antara masyarakat yang tinggal di Merah Mata, Mata Merah, Sungai Batang, Sematang Borang, Sekojo serta Purwo.

Pengakuan warga setempat bahwa jalan tersebut baru satu kali sekali dicor, tepatnya sekitar dua tahun lalu sampai perbatasan perumahan. Tetapi umurnya hanya delapan bulan akibat jalan tersebut tak mampunya jalan menahan beban truk –truk angkutan tanah yang melebihi tonase.

Selain itu, disisi lain distribusi air bersih Tirta Musi hingga kini masih belum terealisasi, warga hanya bisa bertahan dengan memanfaatkan sumur dengan kondisi airnya berkarat dan bau dengan menyaring air tersebut.Hingga kini mereka hanya pasrah dan berduka dengan kondisi di daerah tersebut.

Karena mereka mengaku kerap membuat tulisan di media dengan kondisi jalan dan air bersih, bahkan pengajuan proposal pernah diajukan, namun jawabanya masih akan ditindak lanjuti.

Miris nian rasanya memang, jika saya mendengar duka mereka di 72 tahun kita merayakan kemerdekaan bangsa kita. Merayakan kemerdekaan sepertinya hampa, kesejahteraan dan keadilan yang tertuang di UUD 45 itu hanya pepesan belaka.

Terlebih ketika saya melihat jalan-jalan di perkampungan di Kota Palembang kerap diprioritas dan hampir setiap tahun mendapat jatah pengecoran dibanding jalan KH. Azari yang baru dua tahun dicor untuk pertama kali.

Saya sempat merenung bagaimana keadilan dan kejahteraan dapat merata, padahal akses jalan dan air bersih sumber paling utama untuk dipenuhi pemerintah.

Perumahan dibangun disana [ Pesona Harapan Jaya dan Nirvana) disana merupakan salah satu rumah murah program pemerintah yang dibangun pengembang, katanya fasilitasnya seperti akses jalan, air bersih dibantu pemerintah, namun hingga kini rumah yang dibangun oleh PT Alpin dan Nirvana tersebut belum memuaskan penghuninya.

Saya sempat tidak habis fikir dan bertanya dalam hati kecil, bagaimana pemerintah pusat dan daerah yang bertanggung jawab sesuai UUD 45, sepertinya hanya celotehan saja, namun pada kenyataannya masih sulit merealisasikan program-programnya.

Sebenarnya tak muluk-muluk yang diminta oleh rakyat yang tinggal pinggiran tersebut, selain infrastruktur seperti akses jalan yang bagus, distribusi air pun dapat terpenuhi segera.

Bagaimana Palembang akan disebut Kota Metropolis jika jalan-jalan dan kebutuhan air bersih masih belum terpenuhi untuk masyarakat marjinal ? Bagaimana kita ingin menjadi Kota yang pintar [smart city] jika kondisi infrastruktur tidak menunjang.

Ibaratnya saat ini Palembang hanya bagus dilihat dari cashing-nya saja, namun sementara di dalamnya masih belum memuaskan rakyatnya.

Piala kebersihan, seperti Adipura dan lainnya yang pernah disandang Kota Palembang jangan hanya dijadikan simbol dan pencitraan semata, karena pada hakekatnya untuk apa kota kita dinilai bersih, rapi dan indah. Namun dipinggiran kota masih banyak kita temui infrastruktur yang minim, bahkan banjir.

Sudah seharusnya di 72 tahun kita merdeka ini, pembangunan infrastruktur dapat dinikmati merata oleh segenap warga. Apalagi Palembang akan melaksanakan Pilkot/wawakot salah satu rangkaian 2018 sebagai rangkaian Pilkada serentak di Sumsel.

Saya berharap adanya pembangunan infrastruktur merata diseluruh pinggiran Palembang sehingga masyarakat tidak ada lagi yang termajinalkan, seiring Kota Palembang yang metropolis terus mengalami perubahan dan modern.

Tanpa akses jalan yang bagus, distribusi air bersih sepenuhnya belum terealisasi secara optimal dipinggiran kota, tentu pradikat smart city hanya sebagai omdong.

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com